Sabtu, 23 April 2022

Kisah Pendekar Bongkok 4

 episode 4

Meja sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw melakukan sembahyang lelu­hur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun. Tadinya dia sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu ketika dia masih menjadi perampok dengan isterinya yang pertama. Seolah-olah dia telah melupakan begitu saja kedua orang tuanya yang telah tiada, dan melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya dan setiap tahun mereka melakukan sembahyangan.

Sie Liong masih menderita akibat pukulan cihunya dua hari yang lalu. Dia masih suka batuk-batuk dan biarpun ki­ni batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk, dan kepalanya pusing. Selama dua malam ini kalau sedang ti­dur di kamarnya, dia gelisah dan bebe­rapa kali bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihu­nya biasanya baik kepadanya, akan tetapi kini cihunya malah memukulnya. Dan Bi Sian menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula betapa Bi Sian akan dijo­dohkan dengan Lu Ki Cong putera Lu-ci­angkun itu! Hal ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian.

Keponakannya yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, akan dijodohkan dengan anak yang jahat itu! Diapun teringat kepada encinya, dan merasa kasihan ke­pada encinya. Dia merasa betapa enci­nya amat sayang kepadanya, dan encinya tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika dia dipukul oleh cihu-nya. Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan encinya gara-gara dia. Dan diapun seringkali memergoki enci­nya itu duduk melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang cantik itu terbayang kedukaan yang mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu yang dapat mendatang­kan kesedihan di hati encinya. Cihu-nya amat baik dan sayang kepada encinya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan encinya juga sudah serba cu­kup dan menyenangkan. Apa yang menye­babkan encinya kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka?

Agaknya Yauw Sun Kok masih mendongkol karena peristiwa dua hari yang la­lu. Wajahnva nampak muram dan setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw di atas meja sembahyang, dia­pun lalu meninggalkan ruangan itu un­tuk pergi ke tokonya di mana dia berdagang rempa-rempa dibantu oleh beberapa orang pegawai. Di ruangan sembahyang itu kini tinggal Sie Lan Hong, Sie Li­ong dan Yauw Bi Sian bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.

“Bi Sian, sekarang engkau bersem­bahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat kepada kakek nenek dalam dan kakek nenek luar.” Yang disebut kakek nenek dalam adalah ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.

Dua orang anak itu menyalakan beberapa hio (dupa biting) dan mulai bersembahyang. Ketika Sie Liong bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya! Usianya belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Encinya menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka ka­rena peristiwa dua hari yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin bersedih teringat akan ayah ibunya yang telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Li­ong yang biasanya keras dan tabah itu dan diapun menangis tersedu-sedu sam­bil menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang.

Bi Sian terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat pamannya menangis, pamannya yang kuat, tabah dan selalu tenang, kini menangis tersedu-sedu se­perti anak kecil. Iapun menjatuhkan diri berlutut dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya.

“Paman Liong, ada apakah? Apakah.... apakah engkau sakit....?” Bi Sian merasa menyesal sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia merasa kasihan sekali kepada Sie Liong. Sie Liong menggeleng kepala, akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari ga­dis cilik itu menambah keharuan hati­nya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya tersumbat oleh tangis. Melihat keadaan adiknya itu, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong mendekati dan berlutut lalu merangkul adiknya.

“Adik Liong, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis seperti ini? Belum pernah aku melihat engkau menangis seperti ini. Apamukah yang terasa sakit?” Sie Liong menggeleng kepala dan mengusap air matanya, mengeraskan hati­nya untuk menghentikan tangisnya.

“Yang sakit adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu meninggalkan aku sewaktu aku masih kecil sekali? Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci? Sakitkah? A­taukah ada yang membunuh mereka?”

“Akupun merasa heran, ibu dan sering aku bertanya kepada diri sendi­ri. Kenapa kakek dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda? Melihat be­tapa usia paman Liong tidak banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua benar ke­tika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?”

Ditanya oleh adik dan anaknya se­perti itu, jantung Sie Lan Hong berde­bar penuh ketegangan! Terbayanglah se­mua peristiwa yang terjadi sebelas a­tau dua belas tahun yang lalu! Betapa a­yahnya dan ibunya, juga suhengnya, dan dua orang pelayan wanita, juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh. Kemudian muncul si pembunuh yang amat kejam itu! Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya sendiri, ayah kandung Bi Sian! Ketika itu, ia baru berusia lima belas tahun! Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpak­sa menyerahkan dirinya bulat-bulat ka­rena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh besar itu!

Kemudian setelah menjadi isteri Yauw Sun Kok, ia dapat mengusir perasaan dendam dan bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan ju­ga amat mencintainya, menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian. Bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya? Mencerita­kan bahwa suaminya sendiri adalah pem­bunuh ayah ibunya dan musuh besar keluarganya? Sudah lama ia menghapus per­musuhan ini, kebencian berubah menjadi kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah mem­punyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimanapun, ia tidak akan membongkar rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!

“Enci, kenapa enci tidak menjawab pertanyaan kami? Mengapa enci kelihat­an ragu-ragu?” Sie Liong mendesak encinya, dan kini sepasang matanya yang masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah encinya dengan penuh seli­dik.

“Ah, tidak.” Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup.

“Aku ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi? Aku terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kaudengarkan ce­ritaku, dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita telah menjadi korban wabah yang amat berbahaya. Pc­nyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu kita terserang se­hingga meninggal dunia. Untuk menghin­darkan diri dari amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia sepu­luh bulan, melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita semua pindah ke sini.”

Mendengarkan cerita encinya ini, Sie Liong menarik napas panjang. “Ka­sihan sekali ayah dan ibu, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita berdua, enci.”
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah air mata. Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walaupun adiknya mempunyai gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan.

Ayah ibunya dibunuh orang! Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada batas paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya! “Enci, di manakah kita tinggal?” Sie Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut.

“Kenapa engkau menanyakan hal itu, adikku? Tempat itu adalah tempat malapetaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan dan kita sekarang menjadi penghuni ko­ta Sung-jan ini.”

“Aku hanya ingin tahu, enci. Sia­pa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu.” Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tak mungkin ia membohongi adiknya lagi dan apa salahnya kalau ia memberitahu? Biarlah adiknya itu kelak bersembah­yang di depan makam orang tua mereka.

“Dusun kita itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, berna­ma dusun Tiong-cin.”

Sie Liong mencatat nama dusun ini dan letaknya di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur, gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, a­palagi karena kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri.

                                                                                         ke episode 5                                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TULIS IDENTITAS KALIAN DENGAN LENGKAP