Sabtu, 23 April 2022

Kisah Pendekar Bongkok 2

 episode 2

Yauw Sun Kok adalah seorang laki-laki petualang yang sudah hidup seba­tangkara sejak masih kecil. Kedua o­rang tuanya telah meninggal dunia karena wabah penyakit menular yang amat berbahaya di dusunnya dan dalam usia sepuluh tahun dia sudah hidup sebatang kara dan yatim piatu. Kehidupan yang keras seorang diri ini menggemblengnya menjadi seorang pemuda yang keras. Namun, dia memang memiliki kecerdikan sehingga biarpun ketika ayah ibunya me­ninggal dia baru berusia sepuluh tahun, namun dia telah memiliki kepandaian membaca dan menulis. Ketika dia hidup seorang diri, merantau sebatangkara dan menemui banyak kekerasan dan kesu­litan hidup, dia mengerti bahwa dalam kehidupan yang sulit dan serba keras itu, dia perlu menguasai ilmu silat. Maka, ke manapun dia merantau, dia sela­lu berusaha untuk mempelajari ilmu si­lat dari siapapun.

Akhirnya, dalam usia lima belas tahun, setelah menguasai beberapa macam ilmu silat, dia bekerja pada seorang ke­pala perampok kenamaan di sepanjang Sungai Kuning. Karena dia setia dan pan­dai mengambil hati, diapun menjadi mu­rid kepala perampok itu dan mempelajari ilmu silat dan ilmu.... merampok! Seringkali dia mewakili gurunya memimpin anak buah untuk merampok atau membajak perahu-perahu di sungai dan dalam usia dua puluh tahun, dia telah menjadi seorang perampok yang lihai dan ditakuti. Bukan saja ilmu silatnya cukup lihai, akan tetapi juga dia masih bersikap seperti orang terpelajar dengan modal sedikit ilmu sastra yang pernah dipela­jari di waktu ayahnya masih hidup. Pakaiannya selalu rapi dan karena wajah­nya tampan, maka banyak wanita yang jatuh hati kepadanya.

Di antara gadis yang tergila-gila kepadanya adalah puteri kepala perampok itu sendiri! Gadis puteri kepala perampok itu memang cantik manis, dan segera terjadilah hubungan akrab di antara mereka. Akan tetapi, kepala perampok itu tidak setuju kalau puterinya berjodoh dengan Sun Kok yang menjadi pembantunya dan muridnya pula. Biarpun dia kepala perampok, akan tetapi dia tidak ingin melihat puterinya menjadi isteri perampok! Dia ingin melihat pu­terinya menjadi isteri seorang pejabat tinggi atau seorang hartawan, setidak­nya seorang yang hidup terhormat dan terpandang! Di sini terbukti bahwa se­tiap orang yang melakukan penyelewengan dalam hidupnya, sama sekali bukan karena dia tidak tahu, atau dia menyu­kai pekerjaan maksiat atau penyelewengan itu! Kalau dia mampu, tentu saja dia akan menjauhi perbuatan menyeleweng i­tu! Kalau seorang pencuri sudah menja­di kaya raya dan terhormat, tak mung­kin dia ingin mencuri lagi! Kepala pe­rampok itupun tidak ingin mempunyai mantu perampok!

Akan tetapi, hubungan antara Sun Kok dan puteri perampok itu sudah amat jauh dan mendalam, bahkan puteri kepala perampok itu sudah berulang kali menyerahkan diri kepada Sun Kok. Sudah berulang kali mereka melakukan hubungan suami isteri dengan pencurahan kasih sayang. Karena dihalangi oleh orang tua gadis itu, jalan satu-satunya bagi mereka hanyalah minggat! Sun Kok dan kekasihnya meninggalkan sarang kepala perampok itu dan gadis itu ketika lari membawa pula beberapa barang berharga. Dan mulailah mereka berdua hidup seba­gai suami isteri perampok! Mereka jauh meninggalkan sarang kepala perampok di tepi Sungai Kuning itu dan mereka men­jadi perampok di sepanjang perbatasan Propinsi Hok-kian di timur.

Demikianlah sedikit riwayat Yauw Sun Kok sampai lima tahun kemudian, ketika dia berusia dua puluh lima tahun dan menjadi perampok bersama isterinya tercinta, mereka berdua ketika sedang merampok kereta keluarga bangsawan; mereka bertemu dengan Sie Kian dan dalam perkelahian, isteri Yauw Sun Kok tewas di tangan Sie Kian! Yauw Sun Kok yang kematian isterinya, menjadi berduka sekali dan dia mendendam sakit hati yang hebat terhadap Sie Kian. Kembali dia hidup sebatangkara karena isterinya belum pernah melahirkan seorang anak. Dengan dandam yang bernyala, Yauw Sun Kok lalu merantau ke barat. Dia mendengar bahwa Pegunungan Himalaya merupakan gudang para pertapa yang memi­liki ilmu kepandaian tinggi, maka ke sanalah dia pergi, untuk belajar ilmu silat yang lebih tinggi agar kelak dia dapat membalas dandamnya kepada Sie Kian.

Selama lima tahun, Yau Sun Kok menghamburkan semua hartanya yang di­kumpulkan dari hasil merampok bersama isterinya, termasuk harta bawaan iste­rinya, untuk belajar ilmu silat. Bermacam guru ditemuinya dan diapun berhasil mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi, dan mendapatkan sebatang pedang pusaka yang disebut Pek-lian-kiam (Pe­dang Teratai Putih) karena di badan pedang itu terdapat ukiran setangkai bunga teratai putih dan pedang itu sendiri terbuat dari baja putih sehingga kalau dimainkan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.

Setelah merasa cukup memiliki il­mu silat yang boleh diandalkan, Yauw Sun Kok lalu pergi mencari musuh besarnya. Tidak sukar baginya untuk menemu­kan tempat tinggal Sie Kian atau Sie Kauwsu yang membuka perguruan silat bayaran di kota Tiong-cin itu. Dia mela­kukan penyelidikan dan merasa girang melihat betapa rumah keluarga Sie ber­diri terpencil dan para muridnya tinggal di luar perguruan. Setelah memper­hitungkan masak-masak, dia lalu mengi­rim surat ancaman itu dengan mempergu­nakan senjata rahasia piauwnya dan akhirnya, dia berhasil membasmi keluar­ga Sie, dan melarikan dua orang anak musuh besarnya. Sungguh di luar perhitungannya bahwa dia dapat jatuh cinta kepada Lan Hong, padahal dia bukahlah seorang yang mata keranjang dan mudah tergila-gila kepada wanita cantik. Mungkin karena ada persamaan atau kemiripan antara wajah Lien Hong dan mendiang isterinya, maka dia tertarik sekali.

Setelah berhasil menaklukan Lan Hong sehingga gadis remaja itu menyerahkan diri kepadanya, Yauw Sun Kok merasa gembira sekali. Dia maklum bahwa perbuatannya di Tiong-cin itu akan menimbulkan kegemparan, maka dia lalu melakukan perjalanan secepatnya menuju ke barat! Dia membawa Lan Song yang telah menjadi isterinya itu ke Sin-kiang bersama anak kecil itu. Di sebuah kota kecil bernama Sung-jan, di perbatasan barat Propinsi Sin-kiang, Tauw Sun Kok telah memiliki sebuah rumah yang lumayan. Di sinilah tempat tinggalnya yang terakhir setelah menuntut ilmu. Dan di kota ini, namanya sudah mulai terkenal sebagai seorang yang lihai. Namanya mulai terke­nal, karena dia mempunyai hubungan de­ngan banyak tokoh kang-ouw di daerah barat. Memang Sun Kok pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw yang berilmu titiggi dan dengan kepandaiannya mengambil hati ini, dia dapat mempelajari banyak macam ilmu silat.

Setelah tiba di rumahnya, Sun Kok lalu merayakan pesta pernikahannya dengan Sie Lan Hong! Meriah juga pesta itu karena selain mengundang orang-orang terkemuka di kota Sung-jan, juga dia mengundang tokoh-tokoh kang-ouw di da­erah barat yang menjadi kenalannya. Suatu keanehan terjadi dalam hati Sie Lan Hong. Melihat sikap bekas mu­suh besar yang kini menjadi suaminya itu, sikap yang amat baik, penuh dengan kelembutan dan cinta kasih, penuh ke­mesraan dan kesabaran, sedikit demi sedikit lenyaplah kebencian di dalam hati dara remaja ini! Apalagi melihat betapa Sun Kok bersungguh-sungguh memperisterinya, bukan sekedar main-main dan untuk mempermainkannya saja. Melihat betapa suaminya itu mengadakan pesta yang meriah untuk pengesahan pernikahan mereka, timbul perasaan suka di hati gadis ini. Sun Kok yang berpenga­laman itu memang pandai merayu, dan Lan Hong adalah seorang gadis yang usianya baru lima belas tahun, maka mudah saja dia terbuai dalam kemesraan dan kenik­matan kasih sayang suaminya. Perlahan-lahan, rasa benci dan dandam itu lenyap terganti perasaan cinta yang mesra!

Akan tetapi ada suatu hal yang menggelisahkan hati Yauw Sun Kok. Dia­pun kini sudah tidak mendandam lagi kepada keluarga Sie, dan cintanya terha­dap Lan Hong yang sudah menjadi isterinya adalah cinta yang mendalam. Bahkan diapun tidak membenci Sie Liong, adik isterinya itu. Sebaliknya, dia juga memiliki perasaan sayang kepada anak i­tu, di samping perasaan iba mengingat betapa anak itu sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi. Akan tetapi, di sam­ping perasaan sayang dan iba ini, ada semacam kegelisahan timbul dalam hati­nya setiap kali dia memangku dan menimang Sie Liong. Dalam diri anak ini dia melihat ancaman bahaya besar! Kalau kelak Sie Liong sudah menjadi seorang dewasa, tentu dia akan mendangar akan kematian ayah ibunya di tangan kakak i­parnya ini, dan tentu akan terjadi malapetaka! Besar sekali kemungkinannya, Sie Liong kelak akan mencoba untuk membalas dandam! Dari pihak isterinya, dia tidak khawatir karena dia dapat merasakan kemesraan dan kasih sayang dari isterinya kepadanya. Akan tetapi anak ini?

Setahun kemudian, ketika Sie Liong sudah pandai berjalan, pada suatu hari Sun Kok mengajaknya ke kebun belakang. Sementara itu Lan Hong menyusui anaknya di dalam kamar. Satelah menikah setahun lamanya, Lan Hong melahir­kan seorang anak perempuan yang mungil dan diberi nama Yauw Bi Sian. Ketika itu, Bi Sian baru berusia satu bulan. Sun Kok mengajak Sie Liong ke kebun dan memang anak ini dekat sekali dengan dia. Sun Kok seringkali menimang dan memondongnya, seolah-olah adik isteri­nya itu anak kandungnya sendiri. Dan memang dia tidak berpura-pura. Ada ra­sa sayang dan iba kepada Sie Liong.

Akan tetapi, ketika dia membawa Sie Liong bermain-main di kebun belakang, kembali dia teringat akan bahaya yang mengangancam dari diri anak ini. Dia tahu bahwa Sie Liong memiliki tulang yang kuat dan darah yang bersih. Anak ini berbakat baik sekali untuk kelak menjadi seorang yang gagah perkasa. Kalau kelak anak ini menjadi seorang pandai, tentu keselamatan dirinya terancam! Wajah anak itu saja sudah mulai mengingatkan dia akan wajah Sie Kian yang dibunuhnya. Berbeda dari wajah isterinya yang mirip ibunya. Kelak Sie Liong akan menjadi Sie Kian kedua yang mungkin saja akan membunuhnya untuk membalas dendam! Mulailah dia merasa menyesal mengapa dia membunuh dan membasmi keluarga Sie tanpa mengenal ampun. Pada hari ini dia insyaf, mendiang Sie Kian membunuh isterinya bukan karena benci atau dendam, melainkan dalam perkelahian yang wajar. Sie Kian sebagai seorang pendekar membela bangsawan yang dirampoknya, dan dalam perkelahian itu Sie Kian berhasil mengalahkan dia dan isterinya. Isterinya tewas dan dia terluka, juga Sie Kian terluka oleh senjata rahasia piauw-nya.

Bagaimanapun juga, anak ini merupakan ancaman bahaya besar. Betapa mudahnya melenyapkan ancaman bagiya itu. Sekali menggerakkan tangannya, anak ini akan mati dan lenyaplah ancaman bahaya itu. Akan tetapi, dia teringat akan sumpahnya kepada isterinya. Dia telah bersumpah tidak akan membunuh anak ini, dan isterinya ternyata juga memegang teguh janjinya. Isterinya itu kini menjadi seorang isteri yang mencinta, mesra dan bahkan telah melahirkan seorang anak keturunannya! Bagaimana mungkin dia melanggar sumpahnya? Isterinya benar. Bagaimanapun juga, dia masih memiliki harga diri dan dia tidak akan melanggar sumpahnya! Dan pula, bagaimana dia tega membunuh anak ini yang sudah disayangnya pula?

“Ci-hu (kakak ipar).... ci-hu.... tangkap.... tangkap....!” Tiba-tiba Sie Liong berseru gembira sambil menunjuk ke arah seekor kupu-kupu kuning yang beterbangan di antara kembang-kembang yang tumbuh di kebun itu. Yauw Sun Kok memandang anak itu. Dia tersenyum.

“Kau tangkaplah sendiri, Sie Liong! Engkau anak pandai, harus mampu monangkap sendiri kupu-kupu itu.” Sie Liong dengan gembira berlari-lari mengejar kupu-kupu itu. Akan tetapi kupu-kupu itu terlampau gesit dan terbangnya terlampau tinggi bagi Sie Liong yang mengejar terus. Karena selalu melihat ke arah kupu-kupu di atas, ketika berlari-lari itu, tiba-tiba ka­ki Sie Liong tersandung batu besar dan diapun tergelincir dan terguling.

“Dukk!” ketika terjatuh itu, kepalanya membentur batu dan anak itupun pingsan! Kepalanya yang kanan dekat pelipis mengeluarkan benjolan berdarah. Sun Kok terkejut dan cepat dia meloncat menghampiri dan memondong tubuh anak itu, lalu duduk di atas bangku dan memangkunya. Sie Liong telah pingsan. Ketika dia hendak menyadarkan anak itu dengan memijat belakang kepalanya, ti­ba-tiba menyelinap pikiran lain dalam banaknya. Inilah kesempatan yang amat baik! Dia tidak akan membunuh anak ini akan tetapi dapat membuatnya menjadi cacat dan dengan cacatnya itu, kelak dia tidak akan dapat menjadi orang ku­at dan terhindarlah dia dari ancaman balas dandam anak ini! Membuat dia ca­cat tidak berarti membunuhnya. Dia tl­dak melanggar sumpahnya, dan dalam ke­adaan pingsan begini, anak inipun ti­dak merasakan apa-apa! Dan dia akan mengusahakan agar tidak ada bekas-bekas penganiayaan, dan peristiwa jatuhnya anak ini kelak dapat menjadi alasan mengapa dia menjadi cacat!

Tanpa ragu lagi, Sun Kok menelungkupkan tubuh Sie Liong yang pingsan i­tu, membuka bajunya, kemudian dengan dua jari tangan kanannya, dia menotok dan memuntir tiga kali di punggung a­nak itu! Benar seperti dugaannya, anak yang pingsan itu tidak kelihatan kesakitan, padahal tiga kali totokan jari dan puntiran itu telah membuat tulang punggung itu retak dan jaringan sya­raf dan ototnya menjadi hancur! Sun Kok memondong kembali tubuh itu setelah membereskan pakaiannya, membawanya pulang ke rumah. Tanda biru menghitam pada punggung itu tentu tidak menimbulkan kecurigaan. Tak seopun akan menyangba bahwa tanda itu adalah tanda bekas totokan dan puntiran jari tangannya! Melihat suaminya memasuki kamar memondong tubuh Sie Liong yang lemas seperti anak tidur, Lan Hong terkejut. “Ah, ada apakah?” tanyanya, memandang wajah suaminya dengan khawatir.

“Dia mengejar kupu-kupu, tersan­duag dan terjatuh, kepalanya terban­ting ke atas batu dan dia pingsan,” katanya sambil merebahkan tubuh anak itu ke atas pembaringan. Lan Hong sejenak memandang wajah suaminya, penuh dengan kecurigaan dan sepasang alisnya berkerut. Melihat isterinya memandangnya seperti itu, Sun Kok manghampiri dan merangkul isterinya.

“Isteriku yang baik, apakah sampai kini engkau belum juga percaya padaku? Ingat, aku takkan pernah melupakan sumpahku. Aku tidak akan membunuh Sie Liong! Aku sudah amat sayang padanya. Bagaimana kini engkau dapat memandang kepadaku dengan kecurigaan seperti itu?”

Lan Hong membalas rangkulan suaminya. “Ah, maafkan aku....” dan iapun segera memeriksa keadaan Sie Liong. Kelihatannya hanya kepala anak itu saja yang terluka, berdarah dan membenjol. Akan tetapi biarpun mereka berdua telah berusaha untuk membikin sadar, anak itu tetap saja pingsan. Hal ini membuat Lan Hong merasa khawatir sekali dan suaminya segera pergi mengundang seorang tabib yang terkenal pandai di kota Sung-jan itu. Tabib itu seorang peranakan Nepal dan memamng dia pandai sekali dalam soal pengobatan. Orang berkulit hitam dan tinggi kurus bersorban putih itu datang membawa keranjang obatnya, dan segera memeriksa Sie Liong. Tabib itu sudah lama mengenal Yauw Sun Kok yang dikenal di kota itu sebagai seorang ahli silat yang pandai disamping pekerjaannya sebagai seorang pedagang rempah-rempah yang cukup maju.

Mula-mula dia memeriksa keadaan kepala yang benjol itu, ditunggui dengan penuh kekhawatiran oleh Lan Hong yang memondong puterinya dan suaminya. Tabib itu mengangguk-angguk. “Hanya luka di luar, tidak berbahaya dengan kepala ini. Hemm, kenapa dia belum juga siuman? Tentu ada luka lain. Biar kuperiksa tubuhnya.”

Dia lalu membuka pakaian anak itu, dibantu oleh Sun Kok. Ia sama sekali tidak merasa khawatir. Seorang tabib yang pandai seperti orang Nepal ini tentu akan dapat menemukan luka di punggung itu, akan tetapi tak mungkin akan tahu bahwa itu disebabkan oleh totokan jari tangan dan a­kan mengira bahwa punggung itupun terpukul benda keras.

Dugaannya memang benar. Setelah memeriksa seluruh tubuh, akhirnya tabib itu menemukan tanda menghitam di tulang pungung. “Ahh, inilah yang menyebabkan dia pingsan terus! Punggungnya terluka, dan luka ini lebih hebat dari pada luka di kepalanya!”

Dia memeriksa dengan teliti, lalu mengerutkan alisnya, manggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang. “Bagaimanakah keadaannya, Sin-she (Tabib)?” tanya Lan Hong khawatir melihat muka orang Nepal itu.

“Tidak baik.... sungguh tidak baik....! Luka di punggung ini hebat sekali. Agaknya tulang punggung ini retak, dan otot-ototnya juga terluka parah....”

“Aihh! Bagaimana hal itu dapat terjadi? Dan.... dan.... apakah dia dapat disembuhkan, Sin-she?” tanya pula Lan Hong sambil memandang suaminya. Sun Kok mengangguk-angguk.

“Aku hanya melihat ada batu besar di bawah­nya ketika dia jatuh. Karena yang nam­pak hanya kepalanya yang membenjol dan berdarah, kusangka hanya itu saja lukanya. Tentu punggunguya terbanting pada batu yang menonjol sehingga seperti terpukul.”

Tabib itu mengangguk-angguk. “Agaknya begitulah. Akan tetapi jangan kha­watir, dia masih kecil sehingga luka parah itu tidak akan merenggut nyawa­nya, walaupun aku khawatir sekali....” Melihat tabib itu nampak ragu, Lan Hong bertanya cemas, “Khawatir apa, Sin-she? Katakanlah, apa yang akan terjadi dengan adikku?”

“Dia akan dapat disembuhkan, oleh obatku dan oleh kekuatan tubuhnya sen­diri yang masih murni. Akan tetapi tu­lang punggungnya itu akan tidak normal pertumbuhannya dan aku khawatir kelak dia akan menjadi seorang yang bongkok.”

“Ahh....!” Lan Hong menutupi mukanya dengan tangan, ngeri membayangkan adiknya menjadi seorang yang bongkok punggungnya. Tangan suaminya menyentuh pundak­nya dengan lembut.

 “Tidak perlu berdu­ka. Biar cacat, biar bongkok asal sehat, bukankah begitu? Yang penting Sie Liong dapat sembuh dan sehat kembali.”

Sie Liong mendapat perawatan baik-baik dan tepat seperti keterangan ta­bib pandai itu, Sie Liong dapat sembuh, akan tetapi pertumbuhan tulang pung­gungnya tidak normal. Dua tahun kemudian sudah nampak betapa punggungnya bongkok dan ada punuk di punggungnya seperti punggung onta. Dan Yauw Sun Kok diam-diam tersenyum seorang diri, merasa lega dan aman sekarang. Seorang bocah yang bongkok punggungnya, bagai­manapun juga tidak mungkin akan dapat menjadi seorang yang perlu ditakuti. Rasa takut dapat membuat orang menjadi curang dan kejam sekali. Sun Kok mela­kukan kekejaman itu kepada seorang a­nak kecil yang sebetulnya sudah mulai disayangnya karena dia takut membayangkan betapa Sie Liong kelak akan menge­tahui tentang kedua orang tuanya yang dibunuhnya, kemudian anak itu akan membalas dendam kepadanya.

Sie Lan Hong juga bukan seorang wanita yang bodoh. Biarpun suaminya memberi keterangan bahwa Sie Liong terjatuh menimpa batu ketika mengejar ku­pu-kupu, dan ketika Sie Liong telah sadar anak itupun dapat bercerita sedi­kit-sedikit bahwa kupunya nakal, bahwa dia terjatuh ketika mengejar kupu-kupu, namun diam-diam Lan Hong menaruh perasaan curiga kepada suaminya. Ia tahu bahwa suaminya itu, bagaimanapun juga, masih merasa khawatir kalau-kalau Sie Liong kelak akan mengetahui akan kema­tian orang tuanya lalu anak itu akan membalas dendam kepadanya. Ia meraga curiga apakah jatuhnya adiknya itu bu­kan disengaja dan dibuat oleh suaminya! Akan tetapi ia sudah terlalu mencinta suaminya, apalagi kini mereka telah mempunyai seorang anak. Dan andaikata benar ada unsur kesengajaan dari suaminya yang menyebabkan adiknya terjatuh dan menjadi cacat, tetap saja suaminya tidak melanggar sumpahnya. Suaminya pernah bersumpah tidak akan membunuh Sie Liong! Dan membuatnya cacat bukan­lah pembunuhan. Maka, khawatir kalau ia menuduh tanpa bukti hanya akan merenggangkan kasih sayang antara ia dan suaminya, Lan Hong diam saja dan mena­han itu di dalam hatinya.

                                                                ke episode 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TULIS IDENTITAS KALIAN DENGAN LENGKAP