episode 4
Meja
sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw
melakukan sembahyang leluhur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong
saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun. Tadinya dia
sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu ketika dia masih menjadi perampok
dengan isterinya yang pertama. Seolah-olah dia telah melupakan begitu saja
kedua orang tuanya yang telah tiada, dan melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi
semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya dan setiap tahun
mereka melakukan sembahyangan.
Sie
Liong masih menderita akibat pukulan cihunya dua hari yang lalu. Dia masih suka
batuk-batuk dan biarpun kini batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun
kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk,
dan kepalanya pusing. Selama dua malam ini kalau sedang tidur di kamarnya, dia
gelisah dan beberapa kali bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa
sekali. Cihunya biasanya baik kepadanya, akan tetapi kini cihunya malah
memukulnya. Dan Bi Sian menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara
dia. Dan dia teringat pula betapa Bi Sian akan dijodohkan dengan Lu Ki Cong
putera Lu-ciangkun itu! Hal ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia
berduka untuk Bi Sian.
Keponakannya
yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, akan
dijodohkan dengan anak yang jahat itu! Diapun teringat kepada encinya, dan
merasa kasihan kepada encinya. Dia merasa betapa encinya amat sayang
kepadanya, dan encinya tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika dia
dipukul oleh cihu-nya. Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan
encinya gara-gara dia. Dan diapun seringkali memergoki encinya itu duduk
melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang
cantik itu terbayang kedukaan yang mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu
yang dapat mendatangkan kesedihan di hati encinya. Cihu-nya amat baik dan
sayang kepada encinya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan encinya
juga sudah serba cukup dan menyenangkan. Apa yang menyebabkan encinya
kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka?
Agaknya
Yauw Sun Kok masih mendongkol karena peristiwa dua hari yang lalu. Wajahnva
nampak muram dan setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw di atas
meja sembahyang, diapun lalu meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke tokonya
di mana dia berdagang rempa-rempa dibantu oleh beberapa orang pegawai. Di
ruangan sembahyang itu kini tinggal Sie Lan Hong, Sie Liong dan Yauw Bi Sian
bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.
“Bi
Sian, sekarang engkau bersembahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat kepada
kakek nenek dalam dan kakek nenek luar.” Yang disebut kakek nenek dalam adalah
ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.
Dua
orang anak itu menyalakan beberapa hio (dupa biting) dan mulai bersembahyang.
Ketika Sie Liong bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya
terasa seperti diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan
ibunya! Usianya belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia.
Encinya menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka karena peristiwa
dua hari yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang
bongkok terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin bersedih teringat akan ayah ibunya
yang telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Liong yang biasanya keras
dan tabah itu dan diapun menangis tersedu-sedu sambil menjatuhkan diri berlutut
di depan meja sembahyang.
Bi
Sian terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia
melihat pamannya menangis, pamannya yang kuat, tabah dan selalu tenang, kini
menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Iapun menjatuhkan diri berlutut
dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya.
“Paman
Liong, ada apakah? Apakah.... apakah engkau sakit....?” Bi Sian merasa menyesal
sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia
merasa kasihan sekali kepada Sie Liong. Sie Liong menggeleng kepala,
akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari gadis
cilik itu menambah keharuan hatinya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya
tersumbat oleh tangis. Melihat
keadaan adiknya itu, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong
mendekati dan berlutut lalu merangkul adiknya.
“Adik
Liong, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis seperti ini? Belum pernah aku
melihat engkau menangis seperti ini. Apamukah yang terasa sakit?” Sie Liong menggeleng kepala
dan mengusap air matanya, mengeraskan hatinya untuk menghentikan tangisnya.
“Yang
sakit adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu meninggalkan aku sewaktu aku
masih kecil sekali? Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci? Sakitkah? Ataukah
ada yang membunuh mereka?”
“Akupun
merasa heran, ibu dan sering aku bertanya kepada diri sendiri. Kenapa kakek
dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda? Melihat betapa usia paman
Liong tidak banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu
belum tua benar ketika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka,
ibu?”
Ditanya
oleh adik dan anaknya seperti itu, jantung Sie Lan Hong berdebar penuh ketegangan!
Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi sebelas atau dua belas tahun yang
lalu! Betapa ayahnya dan ibunya, juga suhengnya, dan dua orang pelayan wanita,
juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan
itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh. Kemudian muncul si
pembunuh yang amat kejam itu! Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya
sendiri, ayah kandung Bi Sian! Ketika itu, ia baru berusia lima belas tahun!
Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpaksa menyerahkan dirinya
bulat-bulat karena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh
musuh besar itu!
Kemudian
setelah menjadi isteri Yauw Sun Kok, ia dapat mengusir perasaan dendam dan
bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw
Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan juga amat mencintainya,
menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian. Bagaimana mungkin ia akan
menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya? Menceritakan bahwa suaminya
sendiri adalah pembunuh ayah ibunya dan musuh besar keluarganya? Sudah lama ia
menghapus permusuhan ini, kebencian berubah menjadi kasih sayang, permusuhan
berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah mempunyai keturunan pula!
Tidak, sampai bagaimanapun, ia tidak akan membongkar rahasia itu kepada adiknya
atau kepada anaknya!
“Enci,
kenapa enci tidak menjawab pertanyaan kami? Mengapa enci kelihatan ragu-ragu?”
Sie Liong mendesak encinya, dan kini sepasang matanya yang masih kemerahan
karena tangis tadi mengamati wajah encinya dengan penuh selidik.
“Ah,
tidak.” Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup.
“Aku
ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi? Aku
terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kaudengarkan ceritaku,
dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita telah menjadi korban
wabah yang amat berbahaya. Pcnyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan
ayah ibu kita terserang sehingga meninggal dunia. Untuk menghindarkan diri dari
amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan,
melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan
cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita
semua pindah ke sini.”
Mendengarkan
cerita encinya ini, Sie Liong menarik napas panjang. “Kasihan sekali ayah dan
ibu, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita
berdua, enci.”
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah
air mata. Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walaupun adiknya mempunyai
gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan.
Ayah
ibunya dibunuh orang! Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada
batas paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya! “Enci, di manakah kita
tinggal?” Sie
Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut.
“Kenapa
engkau menanyakan hal itu, adikku? Tempat itu adalah tempat malapetaka bagi
keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan dan kita sekarang menjadi penghuni
kota Sung-jan ini.”
“Aku
hanya ingin tahu, enci. Siapa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk
berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu.” Sie Lan Hong menggigit
bibirnya. Tak mungkin ia membohongi adiknya lagi dan apa salahnya kalau ia
memberitahu? Biarlah adiknya itu kelak bersembahyang di depan makam orang tua
mereka.
“Dusun
kita itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, bernama dusun
Tiong-cin.”
Sie
Liong mencatat nama dusun ini dan letaknya di dalam hatinya dan malam itu dia
tidak dapat tidur, gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, apalagi karena
kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TULIS IDENTITAS KALIAN DENGAN LENGKAP