Sabtu, 23 April 2022

Kisah Pendekar Bongkok 1

                                           Kisah Pendekar Bongkok

( karya KHO PING HOO )

 episode 1

SIE Kauwsu (Guru Silat Sie) membaca surat itu dengan kedua tangan agak gemetar dan mukanya berubah pucat. Karena senja hari telah tiba dan cuaca tidak begitu terang lagi, dia lalu menyalakan sebuah lampu meja, kemudian dibacanya sekali lagi surat itu. Sehelai kertas yang bertuliskan beberapa buruf dengan tinta merah.

"Sie Kian, akhirnya aku dapat menemukan engkau! Sebelum malam ini habis, seluruh keluargamu dan segala mahluk yang hidup di dekat rumahmu, akan kubunuh semua!"

Demikianlah bunyi surat itu. Tanpa nama penulisnya. Akan tetapi, Sie kauwsu atau Sie Kian tahu benar siapa penulisnya. Tadi dia menemukan surat itu pada daun pintu belakang rumahnya, tertancap pada daun pintu dengan sebatang piauw (senjata rahasia) beronce merah. Dia mengenal benar piauw itu. Lima tahun yang lalu, dia pernah terluka pada pundaknya oleh piauw seperti itu. Dia tahu benar siapa pemilik piawsu, siapa penulis surat.

Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu. Ketika itu, dia melakukan perjalanan ke daerah Hok-kian untuk mengunjungi seorang sahabat lamanya. Juga dia ingin melancong, karena semenjak menjadi guru silat, dia tidak pernah sempat melancong. Kini dia mempunyai seorang murid terpandai yang dapat mewakilinya mengajar para murid sehingga dia mempunyai kesempatan untuk pergi. Kepergiannya direncanakan selama satu bulan. Dia tidak dapat membawa anak isterinya, karena anaknya yang ke dua, baru lahir beberapa bulan yang lalu. Masih terlalu kecil untuk diajak pergi. Anaknya yang pertama, seorang anak perempuan yang sudah berusia lima belas tahun, juga tidak dapat diajak pergi karena harus membantu ibunya di rumah. Maka diapun pergi seorang diri ke timur.

Di dalam perjalanan inilah terjadinya peristiwa itu. Dia melihat perampokan di dalam hutan terhadap sebuah keluarga bangsawan yang melakukan perjalanan dengan kereta. Perampok itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Kurang lebih duapuluh lima tahun usia mereka. Sie Kian turun tangan melindungi bangsawan itu dan terjadilah perkelahian antara dia dan suami isteri itu. Ternyata suami isteri itu lihai juga, akan tetapi mereka masih belum mampu mengalahkan Sie Kian yang pandai bersilat pedang. Perkelahian itu berakhir dengan kematian isteri perampok itu, dan luka parah pada perampok yang dengan penuh duka memanggul jenazah isterinya dan menanyakan Sie Kian. Sie Kian sendiri juga terluka di pundaknya, terkena sebatang senjata rahasia piauw yang dilempar oleh perampok itu.

"Sie Kian, kalau engkau membunuhku, aku tidak akan begini merasa sakit hati," demikian perampok itu sebelum pergi.

"Juga kalau engkau hanya menghalangi perbuatan kami merampok, akupun tidak perduli. Akan tetapi engkau telah membunuh isteriku tercinta dan aku bersumpah bahwa kelak aku akan mencarimu dan aku akan membunuh seluruh keluargamu dan semua penghuni rumahmu!" Setelah mengeluarkan ucapan itu, perampok muda itu pergi dengan muka berduka. Sie Kian membiarkannya pergi dan mengira bahwa ucapan itu tentu hanya ancaman seorang perampok yang kecewa.

Akan tetapi, ternyata hari ini ada surat dan piauw beronce merah! Perampok itu ternyata bukan hanya meninggalkan ancaman kosong belaka dan hari ini, kurang lebih lima tahun semenjak peristiwa itu, perampok itu benar-benar datang untuk melaksanakan ancamannya dan sumpahnya! Diam-diam Sie Kian bergidik. Ancaman dalam surat itu sungguh menyeramkan. Akan tetapi, dia tidak takut! Selama hidupnya, Sie Kian adalah seorang laki-laki yang jantan. Demi membela kebenaran, dia tidak takut kehilangan nyawa! Ancaman surat itu hanya ancaman seorang penjahat, seorang perampok, dan dia akan menyambutnya, menandinginya dengan sikap seorang pendekar sejati! Tidak, dia tidak akan minta bantuan orang lain!

Setelah termenung sejenak, Sie Kian menyimpan surat dan piauw itu ke dalam kantung bajunya, dan diapun memasuki kamar di mana isterinya sedang berbaring menyusui anak mereka, anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun dan mereka beri nama Sie Liong. Dengan wajah tenang saja Sie Kian duduk di kursi dalam kamar itu dan bertanya kepada isterinya, di mana adanya puteri mereka yang bernama Sie Lan Hong. Dia dan isterinya memang hanya mempunyai dua orang anak, yaitu pertama Sie Lan Hong yang sudah berusia lima belas tahun dan setelah lewat empat belas tahun lebih barulah isterinya melahirkan Sie Liong.

"Ia baru saja keluar dari sini, mungkin ia berada di dalam kamarnya," jawab istrinya sambil bangkit duduk karena Sie Liong sudah tidur pulas.

"Ada apakah? Kelihatannya engkau begitu pendiam." Isteri yang sudah amat mengenal watak suaminya itu bertanya dengan pandang mata curiga melihat sikap suaminya begitu pendiam, tidak seperti biasanya.

"Panggil dulu Lan Hong ke sini, juga pangil Cu An yang berada di kamarnya. Ada urusan penting sekali yang hendak kubicarakan dengan kalian bertiga."

Isteri Sie Kian memandang suaminya dengan heran, akan tetapi tidak membantah dan ia lalu keluar dari kamarnya. Tak lama kemudian ia muncul kembali bersama seorang gadis yang manis, yaitu Lan Hong, dan seorang laki-laki muda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun. Pria ini adalah Kim Cu An, murid kepala yang kini membantu Si Kian memimpin para murid yang belajar di perguruan silat itu. Karena Kim Cu An seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga, maka dia diterima tinggal di rumah gurunya itu, sebagai murid, juga sebagai pembantu guru. Tentu saja Cu An merasa terkejut dan heran ketika oleh ibu gurunya dia dipanggil menghadap gurunya di dalam kamar gurunya itu!

Setelah isterinya, puterinya dan muridnya duduk di atas bangku dalam kamar itu, dengan sikap masih tenang Sie Kian lalu bicara. "Kalian tentu masih ingat akan ceritaku tentang peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu ketika aku mengadakan perjalanan ke Hok-kian itu, bukan?"

"Peristiwa yang mana?" tanya isterinya.

"Apakah suhu maksudkan pertemuan suhu dengan suami isteri perampok itu?" tanya Cu An. Gurunya mengangguk.

"Benar. Seperti telah kuceritakan, aku berhasil menyelamatkan keluarga bangsawan dari kota raja yang dirampok oleh perampok yang terdiri dari suami isteri itu. Dalam perkelahian itu, aku terluka senjata rahasia piauw, akan tetapi aku berhasil membunuh isteri perampok itu dan melukainya. Akan tetapi, ketika itu aku tidak menceritakan kepada kalian akan sumpah dan dendam perampok yang kematian isterinya itu. Ketika itu kuanggap tidak penting dan semua perampok yang dikalahkan tentu akan mengeluarkan ancaman. Akan tetapi...., hari ini ancaman perampok itu agaknya akan dilaksanan!" Sie Kian menarik napas panjang.

"Ancaman bagimana?" tanya isterinya, nampak khawatir.

"Ketika itu, sambil memanggul jenazah isterinya dan dalam keadaan luka dia bersumpah bahwa pada suatu hari dia akan mencariku dan akan membasmi seluruh keluargaku. Ancaman yang keluar dari mulut seorang perampok seperti itu, mana ada harganya untuk diperhatikan dan dianggap serius!"

"Akan tetapi.... dia bersumpah karena kematian isterinya, dan hal itu berbahaya sekali!" kata isterinya. Sie Kian kembali menarik napas dan dia mengangguk.

"Benar sekali pendapatmu itu dan sekarang inilah buktinya." Dia mengeluarkan senjata piauw dan kertas bersurat itu.

"Tadi kutemukan surat ini tertancap piauw di daun pintu belakang. Surat itu berbunyi begini." Sie Kian membacakan surat itu, didengarkan dengan muka pucat oleh isterinya. Lan Hong dan Cua An mendengarkan dengan sikap tenang. Mereka adalah orang-orang muda yang sejak kecil sudah belajar ilmu silat maka memiliki ketabahan besar.

"Ayah, kalau dia muncul, kita lawan dia! Penjahat itu sudah sepatutnya dibasmi!" kata Lan Hong dengan penuh semangat.

"Sumoi benar, suhu. Kita tidak perlu takut menghadapi ancaman dan gertak kosong seorang penjahat seperti dia...."

"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa yang datangnya dari atas genteng. Sie Kian meloncat dari kursinya.

"Lan Hong, Cu An, kalian menjaga ibu dan adik kalian di sini!" berkata demikian, tubuh Sie Kian sudah berkelebat keluar dari dalam kamar itu dan dia segera keluar dan meloncat ke atas genteng. Pada saat dia meloncat ke atas genteng, terdengar suara anjing menggonggong di belakang, akan tetapi suara gonggongannya berubah pekik kesakitan lalu sunyi. Sie Kian melayang turun dan lari ke belakang. Dia tidak melihat berkelebatnya orang, hanya menemukan anjing peliharaannya itu telah mati den sebuah ronce merah nampak di lehernya. Anjing itu mati dengan sebatang senjata piauw terbenam di dalam lehernya! Sie Kian mencari-cari, memandang ke kanan kiri dengan waspada. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi ayam-ayam berteriak, disusul ringkik kuda.

"Celaka....!" serunya dan dia cepat lari ke kandang kuda dan ayam yang berada agak jauh di samping rumah. Dan seperti juga anjingnya, dia melihat belasan ekor ayam peliharaannya, dan seekor kuda, telah menggeletak mati! Sie Kian tidak memperdulikan lagi keadaan binatang-binatang peliharaannya dan cepat dia lari masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Dan pada saat itu, terdengar jerit wanita yang datangnya dari kamar para pelayan di belakang. Sie Kian terkejut dan kembali dia melompat keluar, menuju ke kamar pelayan. Dia merasa menyesal sekali mengapa memandang rendah lawan dan dia lupa untuk memanggil dua orang pelayannya agar berkumpul di dalam rumah besar. Dan seperti yang dikhawatirkan, dua orang pelayan wanita itu telah tewas di dalam sebuah kamar pelayan, leher mereka, hampir putus dan kamar itu banjir darah. Jelas bahwa leher mereka terbabat oleh pedang!

Sie Kian menjadi marah sekali. Dia meloncat masuk ke dalam rumah dan hatinya lega melihat betapa Lan Hong dan Cu An masih berjaga di depan kamar, sedangkan isterinya, dengan muka pucat, duduk di atas pembaringan memangku Sie Liong yang masih tidur nyenyak.

"Apa... apa yang terjadi...?" tanya isterinya ketika dia tiba di kamar itu.

"Jahanam itu...., dia telah mulai melaksanakan ancamannya! Semua binatang peliharaan kita dibunuhnya, juga dua orang pelayan kita dibunuhnya."

"Aihhh....!" Isterinya menangis.

"Sudah, tenanglah dan jangan menangis. Kita harus siap siaga menghadapinya. Dia tidak main-main dan ancamannya bukan gertak kosong. Cu An dan Lan Hong, kalian tetap berjaga di sini, menjaga keselamatan ibumu dan adikmu. Aku yang akan menghadapi jahanam busuk itu!"

"Baik, ayah," kata Lan Hong dengan luka pucat walaupun ia masih bersikap tenang. Kini tangannya memegang sebatang pedang.

"Teecu akan menjaga subo dengan taruhan nyawa, suhu!" kata Cu An dangan sikap gagah. Juga dia memegang sebatang pedang. Dengan hati penuh kemarahan, Sie Kian lalu keluar dari dalam kamar, berdiri sejenak di ruangan tengah, memasang telinga. Akan tetapi tidak mendengar suara apa-apa dan malam tiba dengan sunyinya. Dia lalu keluar berindap-indap dari dalam ruangan itu, kemudian mengelilingi rumah dan memeriksa setiap sudut. Namun, tidak nampak bayangan orang.

Dengan gemas dia lalu meloncat naik ke atas genteng, berdiri di wuwungan rumahnya, lalu berteriak, "Perampok laknat, penjahat keji, jahanam keparat! keluarlah dari tempat persembunyianmu dan marilah kita bertanding secara jantan untuk menentukan siapa yang lebih kuat!" Namun, tidak ada jawaban dan suasana, sunyi saja. Tempat tinggal keluarga Sie memang berada di sudut kota Tiong-cin, di pinggir dan mempunyai pekarangan luas, agak jauh dari tetangga, agak terpencil. Memang Sie Kian memilih tempat ini di mana dia dapat membuat lapangan yang luas untuk berlatih silat para muridnya. Sebagai seorang guru silat bayaran, Sie Kian menerima siapa saja yang mampu membayar, dan karena itu dia memiliki banyak sekali murid, baik dari kota Tiong-cin sendiri maupun dari dusun-dusun sekitarnya dan dari kota lain. Akan tetapi, semua muridnya tidak ada yang tinggal di situ kecuali Cu An yang merupakan murid utama dan kini bahkan menjadi guru pembantunya.

Karena usahanya mencari musuh itu sia-sia, dan tantangnnya juga tidak mendapatkan jawaban, akhirnya dangan hati mendongkol Sie Kian masuk lagi ke dalam rumah. Ketika isterinya, Lan Hong, dan Cu An memandang kepadanya dengan mata bertanya, dia hanya menggeleng kepala.

 "Tidak ada bayangan si keparat itu! Dia tentu telah pergi, atau bersembunyi, untuk menanti kelengahanku, atau mendatangkan ketegangan dalam hati kita."

Memang suasana menjadi tegang sekali. Bahkan Cu An yang biasanya tenang itu kini nampak agak pucat. Siapa orangnya yang tidak akan tegang menanti musuh yang main kucing-kucingan dan amat kejam itu? Semua binatang peliharaan telah dibunuhnya, juga dua orang pelayan wanita yang sama sekali tidak berdosa dan kini dia menghilang, membiarkan semua orang dicekam ketegangan dan kegelisahan.

Mereka berempat duduk di dalam kamar itu. Isteri Sie Kian merupakan orang yang paling ketakutan. Sie Kian duduk dangan tenang, akan tetapi pendengarannya dicurahkan keluar untuk menangkap gerakan yang tidak wajar di luar rumah. Yang benar-benar tenang hanyalah Sie Liong, anak berusia sepuluh bulan itu! Dia masih suci, batinnya masih bersih dari pengetahuan sehingga rasa takut dan duka tidak akan pernah dapat menyentuhnya.

"Suhu....!" Suara Cu An terdangar aneh ketika memecah kesunytan itu. Bahkan suara yang hanya merupakan satu kata panggilan itu sempat mengejutkan Lan Hong yang menoleh kepadanya dangan kaget, juga nyonya Sie terperanjat. Hanya Sie Kian yang dengan tenang memandang muridnya itu.

"Ada apakah, Cu An? Takutkah engkau?"

Pemuda itu menjilat bibirnya yang kering. Akan tetapi lidahnya juga kering bahkan mulutnya terasa kering sekali, dan dia menggeleng kepalanya. "Suhu, teecu tidak takut, hanya tegang. Kalau musuh sudah berada di depan teecu, biar teceu terancam mautpun teecu tidak takut. Akan tetapi suasana tidak menentu ini sungguh menegangkan. Bagaimana kalau kita semua pindah saja ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat)? Di sana lebih luas. Kalau terjadi penyerangan sewaktu-waktu, kita akan lebih leluasa untuk menghadapi musuh."

Setelah berpikir sejenak, Sie Kian mengangguk, "Engkau benar, Cu An. Kita belum tahu berapa orang jumlah musuh yang akan datang menyerbu, dan kamar ini memang terlalu sempit sehingga membahayakan keselamatan subo-mu dan adikmu yang kecil. Mari kita semua pindah saja ke ruangan latihan silat."

Sie Kian menyuruh puterinya membawa kasur agar di ruangan yang luas itu isterinya dapat menidurkan puteranya yang masih kecil. Mereka semua dengan penuh kewaspadaan lalu pindah ke dalam ruangan berlatih silat, sebuah ruangan jauh sepuluh kali lebih luas dari pada kamar itu, dan di situ hanya ada satu pintu besar dari mana orang luar dapat masuk. Kasur yang dibawa Lan Hong diletakkan di sudut ruangan itu dan ibunya lalu duduk di situ sambil memangku Sie Liong.

Setelah pindah ke ruangan yang lebih luas ini, benar saja hati mereka bertiga yang siap menghadapi musuh menjadi lebih tenang. Ruangan itu cukup luas dan mereka bertiga dapat melindungi Nyonya Sie dari depan saja karena tempat itu dikelilingi dinding sehingga lebih mudah bagi mereka untuk mempersatukan tenaga menghadapi serbuan musuh. Betapapun juga, suasana tegang tetap saja mencekam hati mereka. Sie Kian sendiri berulang kali mengepal tinju, merasa dipermainkan oleh musuhnya. Dia tahu bahwa sekali ini, dia harus berjuang mati-matian, mempertahankan nyawa keluarganya. Dia berjanji bahwa sekali ini, dia akan membasmi semua musuh yang datang, tidak memberi kesempatan seorangpun berhasil lolos agar tidak terulang pembalasan dandam seperti ini. Kalau saja dulu dia membunuh perampok pria itu, tentu tidak akan timbul masalah seperti sekarang.

Tiba-tiba Sie Kian terkejut dan dia meloncat keluar dari pintu lian-bu-thia. Juga Cu An dan Lan Hong meloncat berdiri, pedang siap di tangan kanan dan mereka berdua sudah mengambil sikap berjaga-jaga, sedangkan nyonya Sie mendekap puteranya dangan muka pucat, mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan. Tak lama kemudian terdangar suara kucing mengeong disusul suara Sie Kian menyumpah-nyumpah! Kiranya suara yang mencurigakan tadi hanyalah suara seekor kucing yang kebetulan lewat! Sungguh menggelikan sekali betapa ketegangan membuat semua orang menjadi demikian mudah kaget. Sie Kian muncul kembali dari pintu dan diapun menahan ketawanya, walaupun perutnya terasa geli. Demikian Pula Cu An dan Lan Hong.

Dari jauh terdangar suara ayam jantan berkokok. Biasanya, kalau ada ayam jantan berkokok, ayam jantan di kandang keluarga itu akan menyambutnya. Sekali ini, kokok ayam itu tidak ada yang menyambut, akan tetapi Sie Kian maklum bahwa tengah malam telah lewat. Ayam jantan di sana itu sudah biasa berkokok di waktu tengah malam, kemudian di waktu pagi sekali. Kini tengah malam telah lewat. Betapa cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru saja dia menerima surat itu, di senja hari tadi, dan tahu-tahu kini telah lewat tengah malam.

Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh suara ketawa terbahak-bahak yang datangnya dari luar rumah! Kini Sie Kian melompat berdiri dan dia membentak marah.
 "Pengecut hina yang berada di luar! Masuklah, aku berada di lian-bu-thia sudah sejak tadi menanti kedatanganmu. Mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa lagi!" tantangnya.

Suara ketawa itu berhenti, dan kini disusul suara yang mengandung ejekan, "Sie Kian! Aku memang memberi waktu agar kallan dicekam ketegangan hebat. Sekarang aku datang untuk membunuhmu. Keluarlah, aku menunggumu di pekarangan depan rumahmu!"

"Jahanam busuk! Engkau masuklah, aku sudah menanti dangan pedang di tangan untuk membunuhmu!" bentak Sie Kian yang tidak ingin meninggalkan keluarganya.

"Ha-ha-ha-ha, Sie Kian kini menjadi seorang pengecut dan penakut! Aku menantangmu di luar, dan engkau bersembunyi di balik gaun isterimu? Ha-ha! Keluarlah dan sambut aku, kalau tidak aku akan membakar rumahmu ini."

"Suhu...., jangan keluar, mungkin ini suatu siasat memancing harimau keluar sarang," bisik Cu An gelisah.

"Tidak, di sini ada engkau dan Lan Hong, hatiku tenang adanya kalian bardua menjaga ibumu. Aku akan keluar menyambut tantangan anjing keparat itu!"

"Hayo, Sie Kian! Apakah engkau benar-benar takut?" teriakan itu datang lagi dari luar. "Jahanam busuk, siapa takut? Tunggu, aku akan menyambut tantanganmu!" Sie Kian segera meloncat keluar, terus menuju ke pekarangan depan rumahnya. Orang itu sudah menanti di luar. Lampu dua buah yang tergantung di serambi depan cukup terang, menerangi pekarangan itu. Memang tadi dia menggantung dua buah lampu agar tempat itu menjadi terang, tidak seperti biasanya yang hanya diterangi sebuah lampu gantung.

Dari penerangan dua buah lampu itu, Sie Kian yang sudah berdiri berhadapan dalam jarak empat meter dangan orang itu, dapat mengenal wajah musuh besarnya. Wajah seorang laki-laki yang masih muda, kurang lebih tigapuluh tahun usianya. Wajah seorang laki-laki yang cukup tampan, halus dan tidak ditumbuhi kumis dan jenggot lebat. Bahkan wajah itu posolek, pakaiannyapun rapi dun bagus, sepatunya mengkilap baru. Itulah wajah perampok yang lima tahun yang lalu berkelahi dangannya, perampok yang kematian isterinya. Akan tetapi kini ada sesuatu dalam sikap orang itu yang menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang dahulu, bahwa kini dia telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Agaknya selama lima tahun ini dia telah menggembleng diri mati-matian, hanya untuk melakukan balas dandam ini.

Akan tetapi Sie Kian tidak merasa gentar. Kalau berhadapan dangan seorang lawan, betapapun kuat lawan itu, dia tidak pernah gentar. Tidak ada lagi ketegangan seperti tadi. Hanya ada sedikit kekhawatiran bahwa orang ini menggunakan tipu muslihat, memancing dia keluar dan ada temannya yang akan menyerang ke dalam. Akan tetapi kekhawatiran inipun diusirnya dangan keyakinan bahwa murid kepala dan puterinya cukup kuat untuk melindungi isteri dan puteranya yang masih kecil. "Hem, kiranya engkau perampok busuk yang dulu itu? Sungguh perbuatanmu ini menunjukkan kecurangan dan membuktikan bahwa engkau seorang pengecut. Kalau hendak membalas dandam, kenapa tidak langsung saja menantangku? Kenapa memakai jalan membunuhi binatang-binatang dan pelayan-pelayan yang tidak berdosa?"

"Ha-ha-ha, Sie Kian, lupakah kau akan sumpahku bahwa suatu hari aku akan membasmi engkau dan seluruh keluargamu dan seluruh isi rumahmu? Ha-ha-ha, sekaranglah saatnya! Tidak perlu banyak cakap, nanti kalau sudah mati nyawamu akan bertemu dengan isteriku dan masih ada waktu bagimu untuk minta ampun kepadanya!"

"Jahanam busuk!" Sie Kian memaki dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya. Serangannya dahsyat sekali karena dalam marahnya, ingin Sie Kian segera merobohkan musuh ini. Pedangnya berkelebat dari samping dan mengirim bacokan ke arah leher orang itu yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat leher itu terpenggal putus. Akan tetapi, orang itu bergerak cepat sekali dan dengan mantap pedangnya berkelebat dari samping ke atas, menangkis bacokan pedang Sie Kian.

"Tringggg....!" Nampak bunga api berpijar dan Sie Kian merasa betapa lengan tangannya tergetar hebat. Dia terkejut dan meloncat ke belakang, melihat pedangnya. Ternyata pedangnya itu patah sedikit pada mata pedangnya, hal ini menunjukkan bahwa pedang di tangan lawannya adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh! Orang itu tertawa mengejek dan langoung menyerang dengan dahsyat. Sie Kian mengelak ke samping dan membalas serangan musuh dan mareka segera terlibat dalam perkelahian mati-matian dan seru sekali. Dan sekali ini, Sie Kian harus mengaku dalam hatinya bahwa lawannya sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan dahulu, tidak boleh dipandang rendah karena ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat, di samping tenaga sin-kang kuat ditambah lagi sebatang pedang pusaka yang ampuh!

Mulailah Sie Kian merasa khawatir. Seorang lawan saja Sudah begini lihai, apa lagi kalau dia datang berkawan. Ah, isteri dan anaknya berada di dalam! Bagainana kalau dia kalah? Bagaimana kalau ada kawan-kawan penjahat ini? Lebih baik menyuruh mereka melarikan diri! Biarlah, dia akan mati di tangan musuh, asal keluarganya selamat !

"Singgg....!" Pedang lawan meluncur dekat sekali dengan dadanya. Sie Kian mengelak ke kanan, akan tetapi pedang itu sudah membacok dari kiri dengan kecepatan kilat. Sie Kian menggerakkan pedang menangkis. Terpaksa menangkis karena sejak tadi dia tidak pernah mengadu senjata secara langsung, maklum bahwa pedangnya akan kalah kuat. Kini, karena tidak mungkin mengelak lagi, terpaksa dia menangkis.

"Cringgg....!" Pedang di tangan Sie Kian patah dan buntung bagian atasnya! Lawannya tertawa bergelak dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sie Kian untuk mengerahkan tenaga berteriak ke arah dalam rumah. "Lan Hong....! Ajak ibu dan adikmu melarikan diri! Cepaaaattt....!"

Lawannya tertawa bergelak, tertawa mengejek dan pedangnya menyambar dengan cepatnya, menusuk ke arah lambung Sie Kian. Guru silat ini melihat datangnya serangan yang amat berbahaya. Dia melempar tubuhnya ke atas tanah dan bergulingan sehingga terbebas dari tusukan tadi. Akan tetapi lawannya mengejar dan pada saat itu muncullah Kim Cu An. Pemuda ini mendengar teriakan gurunya, menjadi khawatir sekali. Sejak tadi, tidak ada musuh menyerbu lian-bu-thia itu, maka dia berpendapat bahwa musuh hanya seorang saja dan agaknya gurunya membutuhkan bantuan. Kalau tidak begitu, tentu gurunya tidak berteriak menyuruh puterinya membawa ibu dan adiknya melarikan diri! Kim Cu An lalu berlari keluar dan di pekarangan itu dia melihat suhunya bergulingan di atas tanah, dikejar oleh seorang laki-laki bertubuh jangkung yang gerakannya gesit bukan main.

"Suhu, teecu datang membantumu!" teriak Cu An dan dia lalu menggerakkan pedangnya membacok orang itu dari belakang. Akan tetapi, orang itu memutar pedangnya menangkis. "Tranggg....!" Cu An mengeluarkan seruan kaget karena pedangnya terpental dan hampir terlepas dari pegangan saking kuatnya tenaga lawan dan ketika dia melihat, pedangnya telah buntung ujungnya!

"Hati-hati, Cu An, dia memegang sebatang pedang pusaka!" teriak Sie Kian yang telah terbebas dari desakan tadi berkat bantuan muridnya. Kini guru dan murid menghadapi lawan tangguh itu dengan pedang mereka yang sudah buntung ujungnya! Orang itu tertawa lagi.

"Ha-ha-ha kebetulan sekali. Kalian sudah berkumpul di sini sehingga tidak melelahkan aku harus mencari ke sana-sini! Kalian akan mampus di tanganku!"

"Nanti dulu! Perkenalkan dulu namamu sebelum kami menbunuhmu!" bentak Sie Kian yang ingin tahu siapa sebenarnya musuh besarnya ini.

"Ha-ha-ha, apa artinya kalau kuperkenalkan namaku pada kalian yang sebentar lagi akan mampus?" Tiba-tiba saja orang itu sudah menerjang dengan dahsyatnya dan pedangnya bergerak amat cepatnya, berubah menjadi gdlungan sinar yang menyambar-nyambar, mengeluarkan suara berdesing dan menimbulkan angin berpusing. Sungguh suatu ilmu pedang yang amat dahsyat! Sie Kian dan Cu An segera mengerahkan tenaga dan seluruh kepandaian mereka untuk menahan serangan itu. Namun mereka segera terdesak hebat dan tiba-tiba tangan kiri lawan itu bergerak. Tiga batang piauw beronce merah menyambar ke arah tiga bagian tubuh depan Cu An, abdangkan pedangnya membuat gerakan memutar membacok ke arah tubuh Sie Kien dilanjutkan tusukan-tusukan maut!

Guru dan murid ini menjadi repot sekali. Hampir saja Cu An menjadi korban senjata rahasia piauw itu. Untung dia masih dapat melempar tubuh ke atas tanah sehingga terbebas dari renggutan maut lewat senjata piauw. Dan Sie Kian juga terhuyung ke belakang dalam usahanya mengelak dan menangkis gulungan sinar pedang. Pada saat itu, lawannya kembali menggerakkan tangan kiri dan tiga sinar merah meluncur ke arah tenggorokan, dada dan lambung Sie Kian yang sedang terhuyung, dan orang itu meninggalkannya, pedangnya kini menyambar-nyambar ke arah Cu An yang baru saja meloncat bangun dari atas tanah di mana dia berguling tadi. Cu An berusaha menangkis, namun kembali pedangnya patah dan pedang lawan meluncur terus memasuki dadanya. "Cappp....!" Pedang dicabut, darah menyembur dan tubuh Cu An terjengkang, tewas seketika karena jantungnya ditembusi pedang lawan.

Sie Kian yang juga repot sekali mengelak dari sambaran tiga batang piauw tadi, terkejut bukan main melihat muridnya roboh. Akan tetapi pada saat itu, lawannya sudah datang menerjangnya. Dia berusaha menangkis, namun seperti keadaan muridnya, pedang yang menangkis itu patah dan pedang lawan meluncur terus dengan kekuntan dahsyat menyambar ke arah leher. Terdangar suara bacokan keras dan leher Sie Kian terbabat putus. Kepalanya terlepas dari tubuhnya dan menggelinding ke atas tanah. Tubuhnya terbanting keras dan darah bercucuran membasahi tanah pekerangan. Orang itu tertawa bergelak, dengan wajah gembira dia menyambar rambut kepala Sie Kian dengan tangan kirinya, lalu dia berloncatan memasuki rumah itu.

Sementara itu, Lan Hong yang tadi mendengar teriakan ayahnya, menjadi khawatir sekali. Bagaimana ia dapat melarikan diri kalau ayahnya terancam bahaya? Apa lagi, ia harus membawa lari ibunya dan adiknya, bagaimana mungkin ia dapat berlari cepat, dan andaikata ia melarikan ibunya dan adiknya, tentu akan dapat dikejar dan disusul pula oleh musuh yang lihai. Ia merasa bimbang, apa lagi ketika melihat suhengnya melompat keluar untuk membantu ayahnya. Lan Hong lalu berdiri melindungi ibunya yang masih mendekap adiknya. Melihat ibunya menggigil ketakutan, ia berkata dengan gagah, dan mengangkat pedangnya.

"Ibu, jangan takut! Aku akan melindungi ibu dan adik Liong." Melihat sikap puterinya, Nyonya Sie timbul pula keberaniannya. Orang jahat akan mengganggu anak-anaknya? Tidak, ia tidak boleh tinggal diam saja! Biarpun tidak sangat mendalam, ia pernah pula belajar ilmu silat dan kini, melihat puterinya akan menghadapi orang jahat, dan melihat bayinya terancam, bangkit semangat dan keberanianaya. Apa lagi mengingat betapa suaminya juga terancam bahaya maut. Ia segera menurunkan Sie Liong yang masih tidur itu ke atas kasur, lalu ia sendiri berlari ke arah rak senjata yang berada di sudut ruangan belajar silat itu, memilih aenjata sebatang golok kecil yang ringan dan ia berdiri di samping puterinya.

"Kita beroama menghadapi penjahat, Hong-ji!" katanya. Lan Hong khawatir melihat ibunya, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, lebih banyak orang yang menghadang penjahat lebih baik. Ia hanya mengharapkan ayahnya dan suhengnya sudah cukup untuk mengusir penjahat yang menyerbu rumah mereka.

Tak lama kemudian, terdengar suara ketawa dan sebuah benda melayang dari pintu ruangan itu masuk ke dalam. Benda itu jatuh ke lantai lalu menggelinding ke depan dua orang wanita itu. Lan Hong yang sudah siap siaga, memandang benda itu. Sebuah kepala yang lehernya masih berlepotan darah! "Ayah....!" Ia menjerit. Ibunya melengking dan menubruk ke depan, melempar goloknya dan menangis menggerung-gerung. Pada saat itu ada bayangan orang berkelebat masuk.

"Ibu mundur....!" Lan Hong berteriak, akan tetapi terlambat. Ibunya sudah meloncat ke depan dan menubruk kepala suaminya itu, dan pada saat itu, laki-laki jangkung yang berkelebat masuk itu sudah menggerakkan pedangnya.

"Crakkkk!" Pedang itu menyambar cepat dan kuat sekali, dan leher ibu yang menangisi kepala suaminya itupun terbabat putus, kepalanya menggelinding di atas lantai dan darah menyembur-nyembur.

"Ibuuu....!" Lan Hong hampir pingsan melihat ini, akan tetapi kemarahan membuat ia dapat menahan diri dan dengan kemarahan meluap, dendam sakit hati yang amat hebat, iapun menyerang laki-laki itu dengan pedangnya, ia menusuk dengan sekuat tenaga ke arah dada orang itu sambil mengeluarkan suara melengking nyaring saking marahnya.

Laki-laki itu mengelak dan dia mengamati gadis yang menyerangnya, sinar kagum terpancar dari pandang matanya. "Ah, engkau sungguh manis sekali! Engkau puteri Sie Kian? Sungguh tak kusangka guru silat itu mempunyai seorang puteri yang begini cantik dan manis!"

Kembali dia mengelak ketika pedang di tangan Lan Hong menyambar ke arah lehernya. Lan Hong tidak memperdulikan kata-kata orang itu yang memuji-muji kecantikannya. Hatinya penuh dandam kebencian dan ingin ia menyayat-nyayat dan mencincang hancur tubuh musuh besar yang telah membunuh ayah ibunya itu. Ia melanjutkan serangannya, dan kemarahan membuat seranggnnya itu tidak teratur lagi, akan tetapi justru serangan seperti itu amat berbahaya. Melihat kenekatan gadis yang menyerangnya sambil bercucuran air mata itu, laki-laki itu segera menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang. Pedang yang menangkis itu mengeluarkan tenaga getaran kuat sehingga ketika pedang bertemu, pedang di tangan Lan Hong patah dan juga terlepas dari pegangannya! Gadis itu berdiri dengan muka pucat akan tetapi matanya terbelalak memandang penuh kabencian. Laki-laki di depannya itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya rapi, tubuhnya tinggi semampai. Seorang pria yang akan menarik hati setiap orang wanita, akan tetapi pada saat itu, Lan Hong melihatnya seperti setan jahat yang amat dibencinya.

Laki-laki itu menodongkan pedangnya ke depan dada Lan Hong, tersenyum dan kembali matanya memancarkan sinar kagum dan juga heran. "Sungguh mati, kalau usiamu tidak semuda ini, tentu kau kukira isteriku! Engkau mirip benar dangan isteriku, bahkan engkau lebih cantik manis, lebih segar dan lebih muda! Ahh, ayahmu telah membunuh istriku, sudah sepatutnya kalau dia menyerahkan puterinya sebagai pengganti isteriku. Ha-ha, benar sekali! Nona manis, engkau akan menjadi isteriku. Aku tidak akan membunuhmu, sebaliknya malah, aku akan mengambil engkau menjadi isteriku, isteri yang tercinta, dan aku akan membahagiakanmu, akan melindungimu.... engkau akan menjadi pengganti isteriku yang telah tiada...."

"Tidak sudi! Lebih baik aku mati dari pada menjadi isterimu, jahanam!" teriak Lan Hong dan kini gadis ini menyerang dengan kepalan tangannya, menghantam ke arah muka yang amat dibencinya itu.

"Plakk!" Tangan itu telah tertangkap pada pergelangannya oleh tangan kiri pria itu.

"Nona, pikirkan baik-baik dan jangan menurutkan nafsu amarah. Ingat bahwa aku terpaksa membunuh keluarga ayahmu karena ayahmu pernah membunuh isteriku yang tercinta. Sekarang, semua hutang telah lunas dan engkau...., engkau sungguh menarik hatiku, aku jatuh cinta padamu, nona. Engkau menjadi pengganti isteriku. Mudah saja bagiku untuk memaksamu dan memperkosamu, nona. Akan tetapi aku sungguh tidak menghendaki itu. Aku ingin engkau dengan suka rela menyerahkan diri padaku, menjadi isteriku yang kucinta."

"Tidak! Tidak sudi! Lebih baik aku mati!" Lan Hong meronta-ronta dan pada saat itu terdengar tangis seorang anak kecil! Sie Liong agaknya terbangun dan dia menangis menjerit-jerit seperti anak yang ketakutan. Baik Lan Hong maupun orang itu terkejut. Orang itu melepaskan Lan Hong yang tadi sudah melupakan adiknya itu, dan dengan pedang di tangan dia menghampiri kasur terhampar di mana anak itu rebah menangis.

"Aha! Kiranya keluarga Sie masih mempunyai seorang anak kecil? Laki-laki pula! Ah, dia harus mampus....!" Tiba-tiba saja Lan Hong menubruk adiknya.

"Tunggu....! Jangan.... jangan bunuh adikku....!" jeritnya sambil mendekap adiknya, melindunginya, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang pria itu.

"Jangan bunuh adikku.... ah, kumohon padamu, jangan bunuh adikku yang masih kecil ini....!"

"Dia putera ayahmu, kelak hanya akan menjadi ancaman bahaya bagiku. Aku harus membunuhnya. Berikan dia padaku!" Laki-laki itu menghardik, kini suaranya berubah, tidak seperti tadi, penuh nada manis merayu, kini terdangar galak dan kejam. Lan Hong membayangkan betapa orang itu akan membunuh adiknya. Kalau ia melawan, iapun tentu akan mati. Baginya, mati bukan apa-apa, akan tetapi kalau ia mati dan adinya mati pula, lalu siapa kelak yang akan membalas dendam setinggi gunung sedalam lautan ini? Satu-satunya jalan, ia harus mengorbankan diri, menyerahkan diri, demi adiknya agar dapat hidup, agar kelak akan ada yang membalaskan kehancuran dan pembasmian keluarga ayahnya ini!

"Tidak! Tunggu....! Aku.... aku akan menyerahkan diri, dengan suka rela.... aku akan menjadi isterimu asalkan engkau.... tidak membunuh adikku....! Kalau engkau tetap membunuhnya, aku akan melawanmu sampai mati dan aku tidak akan menyerahkan diri, aku akan membunuh diri!"

Sejenak pria itu tertegun, memandang kepada anak laki-laki dalam pondongan gadis itu, lalu memandang gadis itu dari kepala sampai ke kaki. Sungguh aneh sekali, pikirnya. Gadis ini mirip benar dengan isterinya yang telah tiada! Dan begitu bertemu, timbul rasa suka dan cinta kepada gadis ini. Baru penolakannya saja sudah menyakitkan hati, kalau dia harus memperkosanya, hatinya akan lebih kecewa lagi. Kalau gadis itu menyerahkan diri seeara suka rela, mau menjadi isterinya, alangkah akan bahagianya hatinya! Hidupnya akan menjadi terang lagi setelah kegelapan bertahun-tahun yang dideritanya karena kematian isterinya. Akan tetapi anak itu! Ah, bukahkah janjinya hanya tidak akan membunuhnya? Baik, dia tidak akan membunuhnya, tapi....! "Benar engkau akan menyerahkan diri kepadaku dengan suka rela?"
"Benar!"

"Dan engkau akan belajar mencintaku seperti aku mencintamu setelah aku menjadi suamimu yang mencintamu?" Wajah gadis itu berubah merah.

"Aku.... aku akan mencoba...."

"Bagus, kalau begitu, aku tidak akan membunuh adikmu, akan tetapi sekali engkau memperlihatkan sikap memusuhi aku yang menjadi suamimu, adikmu akan kubunuh!"

"Tidak, engkau harus bersumpah dulu! Bersumpahlah bahwa engkau tidak akan membunuh Sie Lionh, adikku ini. Bagaimanapun juga aku percaya bahwa engkau masih memilikl harga diri dan memiliki kehormatan untuk memegang teguh sumpahmu. Bersumpahlah, baru aku akan percaya padamu." Gadis itu mempertahankan diri sambil mondekap adiknya yang sudah berhenti menangis.

Pria itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau cantik, engkau manis, engkau gagah dan engkau cerdik! Sungguh membuat aku samakin jatuh cinta saja. Engkau patut menjadi isteriku, sungguh! Siapakah namamu? Aku akan bersumpah."

"Namaku Sie Lan Hong dan adikku ini Sie Liong."

"Nah, sekarang dengarkan sumpahku!" kata pria itu dan diapun berdiri dengan tegak, mengangkat pedangnya di depan dahi, mengacung ke atas dan diapun berkata dengan suara lantang. " Aku, Yauw Sun Kok, bersumpah demi nama dan kehormatanku, disaksikan oleh padang pusakaku, Bumi dan Langit, bahwa kalau Sie Lan Song menjadi isteriku dan membalas cinta kasihku, menyerah dengan suka rela kepadaku, maka aku tidak akan membunuh Sie Liong! Biar Bumi dan Langit mengutuk aku kalau aku melanggar sumpahku!"

Setelah bersumpah, pria yang mengaku bernama Yauw Sun Kok itu menyimpan pedangnya ke dalam sarung pedang dan tersenyum kepada Lan Hong. "Nah, bagaimana? Puaskah engkau dangan sumpahku tadi?" Lan Hong mengangguk dan Sun Kok nampak girang sekali.

"Manisku, Hong-moi, kekasihku, isteriku.... kemenangan ini harus kita rayakan. Untuk memperkuat sumpahku, saat ini juga engkau harus menjadi isteriku yang tercinta. Tidurkan adikmu itu...." Dengan lembut Sun Kok lalu mengambil Sie Liong dari dekapan Lan Hong, merebahkan anak itu di tepi kasur, kemudian dengan lembut namun penuh gairah, bagaikan seekor harimau, dia menerkam Lan Hong, mendorong gadis itu rebah ke atas kasur di dekat adiknya!

Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan hati gadis itu. Dara yang sedang remaja ini terpaksa harus menyerahkan dirinya bulat-bulat, tanpa perlawanan sedikitpun, menyerahkan dirinya digauli pria yang baru saja membunuh ayahnya, ibunya, suhengnya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di dalam rumah. Bahkan ia harus melayani pria itu di kasur yang dihamparkan di atas lantai lian-bu-thia, dan dari tempat ia rebah terlentang itu ia dapat melihat dua buah kepala yang berlepotan darah di atas lantai, tak jauh dari situ. Kepala ayahnya dan Ibunya! Sie Liong mulai menangis lagi, meraung-raung. Lan Hong juga menangis, merintih kesakitan. Namun, Yauw Sun Kok yang dibakar nafsu birahinya itu tidak memperdulikan semua itu. Dia sudah merasa bangga, juga bahagia sekali karena gadis itu benar-benar menyerahkan diri bulat-bulat tanpa perlawanan sedikitpun! Diapun tidak perduli ketika gadis itu, di antara isak tangis dan rintihannya, berbisik-bisik, "Ayah.... Ibu.... ampunkanlah anakmu ini.... demi keselamatan Sie Liong.... ahhhh...."

Setelah merasa puas dengan penyerahan diri yang sama sekali tidak mengandung perlawanan seperti dijanjikan gadis itu, Yauw Sun Kok merasa semakin sayang kepada Lan Song. Rasa sayang itu dibuktikan dengan diturutinya permintaan gadis itu untuk menguburkan jenazah ayah ibu gadis itu, suhengnya, dan dua orang pelayan. Sun Kok malam itu juga menggali lubang-lubang di belakang rumah keluarga Sie, menguburkan jenazah suami isteri Sie Kian dalam satu lubang, jenazab Kin Cu An dan dua orang pelayan di lain lubang. Kemudian, menjelang pagi, diapun memondong tubuh Lan Song yang juga memondong Sie Liong melarikan diri secepetnya meninggalkan tempat itu.

Gegerlah penduduk Tiong-cin ketika pada keesokan harinya mereka mendapatkan rumah keluarga Sie sunyi senyap. Ketika para penduduk memeriksa, mereka tidak menemukan seorangpun penghuni di rumah itu. Di pekarangen dan di ruangan berlatth silat nampak banyak darah, dan semua binatang di rumah itu mati dalam kandangnya. Tentu saja para petugas pemerintah melakukan pemeriksaan dan mereka menemukan dua lubang kuburan baru itu. Kuburan dibongkar dan makin gegerlah kota Tiong-cin ketika mereka menemukan mayat-mayat Sie Kian, isterinya, muridnya, dan dua orang pelayan wanita. Jelas mereka itu tewas karena dibunuh, bahkan Sie Kian dan isterinya tewas dengan kepala terpisah dari badannya. Yang membuat semua orang bingung adalah lenyapnya Sie Lan Hong dan Sie Liong, dua orang anak keluarga Sie itu.

Teka-teki peristiwa yang terjadi di rumah keluarga Sie itu tetap merupakan rahasia yang tidak terpecahkan oleh semua orang. Dan rahasia itu memang tidak mungkin dapat dipecahkan karena dua orang yang dapat menjadi kunci pembuka rahasia itu, yaitu Sie Lan Hong dan Sie Liong, telah pergi jauh sekali dari tempat itu. Ratusan bahkan ribuan li jauhnya dari kota Tiong-cin karena Yauw Sun Kok membawanya pergi ke barat, jauh sekali, di perbatasan barat propinsi Sin-kiang!

                                                                                    ke episode 2 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TULIS IDENTITAS KALIAN DENGAN LENGKAP