episode 3
Waktu
berjalan dengan amat cepatnya dan Sie Liong kini telah menjadi seorang anak
laki-lakl berusia tiga belas tahun. Encinya tidak mempunyai anak lain kecuali
Yauw Bi Sian yang sudah berusia sebelas tahun pula. Dan Sie Liong tumbuh besar
sebagai seorang anak laki-laki yang amat cerdas, rajin dan pendiam. Akan
tetapi dia rajin sekali bekerja. Dan biarpun punggungnya bongkok dengan punuk
sebesar kepalan tangan, namun tubuhnya sehat dan dia tidak pernah sakit. Juga
otaknya cerdas sekali sehingga ketika seorang guru sastra didatangkan oleh Sun
Kok untuk mengajar puterinya, Sie Liong yang ikut pula belajar, dengan cepat
sekali dia dapat menghafal semua huruf sehingga guru yang mengajar itu
memujinya sebagai anak yang amat cerdas.
Sun
Kok masih merasa aman melihat perkembangan Sie Liong yang kini menjadi seorang
anak yang biarpun pandai membaca dan menulis, namun seorang anak bongkok yang
biarpun sehat bertubuh lemah. Hanya satu hal yang mengecewakan hatinya melihat
bahwa Sie Liong tidaklah menjadi seorang anak berpenyakitan seperti yang
diharapkannya, melainkan menjadi seorang anak sehat. Seringkali terjadi
pertentangan dalam batinnya sendiri. Sepihak dia merasa kecewa melihat anak
itu sehat, di lain pihak dia merasa girang karena betapapun juga ia merasa
sayang kepada anak itu!
Sie
Liong memang seorang anak yang tahu diri. Dia merasa bahwa hidupnya menumpang
kepada cihu (kakak ipar), maka diapun tidak bermalas-malasan. Setiap hari,
pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan membantu pekerjaan rumah walaupun
cihu-nya mempunyai beberapa orang pelayan. Dan sejak kecil, Bi Sian amat dekat dengannya
karena dialah yang selalu mengajak keponakan itu bermain-main. Bi Sian juga
merasa amat akrab dan sayang sekali kepada pamannya itu. Karena usia mereka
hanya berselisih dua tahun saja, maka biarpun mereka itu paman dan keponakan,
hubungan mereka amat akrab sebagai dua orang anak yang sebaya atau sepantar.
Semenjak
Bi Sian berusia enam tahun, ayahnya telah mulai memberi pelajaran ilmu silat
kepadanya. Melihat ini, Sie Liong merasa ingin sekali untuk ikut belajar,
akan tetapi selalu cihu-nya melarangnya. “Sie Liong, engkau harus
tahu bahwa keadaan tubuhmu tidak memungkinkan engkau belajar ilmu silat.
Ketahuilah bahwa syarat utama bagi orang yang ingin menguasai ilmu silat
dengan baik adalah ketegakan tubuhnya. Tulang punggung dari tengkuk sampai
pinggang haruslah tegak dan rata, maka tidak baik kalau engkau berlatih silat.
Lebih baik engkau menekuni ilmu membaca dan menulis.” Demikian Sun Kok pernah
berkata. Mendengar
ini, Sie Liong menundukkan mukanya dan merasa bersedih. Akan tetapi dia tahu diri
dan mulai saat itu, dia tidak pernah mengemukakan keinginannya belajar ilmu
silat.
Akan
tetapi, Bi Sian amat sayang kepada paman kecilnya itu. Anak perempuan ini tahu
belaka akan isi hati kawan bermainnya ini, maka iapun tahu benar betapa paman
kecil itu ingin sekali ikut belajar ilmu silat. Oleh karena itu, setiap kali
mereka berdua saja tanpa diketahui orang lain, Bi Sian lalu mengajarkan semua
gerakan yang dipelajarinya dari ayahnya kepada Sie Liong. Dan si bongkok inipun
menerimanya dengan amat gembira. Memang dia ingin sekali belajar silat, maka
tentu saja dia gembira menyambut uluran tangan Bi Sian yang mengajarnya. Dan
ternyata, kecerdasannya membantunya dengan luar biasa sekali sehingga dia mudah
menghafal setiap gerakan, bahkan karena bakatnya, dia mampu bergerak lebih
lincah dan lebih cekatan dan baik dibandingkan Bi Sian. Tentu saja ada hambatan
besar baginya, yaitu kebongkokan tubuhnya. Maka, dalam beberapa gerakan nampak
betapa gerakannya melakukan jurus itu nampak lucu sekali. Dan kadang-kadang Sie
Liong merasa nyeri pada tengkuk dan punggungnya setelah dia berlatih silat
bersama Bi Sian.
Setelah
Sie Liong berusia tiga belas tahun dan Bi Sian berusia sebelas tahun, kedua
orang anak ini telah mempelajari banyak macam gerakan silat. Bi Sian telah
menjadi seorang gadis cilik yang pandai bersilat. Gerakannya lincah sekali dan
karena ia sejak kecil digembleng ayahnya dan mempelajari samadhi dan latihan
pernapasan, maka biarpun usianya baru sebelas tahun, anak perempuan ini
memiliki tenaga yang kuat. Dua
orang anak yang saling mengasihi dan saling membela ini dapat menyimpan
rahasia Sie Liong mempelajari ilmu silat sehingga baik Sun Kok maupun Lan Hong
sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Sie Liong yang sehat dan gerakannya
yang cekatan, suami isteri itu hanya mengira bahwa itu adalah berkat rajinnya
akan itu bekerja, memikul air, menyapu dan pekerjaan lain yang dilakukannya
tanpa diperintah. Akan
tetapi akhirnya kemampuannya bersilat itu terbuka dengan terjadinya suatu
peristiwa. Semua orang di kota Sung-jan tahu belaka bahwa Yauw Sun Kok adalah
seorang ahli silat yang pandai. Pernah beberapa kali Yauw Sun Kok membantu para
petugas keamanan kota memberantas gerombolan perampok sehingga dia dikenal
sebagai seorang jagoan yang disegani. Oleh karena itu, tidak ada penduduk yang
berani mengganggu keluarganya. Biarpun semua orang mengenal Sie Liong sebagai
si Bongkok, namun di depan Yauw Sun Kok dan isterinya, tidak ada orang yang
berani mengganggu anak bongkok itu, karena mereka maklum bahwa anak bongkok itu
adalah adik isteri Yauw Sun Kok.
Pada
suatu hari Bi Sian dan Sie Liong pergi ke Pasar untuk berbelanja. Tadinya Sie
Liong yang disuruh encinya pergi ke pasar untuk berbelanja berbagai bumbu dapur
yang sudah hampir habis persediannya. Melihat Sie Liong pergi ke pasar, Bi Sian
ikut dan ibunya memperkenankan karena anak perempuan itu dapat pula membantu
Sie Liong membawa barang belanjaan yang cukup banyak. Hari itu memang ramai sekali
orang pergi berbelanja. Juga keadaan kota Sung-jan amat ramai. Maklumlah, orang
menyambut hari raya Imlek, menyambut “tahun baru” atau munculnya musim semi
yang cerah dan mendatangkan berkah bagi para petani melalui sawah ladang
mereka. Seminggu lagi “sin-cia” tiba dan orang-orang sibuk berbelanja membeli
berbagai keperluan dapur, dan mulai ramai orang memasak karena pada hari-hari
itu biasanya mereka mengadakan sembahyangan pada abu leluhur masing-masing.
Menyembahyangi
abu leluhur merupakan suatu kebiasaan tradisi yang amat kuno di Tiongkok.
Tradisi ini mendorong semua orang untuk selalu berbakti setia, dan mencinta
sambil menghormati orang tua dan nenek moyang mereka. Bagi kebiasaan tradisi
ini, ada tiga macam kebaktian yang tidak boleh ditinggalkan manusia, kalau
mereka ingin hidup benar. Pertama, berbakti kepada Langit dan Bumi, istilah
yang kemudian dikenal sebagai Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Maha Pencipta
yang juga menciptakan diri kita. Kedua, berbakti kepada ayah ibu, orang tua dan
nenek moyang sebagai orang-orang yang telah menghadirkan kita di dunia ini dan
kemudian menjadi pemelihara dan pelindung kita, dan ketiga berbakti kepada
guru sebagai orang yang telah membimbing dan memberi petunjuk kepada kita. Pada
masa itu, kalau seseorang tidak memenuhi tiga macam kebaktian ini, dia dianggap
sebagai seorang yang murtad, seorang yang berdosa dan jahat!
Jelaslah
bahwa menyembahyangi abu leluhur berarti menanamkan rasa hormat, cinta dan
bakti kepada orang tua, seolah-olah mengingatkan kita bahwa sampai orang tua
sudah meninggalpun kita tidak boleh melupakan cinta kasih dan jasa mereka
terhadap kita. Tindakan seperti ini tentu saja memberi contoh yang baik kepada
anak cucu kita, seperti suatu peringatan kepada mereka bahwa merekapun wajib
mencinta dan menghormati orang tua mereka seperti kita menghormati orang tua
kita. Namun
sayang seribu sayang, tujuan yang amat bijaksana dan baik ini seringkali
diselewengkan orang. Banyak
orang bersembahyang di depan meja abu leluhur
mereka dengan suatu pamrih tertentu. Bukan semata untuk menghormat dalam kenangan
terhadap orang tua, melainkan sembahyangan itu menyembunyikan pamrih agar
mereka yang bersembahyang itu diberkati oleh roh si mati! Ini suatu
penyelewengan besar! Bahkan sesudah matipun, orang-orang tua itu kita minta,
untuk melakukan sesuatu demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi kita!
Memang, segala tujuan, betapapun baiknya, akan disalahgunakan orang kalau di
situ sudah terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, demi
kepentingan diri sendiri. Segala sesuatu akan menjadi palsu dan kotor, karena
semua perbuatan itu palsu adanya, semata menjadi sarana untuk mencapai sesuatu
yang diinginkan, dalam hal ini tentu saja yang diinginkan adalah demi
kesenangan sendiri, demi kepentingan diri sendiri! Adakah sembahyangan di
depan abu leluhur yang dilakukan orang demi penghormatan dan kenangan kasih
sayang orang-orang tua itu semata? Tanpa adanya pamrih pribadi itu? Kalau ada,
alangkah baiknya!
Hati
Sie Liong den Bi Sian gembira sekali ketika mereka membawa keranjang kosong,
pergi ke pasar. Jalan menuju ke pasar itupun ramai, penuh orang berlalu lalang
dan wajah mereka rata-rata gembira. Banyak orang sudah mengenal Sie Liong
karena bongkoknya memang mudah membuat orang mengingatnya. Dan banyak orang
yang berjumpa di jalan menegur dan menyapa Sie Liong. Ada yang menyebutnya
Sie-kongcu (Tuan muda Sie), ada yang menyebutnya dengan “Hee, bocah bongkok!”
begitu saja. Namun, Sie Liong tetap tersenyum dan menjawab mereka semua dengan
kata-kata ramah bahwa dia akan pergi berbelanja ke pasar. Dia maklum bahwa
mereka yang menyebutnya si bongkok itupun bukan dengan maksud menghina,
melainkan dengan ramah dan hendak bergurau. Dia sudah terbiasa mendengar
sebutan si bongkok. Dulu, ketika dia berusia sekitar enam tahun, mulai mengerti
akan harga diri, memang sebutan itu menyakitkan hati. Apalagi kalau dia
bercermin dan melihat betapa tubuhnya melengkung ke depan, dia merasa rendah
diri. Akan tetapi karena sudah terbiasa, kini sebutan si bongkok tidak
mempengaruhi batinnya. Dia sudah menerima kenyataan bahwa dia memang bertubuh
bongkok, dan memang sepatutnya disebut si bongkok!
Akan
tetapi, setiap kali ada orang menyebut Sie Liong dengan sebutan si Bongkok, Bi
Sian mengerutkan alisnya dan melotot marah kepada orang yang menyebut demikian.
Di dalam hatinya, Bi Sian tidak rela paman kecilnya disebut Si Bongkok, yang
dianggapnya suatu ejekan atau hinaan. Dua orang anak yang berjalan berdampingan
itu memang merupakan pemandangan yang agak ganjil. Wajah Sie Liong memang
tidak buruk, biasa saja, dan pakaiannya juga pantas. Akan tetapi tubuhnya yang
melengkung ke depan itu, dengan punuk pada punggungnya yang makin membesar,
membuat dia nampak pendek dan kedua lengannya kelihatan panjang seperti
lengan monyet. Pendeknya, Sie Liong bukanlah seorang pemuda remaja yang menarik
hati, melainkan sesosok tubuh yang dapat menimbulkan rasa geli dan juga iba
dalam hati orang yang memandangnya. Sebaliknya, Yauw Bi Sian adalah seorang
anak perempuan berusia sebelas tahun yang mungil. Wajahnya manis sekali, terutama
sepasang matanya dan mulutnya. Kulitnya putih mulus, dan bentuk tubuh yang
masih kekanak-kanakan itupun padat dan sehat, menjanjikan bentuk tubuh seorang
wanita yang indah. Kalau dara cilik ini diumpamakan setangkai bunga yang belum
mekar, kuncup yang indah menarik, sebaliknya Sie Liong seperti seekor kupu-kupu
yang jelek dan cacat. Sungguh tidak merupakan pasangan yang serasi.
Mereka
sudah tiba di dekat pasar ketika tiga orang anak laki-laki yang berusia antara
tiga belas sampai lima belas tahun melihat mereka. Tiga orang anak-anak itu
tadinya bermain-main di tepi jalan. Ketika mereka melihat Sie Liong dan Bi
Sian, mereka menghentikan permainan mereka dan memandang kepada dua orang anak
yang membawa keranjang kosong itu. Mereka bertiga tahu siapa adanya Sie Liong
dan mereka tidak pernah berani mengganggu, mengingat bahwa Si Bongkok itu
adalah adik isteri Yauw Sun Kok yang terkenal jagoan. Akan tetapi mereka
melihat Bi Sian yang dalam pandangan mereka amat manis dan menarik. Mulailah
mereka merasa iri kepada Sie Liong. Anak semanis Bi Sian tidak cocok untuk
berjalan bersama Si Bongkok.
Karena
iri maka tiga orang anak itu sengaja hendak memperolok-olok Sie Liong. “Nona Yauw, apakah engkau
hendak berbelanja ke pasar?” tanya seorang diantara mereka.
Karena
pertanyaari itu sopan dan wajar, Bi Sian mengangguk, “Benar, aku hendak
berbelanja ke pasar.”
“Kalau
begitu, marilah kuantar engkau, Nona. Biar nanti kami bertiga yang membawakan
barang belanjaanmu sampai ke rumahmu.”
“Benar,
nona Yauw. Daripada engkau berjalan dengan si Bongkok ini, menjadi buah tertawaan
orang!” kata anak ke dua. “None
Yauw,” kata orang ke tiga sambil tertawa.
“Engkau
membawa monyetmu ke pasar, apakah hendak kaujual?” Tiga orang anak itu tertawa
sambil menuding kepada Sie Liong. Sie Liong tersenyum saja, tidak marah karena
dianggap mereka bertka itu berkelakar saja. Akan tetapi Bi Sian yang menjadi
marah sekali. Mukanya berubah merah dan ia melangkah maju dengan sikap mengancam.
“Kalian
ini tikus-tikus busuk, berani menghina orang! Apakah kalian menantang
berkelahi?” bentak Bi Sian dengan sikap galak.
Anak
yang paling besar di antara mereka, yang bertubuh jangkung kurus dan mukanya
penuh jerawat, berusia kurang lebih lima belas tahun, lalu memberi hormat
kepada Bi Sian. “Aih, mana kami berani menghinamu, nona Yauw? Kami hanya
main-main dengan Si Bongkok ini, karena memang kami penasaran melihat nona
diantar oleh Si Bongkok. Suruh saja dia pulang dan kami bertiga akan menjadi
pengawal dan pengantar nona agar di jalan tidak ada yang berani mengganggu.”
“Siapa
butuh kawalan kalian? Dan jangan kalian mengejek dan menghina dia. Dia adalah
pamanku, menghina dia berarti menghina aku! Nah, enyahlah kalian!” Dua orang anak laki-laki
yang lain hendak membantah, akan tetapi anak yang jangkung itu menarik tangan
mereka.
“Mari kita pergi dari sini!” katanya. Agaknya
dia merasa sungkan untuk berbantahan dan berkelahi dengan Bi Sian, apalagi di
situ mulai berkumpul banyak orang yang menonton. Ketika tiga orang anak itu
pergi, orang-orang tersenyum dan memuji kegagahan sikap Bi Sian. Memang pantas
sekali anak perempuan itu menjadi puteri Yauw Sun Kok yang gagah perkasa, kata
mereka. Seorang di antara mereka, seorang kakek penjual kuih, menghampiri Bi
Sian.
“Nona
Yauw, hati-hatilah, anak yang jangkung tadi adalah putera komandan pasukan
keamanan kota. Dia memang nakal sekali dan suka main keroyokan.” Bi Sian mengepal tinju.
“Aku
tidak takut!” Sie
Liong menghadapi kakek itu. “Terima kasih, lopek. Kami tidak mencari keributan.
Mereka yang tadi mengganggu kami yang sedang berjalan menuju ke pasar.”
Orang-orang
bubaran dan dua orang anak itu melanjutkan perjalanan mereka ke pasar. Setelah
berbelanja, merekapun melakukan perjalanan pulang. Keranjang mereka sudah
penuh dengan barang belanjaan. Sie Liong sengaja memenuhi keranjangnya yang
besar sehingga Bi Sian hanya membawa keranjang yang kecil dan tidak begitu
berat. Barang-barang yang berat dimasukkan dalam keranjang besar oleh Sie
Liong dan dia memanggul keranjang itu di pundaknya. Tangan kiri memegang
keranjang itu, dan tangan kanannya masih membawa lima ekor ayam pada kaki
mereka. Jarak antara rumah keluarga Yauw dan pasar di tengah kota itu memang
cukup jauh, tidak kurang dari tiga li jauhnya. Ketika dua orang anak itu tiba
di jalan yang sunyi karena di kedua tepi jalan itu adalah kebun orang yang
cukup luas, tiba-tiba muncul lima orang anak laki-laki di depan mereka. Agaknya
mereka tadi sengaja bersembunyi dan kini keluar setelah Sie Liong dan Yauw Bi
Sian tiba di situ. Yang tiga orang adalah anak-anak yang ribut dengan mereka
tadi, kini ditambah dua orang anak laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima
belas tahun dan sikap mereka seperti jagoan. Anak jerawatan yang menurut
kakek tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota, tetap memimpin mereka
karena dialah yang menghadang paling depan. “Monyet bongkok, berhenti
dulu!” bentak anak laki-laki jerawatan itu.
Sie
Liong bersikap tenang saja dan tidak menjadi marah, akan tetapi Bi Sian yang
menjadi marah. Ia melepaskan keranjangnya di atas tanah, lalu melangkah maju
menghadapi anak laki-laki jangkung jerawatan itu.
“Engkau
lagi? Kalian ini mau apa? Masih juga hendak menghina orang?”
“Nona,
kami bermaksud baik. Kami menghormati ayahmu yang menjadi sahabat ayahku. Kami
hanya tidak rela melihat monyet bongkok ini menjadi pengiringmu. Monyet
bongkok, berikan keranjang itu kepada kami dan kau boleh merangkak pergi dari
sini, biar kami yang mengantar nona Yauw pulang!” Kemarahan Bi Sian memuncak.
“Engkau
sungguh bermulut kotor dan jahat!” katanya dan iapun sudah maju dan menyerang
dengan tamparan tangannya. Karena sejak kecil Bi Sian sudah terlatih, maka
gerakan tangannya itu cepat dan kuat. “Plakkk!” Pipi kiri anak jerawatan itu
terkena tamparan.
“Aduhh....!”
Dia terhuyung, menutupi pipi yang tertampar dengan tangan, rasanya panas dan
nyeri dan ternyata pipi itu menjadi biru membengkak!
“Nona,
kenapa engkau memukul aku yang hendak membantumu?” bentaknya marah dan
penasaran.
“Keparat,
kalian ini memang kurang ajar dan perlu dihajar!” kata Bi Sian dan ia sudah
menerjang maju lagi, sekali kakinya terayun, seorang anak laki-laki lain yang
mencoba untuk menangkap lengannya, jatuh tersungkur dan memegangi perut sambil
meringis kesakitan.
“Wah,
anak perempuan ini galak dan liar!” kata dua orang anak laki-laki yang lebih
besar dan merekapun menubruk ke depan.
“Plak-plakk!”
Bi Sian membagi-bagi pukulan dan tendangan, dan lima orang anak laki-laki itu
jatuh bangun.
Akan
tetapi mereka itu lebih besar dan mereka kini melakukan perlawanan. Seorang di
antara mereka meubruk dari belakang dan berhasil menelikung kedua lengan Bi
Sian ke belakang tubuhnya. Bi Sian meronta-ronta, akan tetapi anak-anak lain
memegangi kaki dan tangannya sehingga ia tidak lagi mampu melepaskan diri.
“A
Cong, cepat kauhajar monyet bongkok itu. Biar kami yang memegangi nona Yauw
agar ia tidak dapat melindungi monyet bongkok itu!” kata orang yang menelikung
kedua lengan Bi Sian. Biarpun kini ada tiga orang anak yang memegangi tubuh Bi
Sian, namun mereka tidak berani menyakiti anak perempuan itu, juga tidak berani
berbuat kurang ajar. Mereka hanya memegangi Bi Sian agar anak itu tidak dapat
melepaskan diri dan tidak dapat membantu Sie Liong yang akan dihajar oleh dua
orang anak yang lain, termasuk Lu Ki Cong, putera komandan pasukan keamanan di
Sung-jan itu. Akan
tetapi, Sie Liong sudah menurunkan keranjangnya, juga melepaskan lima ekor ayam
yang kakinya diikat itu. Tadinya ia memang diam saja dan tidak bermaksud untuk
berkelahi dengan anak-anak itu, membiarkan saja mereka menggoda, mengganggu
bahkan menghinanya. Dia tahu diri. Dia anak cacat, bongkok dan hal itu tidak
perlu dibantahnya. Akan tetapi, melihat betapa tiga orang anak memegangi kaki
tangan Bi Sian, mukanya berubah merah dan kedua matanya mengeluarkan sinar berapi.
Dia
boleh menahan semua hinaan yang dilontarkan kepada tubuhnya yang bongkok, akan
tetapi jelas bahwa dia tidak mungkin membiarkan mereka itu mengeroyok dan
memegangi Bi Sian. “Anak-anak
jahat! Lepaskan Bi Sian!” bentaknya sambil menghampiri tiga orang yang masih
memegangi anak perempuan itu. Akan tetapi Lu Ki Cong dan seorang temannya yang
bertubuh tinggi besar bermuka hitam, nampaknya seperti jagoan muda,
menghadangnya. Lu Ki Cong dan anak muka hitam itu adalah murid-murid dari guru
silat bayaran terpandai di kota itu.
“Heh,
monyet bongkok, kami akan melepaskan nona Yauw kalau sudah kenyang menghajar
mukamu yang buruk!” kata Lu Ki Cong sambil melayangkan tinjunya ke arah muka
Sie Liong.
Sie
Liong belum pernah berkelahi seumur hidupnya. Akan tetapi dia dengan tekun
mempelajari ilmu silat dari Bi Sian, dan dengan rajin sekali, lebih rajin dari
Bi Sian sendiri, dia melatih ilmu-ilmu atau gerakan silat itu di dalam
kamarnya, atau di tempat sunyi di mana tidak ada orang melihatnya. Karena itu,
dia telah memiliki kepekaan dan gerakan otomatis. Walaupun dia belum pernah
berkelahi, namun dia mengenal gerakan-gerakan dalam latihan itu seperti
gerakan mengelak, menangkis, memukul, menendangdan sebagainya. Kini, melihat
tangan Ki Cong melayang ke arah mukanya, secara otomatis tubuh Sie Liong
bergerak ke belakang dan pukulan itupun luput! Ki Cong menyusulkan tendangan
kakinya ke arah perut Sie Liong, akan tetapi anak inipun dengan gerakan
otomatis menggerakkan tangan kirinya menangkis ke samping.
“Dukkk!”
Kaki yang menendang itupun tertangkis.
Melihat
betapa dua kali serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, Lu Ki Cong menjadi
penasaran sekali. Tadinya dia mengira bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah
akan dapat merobohkan Si Bongkok ini. Dan tangkisan tadi pun kuat sekali
sehingga dia merasa kakinya nyeri. Temannya yang lebih tua darinya dan memiliki
ilmu silat yang lebih pandai, segera menerjang ke depan dan menghujankan
serangan. Lu Ki Cong juga menyerang lagi, sehingga kini Sie Liong dikeroyok dua!
Dua orang itu memukul dan menendang dengan gencar dan penuh kemarahan.
Ilmu
silat yang pernah dipelajari Sie Liong hanya melalui Bi Sian dan tidak pernah
dia mendapatkan bimbingan guru. Maka, gerakan-gerakan yang dipelajarinya itu
tidak lebih hanya gerakan kembangan saja, seperti tarian. Maka, menghadapi
serangan sungguh-sungguh yang dilakukan dua orang anak laki-laki yang sudah
biasa berkelahi, tentu saja dia kewalahan. Tadinya dia hanya ingin menolong Bi
Sian, tidak ingin memukul orang. Akan tetapi, kini tubuhnya mulai menjadi
bulan-bulanan pukulan dan tendangan! Untung baginya bahwa berkat kerajinannya
bekerja dan bangun pagi-pagi sekali melakukan segala pekerjaan berat, tubuhnya
menjadi sehat dan kuat sekali. Pukulan dan tendangan yang diterimanya itu hanya
mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi tidak sampai merobohkannya.
Setelah
kini tubuhnya, mukanya, menjadi sasaran pukulan dan tendangan, merasa betapa
tubuhnya nyeri-nyeri, Sie Liong menjadi marah! Apa lagi dia mendengar Bi Sian
berteriak-teriak, “Jangan pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia!
Ah, kalian anak-anak jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan
kalian!”
Dua
orang anak laki-laki yang lain hendak membantah, akan tetapi anak yang
jangkung itu menarik tangan mereka. “Mari kita pergi dari sini!” katanya.
Agaknya dia merasa sungkan untuk berbantahan dan berkelahi dengan Bi Sian,
apalagi di situ mulai berkumpul banyak orang yang menonton. Ketika tiga orang
anak itu pergi, orang-orang tersenyum dan memuji kegagahan sikap Bi Sian.
Memang
pantas sekali anak perempuan itu menjadi puteri Yauw Sun Kok yang gagah
perkasa, kata mereka. Seorang di antara mereka, seorang kakek penjual kuih,
menghampiri Bi Sian. “Nona
Yauw, hati-hatilah, anak yang jangkung tadi adalah putera komandan pasukan
keamanan kota. Dia memang nakal sekali dan suka main keroyokan.”
Bi
Sian mengepal tinju. “Aku tidak takut!” Sie Liong menghadapi kakek
itu.
“Terima
kasih, lopek. Kami tidak mencari keributan. Mereka yang tadi mengganggu kami yang
sedang berjalan menuju ke pasar.”
Orang-orang
bubaran dan dua orang anak itu melanjutkan perjalanan mereka ke pasar. Setelah
berbelanja, merekapun melakukan perjalanan pulang. Keranjang mereka sudah
penuh dengan barang belanjaan. Sie Liong sengaja memenuhi keranjangnya yang
besar sehingga Bi Sian hanya membawa keranjang yang kecil dan tidak begitu
berat. Barang-barang yang berat dimasukkan dalam keranjang besar oleh Sie
Liong dan dia memanggul keranjang itu di pundaknya. Tangan kiri memegang keranjang
itu, dan tangan kanannya masih membawa lima ekor ayam pada kaki mereka. Jarak
antara rumah keluarga Yauw dan pasar di tengah kota itu memang cukup jauh,
tidak kurang dari tiga li jauhnya. Ketika dua orang anak itu tiba di jalan yang
sunyi karena di kedua tepi jalan itu adalah kebun orang yang cukup luas,
tiba-tiba muncul lima orang anak laki-laki di depan mereka. Agaknya mereka tadi
sengaja bersembunyi dan kini keluar setelah Sie Liong dan Yauw Bi Sian tiba di
situ. Yang tiga orang adalah anak-anak yang ribut dengan mereka tadi, kini
ditambah dua orang anak laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima belas
tahun dan sikap mereka seperti jagoan. Anak jerawatan yang menurut kakek tadi
adalah putera komandan pasukan keamanan kota, tetap memimpin mereka karena
dialah yang menghadang paling depan.
“Monyet
bongkok, berhenti dulu!” bentak anak laki-laki jerawatan itu. Sie Liong bersikap tenang
saja dan tidak menjadi marah, akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah. Ia
melepaskan keranjangnya di atas tanah, lalu melangkah maju menghadapi anak
laki-laki jangkung jerawatan itu.
“Engkau
lagi? Kalian ini mau apa? Masih juga hendak menghina orang?”
“Nona,
kami bermaksud baik. Kami menghormati ayahmu yang menjadi sahabat ayahku. Kami
hanya tidak rela melihat monyet bongkok ini menjadi pengiringmu. Monyet
bongkok, berikan keranjang itu kepada kami dan kau boleh merangkak pergi dari
sini, biar kami yang mengantar nona Yauw pulang!”
Kemarahan
Bi Sian memuncak. “Engkau sungguh bermulut kotor dan jahat!” katanya dan iapun
sudah maju dan menyerang dengan tamparan tangannya. Karena sejak kecil Bi Sian
sudah terlatih, maka gerakan tangannya itu cepat dan kuat.
“Plakkk!”
Pipi kiri anak jerawatan itu terkena tamparan.
“Aduhh....!”
Dia terhuyung, menutupi pipi yang tertampar dengan tangan, rasanya panas dan
nyeri dan ternyata pipi itu menjadi biru membengkak!
“Nona,
kenapa engkau memukul aku yang hendak membantumu?” bentaknya marah dan
penasaran.
“Keparat,
kalian ini memang kurang ajar dan perlu dihajar!” kata Bi Sian dan ia sudah
menerjang maju lagi, sekali kakinya terayun, seorang anak laki-laki lain yang
mencoba untuk menangkap lengannya, jatuh tersungkur dan memegangi perut sambil
meringis kesakitan.
“Wah,
anak perempuan ini galak dan liar!” kata dua orang anak laki-laki yang lebih
besar dan merekapun menubruk ke depan.
“Plak-plakk!”
Bi Sian membagi-bagi pukulan dan tendangan, dan lima orang anak laki-laki itu
jatuh bangun.
Akan
tetapi mereka itu lebih besar dan mereka kini melakukan perlawanan. Seorang di
antara mereka meubruk dari belakang dan berhasil menelikung kedua lengan Bi
Sian ke belakang tubuhnya. Bi Sian meronta-ronta, akan tetapi anak-anak lain
memegangi kaki dan tangannya sehingga ia tidak lagi mampu melepaskan diri.
“A
Cong, cepat kauhajar monyet bongkok itu. Biar kami yang memegangi nona Yauw
agar ia tidak dapat melindungi monyet bongkok itu!” kata orang yang menelikung
kedua lengan Bi Sian. Biarpun kini ada tiga orang anak yang memegangi tubuh Bi
Sian, namun mereka tidak berani menyakiti anak perempuan itu, juga tidak berani
berbuat kurang ajar. Mereka hanya memegangi Bi Sian agar anak itu tidak dapat
melepaskan diri dan tidak dapat membantu Sie Liong yang akan dihajar oleh dua
orang anak yang lain, termasuk Lu Ki Cong, putera komandan pasukan keamanan di
Sung-jan itu.
Akan
tetapi, Sie Liong sudah menurunkan keranjangnya, juga melepaskan lima ekor ayam
yang kakinya diikat itu. Tadinya ia memang diam saja dan tidak bermaksud untuk
berkelahi dengan anak-anak itu, membiarkan saja mereka menggoda, mengganggu
bahkan menghinanya. Dia tahu diri. Dia anak cacat, bongkok dan hal itu tidak
perlu dibantahnya. Akan tetapi, melihat betapa tiga orang anak memegangi kaki
tangan Bi Sian, mukanya berubah merah dan kedua matanya mengeluarkan sinar
berapi. Dia boleh menahan semua hinaan yang dilontarkan kepada tubuhnya yang
bongkok, akan tetapi jelas bahwa dia tidak mungkin membiarkan mereka itu mengeroyok
dan memegangi Bi Sian.
“Anak-anak
jahat! Lepaskan Bi Sian!” bentaknya sambil menghampiri tiga orang yang masih
memegangi anak perempuan itu. Akan tetapi Lu Ki Cong dan seorang temannya yang
bertubuh tinggi besar bermuka hitam, nampaknya seperti jagoan muda,
menghadangnya. Lu Ki Cong dan anak muka hitam itu adalah murid-murid dari guru
silat bayaran terpandai di kota itu.
“Heh,
monyet bongkok, kami akan melepaskan nona Yauw kalau sudah kenyang menghajar
mukamu yang buruk!” kata Lu Ki Cong sambil melayangkan tinjunya ke arah muka
Sie Liong.
Sie
Liong belum pernah berkelahi seumur hidupnya. Akan tetapi dia dengan tekun
mempelajari ilmu silat dari Bi Sian, dan dengan rajin sekali, lebih rajin dari
Bi Sian sendiri, dia melatih ilmu-ilmu atau gerakan silat itu di dalam
kamarnya, atau di tempat sunyi di mana tidak ada orang melihatnya. Karena itu,
dia telah memiliki kepekaan dan gerakan otomatis. Walaupun dia belum pernah
berkelahi, namun dia mengenal gerakan-gerakan dalam latihan itu seperti
gerakan mengelak, menangkis, memukul, menendangdan sebagainya. Kini, melihat
tangan Ki Cong melayang ke arah mukanya, secara otomatis tubuh Sie Liong
bergerak ke belakang dan pukulan itupun luput! Ki Cong menyusulkan tendangan
kakinya ke arah perut Sie Liong, akan tetapi anak inipun dengan gerakan
otomatis menggerakkan tangan kirinya menangkis ke samping.
“Dukkk!”
Kaki yang menendang itupun tertangkis.
Melihat
betapa dua kali serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, Lu Ki Cong menjadi
penasaran sekali. Tadinya dia mengira bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah
akan dapat merobohkan Si Bongkok ini. Dan tangkisan tadi pun kuat sekali
sehingga dia merasa kakinya nyeri. Temannya yang lebih tua darinya dan memiliki
ilmu silat yang lebih pandai, segera menerjang ke depan dan menghujankan
serangan. Lu Ki Cong juga menyerang lagi, sehingga kini Sie Liong dikeroyok
dua! Dua orang itu memukul dan menendang dengan gencar dan penuh kemarahan. Ilmu silat yang pernah
dipelajari Sie Liong hanya melalui Bi Sian dan tidak pernah dia mendapatkan
bimbingan guru. Maka, gerakan-gerakan yang dipelajarinya itu tidak lebih hanya
gerakan kembangan saja, seperti tarian.
Maka,
menghadapi serangan sungguh-sungguh yang dilakukan dua orang anak laki-laki
yang sudah biasa berkelahi, tentu saja dia kewalahan. Tadinya dia hanya ingin
menolong Bi Sian, tidak ingin memukul orang. Akan tetapi, kini tubuhnya mulai
menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan! Untung baginya bahwa berkat
kerajinannya bekerja dan bangun pagi-pagi sekali melakukan segala pekerjaan
berat, tubuhnya menjadi sehat dan kuat sekali. Pukulan dan tendangan yang
diterimanya itu hanya mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi tidak sampai
merobohkannya.
Setelah
kini tubuhnya, mukanya, menjadi sasaran pukulan dan tendangan, merasa betapa
tubuhnya nyeri-nyeri, Sie Liong menjadi marah! Apa lagi dia mendengar Bi Sian
berteriak-teriak, “Jangan pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia!
Ah, kalian anak-anak jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan
kalian!”
Sie
Liong yang mulai marah itu memandang dengan mata mencorong. “Kalian orang-orang
jahat!” bentaknya dan suaranya melengking nyaring, kemudian dia mulai membalas
dengan pukulan-pukulan seperti yang pernah dipelajarinya dari Bi Sian.
“Plakkk!”
Dia menangkis pukulan Ki Cong dan membiarkan pukulan si muka hitam mengenai
dadanya, akan tetapi dia membalas kepada Ki Cong dengan pukulan tangan kanan ke
arah leher putera kamandan itu.
“Desss!”
Tenaga Sie Liong memang besar dan pukulan itu keras sekali, juga mengenai
pangkal leher dengan tepat sehingga tubuh Ki Cong terputar lalu dia roboh dan
mengaduh-aduh.
Si
muka hitam menyerang dari samping, tangan kanannya berhasil mencengkeram muka
Sie Liong. Agaknya dia bermaksud untuk mencengkeram mata Sie Liong, akan
tetapi terlalu rendah sehingga yang dicengkeram adalah hidung dan mulut Sie
Liong. Cengkeraman itu keras dan kalau dilanjutkan, tentu hidung dan bibir Sie
Liong dapat robek terluka. Karena
kesakitan, Sie Liong membuka mulutnya dan menggigit jari telunjuk yang berada
di mulutnya, menggigit dengan keras mengerahkan tenaganya.
“Krekk!”
Hampir saja jari itu putus oleh gigitan Sie Liong. Setidaknya, tentu buku
jarinya retak-retak. Anak bermuka hitam itu menjerit-jerit kesakitan. Sie Liong
melepaskan gigitannya dan anak itu memegangi jari tangannya sambil
meloncat-loncat kesakitan. Rasa nyeri menusuk jantungnya. Lu Ki Cong yang tadi
terpukul pangkal lehernya, sudah bangun lagi dan dengan kemarahan berkobar dia
menggunakan kedua tangannya memukul dari atas ke arah ubun-ubun kepala Sie
Liong. Karena tubuhnya jangkung, maka dia dapat melakukan serangan seperti itu
dan kalau mengenai ubun-ubun kepala, mungkin saja Sie Liong akan terluka parah
atau setidaknya akan roboh pingsan.
Sie
Liong yang merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya itu, tidak mau menerima lagi
pukulan begitu saja. Dia mengangkat kedua lengannya ke atas dengan jurus yang
dikenalnya dari Bi Sian. Jurus itu menurut Bi Sian bernama “Dua Tihang
Penyangga Langit”. Kedua lengannya dengan kekuatan sepenuhnya diangkat ke atas
menangkis dua tangan lawan yang menghantam ubun-ubun kepalanya.
“Dukkk!”
Kuat sekali kedua lengan Sie Liong itu. Lu Ki Cong sampai berteriak kesakitan
ketika kedua lengannya bertemu dengan dua lengan lawan yang menangkisnya dan
pada saat itu, Sie Liong melihat betapa dada lawannya “terbuka” sampai ke
perut. Dia cepat merendahkan tubuhnya, dan kepalanya yang memang sudah terjulur
ke depan karena bongkoknya itu, ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga diapun
menyeruduk ke depan! Kepalanya mengenai perut Lu Ki Cong.
“Bukkk!”
Dan tubuh Lu Ki Cong terjengkang dan terbanting, dia batuk-batuk dan muntah
darah!
Sie
Liong tidak melihat lagi keadaan lawan-lawannya yang sudah roboh itu. Si muka
hitam mengaduh-aduh memegangi telunjuk kanan yang hampir putus tergigit,
sedangkan Ki Cong tidak mampu bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak
terengah-engah. Sie Liong hanya memperhatikan Bi Sian dan kini ia meloncat dan
menerjang tiga orang anak yang masih memegangi kaki dan tangan Bi Sian.
Disergap dengan penuh kemarahan oleh Sie Liong, tiga orang anak itu terpaksa
melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong dan Bi Sian mengamuk. Tiga orang anak itu
sama sekali tidak mampu membalas dan mereka itu menerima hujan pukulan dan
tendangan Bi Sian sehingga akhirnya mereka minta-minta ampun, bahkan dua orang
di antaranya menangis, dan lima orang anak itu lalu melarikan diri, ada yang
terseok-seok ada yang setengah merangkak!
Sie
Liong dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian memandang Sie Liong dengan mata penuh
kekaguman. “Paman
Liong, engkau hebat! Engkau mampu mengalahkan mereka....” kata Bi Sian sambil
maju dan memegangi kedua tangan pamannya, memandang wajah paman cilik itu
dengan penuh kekaguman.
“Dan
engkaulah yang telah menolongku, paman!” Sie Liong merasa betapa
hatinya girang bukan main menerima pujian ini. Serasa lenyap semua nyeri di
tubuhnya oleh pandang mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa girang ini
bergelimang rasa malu dan diapun dengan lembut menarik kedua tangannya dan
membuang muka.
“Ahhh....
sudahlah, Bi Sian. Di mana barang-barang kita? Wah, wah, itu ayamnya berloncatan
jauh. Mari kita kumpulkan!”
Mereka
berdua lalu mengumpulkan barang belanjaan yang cerai berai, dan betapapun
mereka mencari, ayam yang lima ekor itu tinggal tiga ekor saja. Juga banyak
barang belanjaan menjadi rusak terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas
panjang. “Ahh,
aku tentu akan dimarahi enci Hong!”
“Tidak,
biar aku yang bercerita bahwa kita diganggu anak-anak nakal kepada ibu!” “Jangan, Bi Sian! Jangan
ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah kepadaku....!”
“Kenapa
ayah harus marah? Bukankah engkau telah menolongku, paman? Biar aku yang
menceritakan dan kalau ayah dan ibu marah kepadamu, aku yang akan membelamu!”
“Jangan,
Bi Sian. Kuminta sekali lagi kepadamu, jangan ceritakan bahwa aku telah
berkelahi. Cihu sudah berkali-kali memperingatkan agar aku tidak berkelahi. Dia
tentu akan marah dan bersedih kalau melihat aku tidak mentaati pesannya. Ah,
aku tidak ingin membikin cihu bersedih. Dia sudah begitu baik kepadaku.
Kuminta, jangan kauceritakan bahwa aku berkelahi!”
Bi
Sian memandang wajah paman cilik itu. Tangannya lalu bergerak ke arah muka
itu, dengan lembut ia meraba-raba muka yang bengkak-bengkak dan biru itu.
“Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman Liong? Aku melihat betapa engkau
dipukuli dan ditendangi....”
Tiba-tiba
rasa nyeri itu datang lagi, akan tetapi Sie Liong menggigit bibirnya. “Tidak,
tidak berapa nyeri....”
“Paman,
kalau aku tidak boleh menceritakan bahwa engkau telah menolongku dan berkelahi
mengalahkan lima orang anak nakal yang jauh lebih kuat dan lebih tua darimu,
lalu apa yang akan kita katakan kalau ayah dan ibu melihat mukamu yang bengkak-bengkak
ini dan bertanya?”
Sie
Liong meraba mukanya. Dia tidak dapat melihat mukanya yang lembam membiru,
akan tetapi dapat merasakan nyeri di tepi kedua matanya dan di pipi kirinya,
juga dapat merasakan betapa pipinya itu membengkak. Karena itu dia tidak dapat
membayangkan bahwa mukanya akan mudah kelihatan bekas perkelahian. “Ah, bagaimana baiknya....?
Aku tidak ingin cihu bersedih dan enci Hong marah-marah.”
Dia
kelihatan bingung. Melihat
kesungguhan hati Sie Liong yang tidak ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia
telah berkelahi, Bi Sian merasa kasihan walaupun dianggapnya sikap itu
berlebihan. “Baiklah, paman. Aku tidak akan menceritakan mereka tentang
perkelahianmu. Aku akan menerangkan bahwa mukamu bengkak-bengkak karena ada
lima orang anak nakal menganggu kita. Engkau dipukuli, lalu aku melawan mereka
sehingga mereka kabur. Nah, dengan begitu engkau terhindar dari sangkaan
berkelahi dan karena aku yang berkelahi, maka kehilangan ayam dan barang-barang
adalah tanggung-jawabku.”
“Dan
engkau akan kelihatan gagah berani. Aku senang sekali, akan tetapi kalau engkau
dimarahi enci Hong tentang kehilangan itu, biar kukatakan bahwa barang-barang
itu tadinya kubawa, dan hilang karena aku dipukuli mereka. Dan engkau tidak
dapat menjaga barang-barang itu karena engkau dikeroyok lima.”
Bi
Sian mengangguk dan mereka lalu pulang. Benar saja seperti yang dikhawatirkan
Sie Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun Kok dan Sie Lan Hong dengan mata terbelalak
dan penuh keheranan. “Aih!
Apa yang telah terjadi? Berantakan dan kotor semua barang belanjaan ini! Dan
ayamnya hanya tiga ekor? Eh, apa yang telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?”
Sie
Lan Hong berseru dengan alis berkerut.“Sie Liong! Engkau telah berkelahi, ya?
Berani engkau berkelahi?” Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik
isterinya itu bengkak-bengkak. Sie Lion hanya menundukkan mukanya, khawatir
kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya kalau dia membuka
suara.
Bi
Sian sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia
berkata,“Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak
bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada
yang hilang dan akulah yang berkelahi!” Melihat sikap puteri mereka
itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri.
“Bi Sian, engkau berkelahi? Mengapa? Ceritakan
apa yang terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa
pula barang belanjaan kotor berantakan dan ada yang hilang?”
Lan
Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu mukanya
bengkak-bengkak dan kelihatan kesakitan, lalu berkata, “Biarkan mereka duduk.
Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian.” Kedua orang anak itu minum
air teh yang tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi
meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
“Ketika
kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi dekat ladang itu kami dihadang oleh
lima orang anak laki-laki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah.
Mereka itu anak-anak nakal. Mereka menggoda dan memaki
paman Liong, mengataken paman monyet bongkok. Paman diam saja, akan tetapi aku
yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul
mereka. Mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan. Aku menjadi marah
dan aku lalu berkelahi dengan mereka, sementara paman Liong masih dipukuli.
Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi
kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali
tiga ekor saja. Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu
jahat seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat
mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan keamanan di kota ini, ayah.”
“Apa?
Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?” Sun Kok bertanya kaget sekali.
“Kalau
begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!”
“Kami
tidak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan
aku bahwa anak itu adalah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan.”
“Aiih!”
Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri. Tentu saja dia mengenal baik Lu Ciangkun!
Perwira itu bukan saja sahabat baiknya, bahkan di antara mereka pernah timbul
percakapan tentang memperjodohkan anak masing-masing satu sama lain. Perwira
itu hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong.
Biarpun
belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberitahu hal itu, di antara
kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi! Lalu
dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
“Bi
Sian, coba ceritakan lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkelahian itu?
Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?”
Bi
Sian bersungut-sungut, “Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman
Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang mengantar, dan dia mengusir
paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia malah memukuli paman Liong
bersama teman-temannya.”
Ah,
kini mengertilah Sun Kok. Anak sahabatnya itu cemburu! Tentu saja! Agaknya
anak itu telah diberitanu oleh orang tuanya bahwa dia akan dijodohkan dengan
Bi Sian, maka begitu melihat Bi Sian berjalan dengan Sie Liong, anak itu
cemburu dan iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok lalu tertawa bergelak. Tentu
saja isterinya menjadi heran, juga Bi Sian memandang ayahnya dengan mata
terbelalak.
“Mengapa
ayah tertawa?” tanyanya berani. Sun
Kok masin tertawa bergelak. Mendengar pertanyaan puterinya itu, dia berkata
sambil tersenyum.
“Ha-ha,
dia cemburu! Lu Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie Liong! Ha-ha,
bagaimana dia bisa cemburu? Sie Liong adalah seorang anak cacat.... eh, dia kan
pamanmu sendiri! Apakah dia tidak kauberi tahu?”
Bi
Sian menjadi penasaran. “Sudah kuberitahu bahwa dia pamanku. Akan tetapi
kenapa dia cemburu, ayah? Ada hak apa dia cemburu?”
Yauw
Sun Kok masih tersenyum. “Tentu dia sudah mendengar dari ayahnya akan rencana
ayahnya dan aku menjodohkan engkau dengan dia....”
“Ayah....!”
Bi Sian berteriak, matanya terbelalak memandang ayahnya, alisnya berkerut.
Sejenak anak ini memandang ayahnya dengan muka merah dan mata merah, akan
tetapi ia lalu lari masuk ke dalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak
tadi menundukkan mukanya, lalu mengundurkan diri ke dapur membawa
barang-barang belanjaan untuk menyerahkan kepada pelayan di dapur.
“Aih,
Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga sebelas tahun usianya. Bagaimana kau
bicara tentang perjodohan dengan ia yang belum mengerti apa-apa itu?” Sie Lan
Hong menegur suaminya.
Suaminya
hanya tersenyum. “Kalau tidak ada peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum
akan menceritakan kepadanya. Apa lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan
omong-omong antara kawan saja, belum resmi mereka meminang. Karena itu,
engkaupun belum kuberitahu. Bagaimana juga, Lu-ciangkun adalah sahabatku.
Peristiwa perkelahian antara ke dua orang anak yang kami ingin jodohkan itu
sungguh membuat hatiku tidak enak. Apa lagi kalau sampai puteranya terluka oleh
tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi ke sana untuk minta maaf.”
Yauw
Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah Komandan Lu. Sie Lan Hong lalu memasuki
kamar puterinya, disambut oleh anaknya yang matanya merah karena menangis.
Melihat ibunya, Bi Sian lalu bertanya dengan wajah bersungut-sungut. “Ibu, aku
tidak sudi dijodohkan dengan tikus jerawatan itu!”
“Eh?
Tikus Jerawatan yang mana?” ibunya bertanya heran karena memang tidak mengerti.
“Itu,
anak bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah aku akan dijodohkin dengan dia, ibu?
Kalau benar, aku akan minggat saja!” “Hushhh, itu hanya kelakar ayahmu dan
sahabatnya saja. Belum ada pinangan resmi dan kalau ada pinangan, tentu ayahmu
akan mengajak aku berunding, dan engkaupun akan kuberitahu. Sudahlah, jangan marah.
Karena perkelahian itu, ayahmu merasa tidak enak terhadap Lu-ciangkun yang
menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia pergi ke sana untuk minta maaf.”
“Ayah
pergi ke rumahnya? Celaka....!” Akan tetapi Bi Sian segera menutup mulut
dengan tangan. Terlambat. Ibunya sudah mendengar ucapan itu dan melihat sikap
puterinya, Lan Hong merasa curiga. “Sian-ji, ada apakah? Mengapa engkau terkejut
dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah Lu-ciangkun? Mengapa engkau
mengatakan celaka tadi?”
Bi
Sian maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke rumah tikus jerawatan itu, tentu
ayahnya akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya juga akan tahu. Lebih baik
ia lebih dulu memberitahukan ibunya dan menarik ibunya di fihaknya agar membela
ia dan pamannya.
“Ibu,
aku tadi.... berbohong kepada ayah, maka aku kaget mendengar ayah pergi ke
rumah komandan itu,” katanya mengaku.
“Bohong?
Bohong bagaimana, Bi Sian?”
“Aku
memang berkelahi dengan lima orang anak nakal itu, akan tetapi aku telah mereka
tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu memukuli paman Sie, dan melihat aku
ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan lima orang itu dia hajar sampai
luka-luka dan mereka semua melarikan diri.”
“Sie
Liong? Tidak mungkin!” kata Sie Lan Hong. Bagaimana adiknya yang bongkok dan
lemah itu dapat mengalahkan lima orang anak nakal yang lebib besar?
“Benar,
ibu. Aku tidak berbohong,” Bi Sian lalu menceritakan semua yang telah terjadi.
Betapa lima orang anak nakal itu menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu
diam saja. Ialah yang marah-marah dan memukul, akhirnya tiga orang anak
memegangi kaki tangannya dan dua orang anak memukuli Sie Liong.
Akhirnya
Sie Liong mengamuk dan berhasil menolongnya dan mereka berdua lalu menghajar
lima orang anak itu sehingga melarikan diri.
“Paman
Liong minta kepadaku, agar jangan bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut
berkelahi, maka aku lalu berbohong. Akan tetapi sekarang ayah pergi ke sana,
tentu tikus jerawatan itu akan mengadu dan menceritakan bahwa paman Liong yang
memukulnya.” Sie
Lan Hong masih bingung dan heran.
“Tapi....
tapi.... Sie Liong cacat dan lemah.....” Biarpun matanya masih merah
oleh tangisnya tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga bahwa hanya ialah
satu-satunya orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
“Jangan
ibu kira bahwa paman Liong seorang yang lemah! Selama ini dia mempelajari
semua ilmu silat yang diajarkan ayah kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari
pada aku, ibu. Ketika dia melawan anak-anak nakal itu, hebat bukan main!”
Terkejutlah
hati Sie Lan Hong mendengar ini. Adiknya mempelajari ilmu silat! Ah, jantungnya
berdebar penuh ketegangan. Hal itulah yang amat dibenci suaminya, dikhawatirkan
suaminya. Ia tahu benar bahwa suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang
anak cacat yang lemah, yang tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan
yang amat kuat mengapa suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah.
Tentu agar anak itu kelak tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam! Perih
rasa hati Lan Hong. Ia sendiri seringkali termenung dan merasa berdosa kepada
ayah ibunya. Ayah ibunya dibunuh oleh Yauw Sun Kok, biarpun dengan alasan untuk
membalas kematian isteri pertama suaminya itu. Dan ia terpaksa menyeralkan diri
kepada Sun Kok demi menyelamatkan adiknya. Akan tetapi akhirnya ia jatuh cinta
kepada suaminya ini, apa lagi setelah ia melahirkan seorang anak. Iapun tidak
menginginkan terjadi permusuhan antara Sie Liong dan suaminya. Akan tetapi,
kini terjadi peristiwa itu dan suaminya tentu akan marah sekali mendengar bahwa
Sie Liong telah mempelajari ilmu silat.
“Sian-ji....
jangan.... jangan kauceritakan hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka
mendengar Sie Liong belajar ilmu silat.”
“Tapi,
kenapa ibu? Kenapa ayah tidak suka kalau paman Liong belajar ilmu silat? Paman
Liong juga mengatakan begitu. Akan tetapi kenapa? Aku, seorang anak perempuan,
sejak kecil sudah dilatih silat oleh ayah. Akan tetapi paman Liong adalah
seorang anak laki-laki, dan tubuhnya cacat, lemah pula, maka sudah sepatutnya
kalau dia belajar ilmu silat agar sehat dan kuat. Kenapa ayah melarangnya?”
“Ayahmu....
lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu itu cacat, apa lagi cacat di punggung.
Berbahaya sekali kalau mempelajari ilmu silat. Sudahlah, lebih baik kau tidak
bercerita apa-apa kepada ayahmu.”
Akan
tetapi hal itu tidak ada gunanya. Mereka mendengar kedatangan Yauw Sun Kok
yang berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas ibu dan anak ini keluar dengap
hati yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat Sun Kok sudah duduk di ruangan dalam
dengan muka merah.
Memang
Sun Kok marah sekali. Ketika dia berkunjung ke rumah sahabatnya, Lu-ciangkun,
dia bukan saja mendengar bahwa yang memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie
Liong, bahkan anak laki-laki jangkung itu masih rebah di pembaringan karena dia
mengalami luka di perutnya, akibat benturan kepala Sie Liong. Sahabatnya itu
bahkan mengatakan bahwa Sie Liong itu ganas dan berbahaya sekali.
“Bukan
hanya Ki Cong yang terluka parah, bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh
anak bongkok itu. Dia sungguh ganas, liar dan berbahaya sekali.”
Tentu
saja Sun Kok marah bukan main kepada adik isterinya itu. Bagaimana Sie Liong
dapat menjadi seorang anak yang demikian kuat dan menurut penuturan Ki Cong,
pandai silat pula? Teringatlah dia akan keadaannya sendiri. Kalau dibiarkan
Sie Liong terus menerus mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang yang
pandai, keselamatan nyawanya tentu terancam kelak! Akan tetapi, jalan
satu-satunya hanya membunuh anak itu, padahal dia tidak mau melakukan hal itu.
Bukan hanya karena dia pernah bersumpah kepada isterinya bahwa dia tidak akan
membunuh Sie Liong, akan tetapi juga dia tidak tega kalau harus membunuhnya.
Bagaimanapun juga, harus dia akui bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang
baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan tetapi bagaimana tahu-tahu dia memiliki
kepandaian ilmu silat?
“Sie
Liong....!” Yauw Sun Kok memanggil lagi dengan suara nyaring.
Pada
saat itu muncullah Sie Liong. Mukanya masih bengkak-bengkak dan tangannya
masih basah karena ketika dipanggil, dia sedang membersihkan jendela-jendela rumah
itu dengan lap dan air.
“Ci-hu
memanggil saya?” tanyanya kepada cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di
depan cihunya yang duduk dan memandang kepadanya dengan mata bernyala.
“Sie
Liong, dari siapa engkau mempelajari ilmu silat?” bentak Yauw Sun Kok. Diam-diam Sie Liong terkejut
mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini memang memiliki
ketabahan luar biasa sehingga wajahnya yang bengkak-bengkak itu tidak
memperlihatkan apa-apa. Ingin dia memandang kepada Bi Sian karena hanya Bi
Sian yang tahu bahwa dia mempelajari ilmu silat. Apakah anak perempuan itu yang
memberitahukan ayahnya? Akan tetapi jelas bukan, karena kalau Bi Sian
memberitahu, tidak mungkin cihunya bertanya dari siapa dia mempelajari ilmu
silat. Lalu bagaimana baiknya? Dia tidak ingin melibatkan Bi Sian, takut
kalau-kalau anak perempuan itu mendapatkan marah dari ayahnya.
Sie
Liong menggeleng kepalanya dan memandang wajah cihunya dengan berani. “Saya tidak belajar silat
dari siapapun, cihu.”
“Brakkk!”
Yauw Sun Kok menggebrak meja di depannya sehingga ujung meja itu retak.
“Bohong kau! Aku tahu bahwa engkaulah yang memukuli putera Lu-Ciangkun dan
kawan-kawannya, dan engkau mengalahkan mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan
dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
“Ayah,
yang memukuli adalah si tikus jerawatan itu dan kawan-kawannya, mereka yang
lebih dulu menghina dan memukul!” Bi Sian memperotes.
“Diam
kau! Kau sudah membohongi aku dan mengatakan bahwa Sie Liong tidak berkelahi!
Sie Liong, hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
Sie
Liong sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak melibatkan keponakannya yang
selalu mencoba untuk membelanya itu. “Cihu, memang saya mempelajari ilmu
silat, akan tetapi tidak ada gurunya. Saya belajar sendiri.”
Yauw
Sun Kok memandang dengan mata melotot. “Tidak mungkin belajar silat tanpa
guru! Coba kaumainkan beberapa jurus ilmu silatmu, ingin aku melihat ilmu
silatmu!” katanya, setengah mengejek, setengah marah.
“Hayo
cepat, jangan membuat aku hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau sudah melanggar
laranganku!” Sie
Liong memandang kepada encinya. Sang enci merasa kasihan kepada adiknya, akan
tetapi ia tahu bahwa kalau permintaan suaminya itu tidak dituruti, maka dia
tentu akan menjadi semakin marah. Bagaimanapun juga, kemarahan suaminya itu
beralasan karena larangannya telah dilanggar oleh Sie Liong. Maka ia mengangguk
kepada adiknya itu.
“Engkau
mainkanlah ilmu silat yang pernah kaupelajari agar cihumu melihatnya, Sie
Liong,” katanya lembut.
Mendengar
ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang
telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa
mendongkol sekali. “Baiklah,
cihu. Akan tetapi harap jangan diketawai karena permainanku tentu jelek dan
tidak karuan.”
Maka
diapun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti kalau
dia berlatih silat menirukan semua gerakan yang dilakukan Bi Sian di waktu
berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah terkejut
sekali karena gerakan-gerakan anak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya
sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh
lebih baik dari pada gerakan Bi Sian.
“Berhenti....!”
bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya, berdiri di depan Sie Liong yang
cepat menghentikan gerakan kaki tangannya.
“Hayo
katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!”
“Maaf,
cihu. Saya mempelajarinya dengan.... mencuri lihat dan mengintai ketika.... Bi
Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan dalam
hati, kemudian saya meniru gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih
terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya....”
Yauw
Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar
anak ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang amat baik.
Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempelajari ilmu silat jauh
lebih maju dari pada Bi Sian. Diapun mencari akal.
“Sie
Liong, ketika aku melarang engkau belajar silat, hal itu sudah kupikirkan
masak-masak, demi kebaikamu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok,
sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali kalau engkau mempelajari ilmu
silat! Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita berlatih silat sebentar.
Keluarkan semua jurus yang sudah kaupelajari, dan serang aku dengan
sungguh-sungguh seperti akupun akan menyerangmu dengan jurus yang sama. Engkau
akan melihat sendiri nanti. Hayo, seranglah!”
Sie
Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihunya yang biasanya
amat sayang kepadanya. Sedikitpun dia tidak menaruh hati curiga dan diapun
mentaati perintah itu, lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, menyerang
cihunya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya. Sie Lan Hong memandang
dengan jantung berdebar, masih belum tahu apa yang dikehendaki suaminya. Ia
sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya
ternyata benar-benar telah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada
puterinya. Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie
Liong, iapun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu.
Ia merasa terharu mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan
bahwa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya.
Betapa pamannya itu amat sayang kepadanya dan iapun merasa amat sayang kepada
pamannya itu.
Diam-diam
Yauw Sun Kok terkejut. Ternyata
gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh
lebih besar dibandingkan anak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang
dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan kalau lima orang anak nakal itu kalah
olehnya. Dan kalau dibiarkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak
salah lagi, dia kelak akan menjadi orang pandai dan akan membahayakan
dirinya! Setelah
menghadapi serangan-serangan Sie Liong untuk mengujinya sampai belasan jurus,
mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri
dengan elakan dan tangkisan karena cihunya menyerang dengan jurus-jurus yang
sudah dikenalnya. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam
benak cihunya. Tiba-tiba gerakan tangan cihunya demikian cepatnya sehingga
Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
“Plakkk!
Plakkk!” Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie
Liong dan ketika tubuh anak itu berputar, sekali lagi tangannya menghantam
punggung yang bongkok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh
terpelanting, muntah darah! Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas, akan tetapi
tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
“Ayah,
kenapa pukul paman Liong? Kenapa ayah memukul paman Liong?” Anak ini hampir
menangis. Lan Hong juga sudah melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
“Apa
yang kaulakukan?” katanya dengan suara nyaring dan mata memandang tajam.
Yauw
Sun Kok menurunkan kedua tangannya. “Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan dia
betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau pungungnya tidak cacat seperti
itu, pukulanku tadi tidak akan membuatnya muntah darah.”
Untung
dia masih ingat tadi sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya, kalau
tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melgnggar sumpahnya
dan tentu akan terjadi perubahan dalam hubungannya dengan isterinya tercinta. Bi Sian membantu Sie Liong
bangkit. Anak laki-laki itu tidak kelihatan menyesal atau marah walaupun dia
menyeringai kesakitan dan mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan
bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
“Ayah
kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tidak berdosa! Ayah, paman Liong
membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia bukan
mengintai, bukan mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah mengajarkan
semua ilmu silat itu kepadanya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum,
hukumlah aku!”
Anak
itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya. “Hushh,” ibunya cepat
merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya.
Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
“Ayah,
paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak
nakal itu!”
“Hemm,
kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian,” kata Yauw
Sun Kok.
“Kalau
paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan
aku juga! Pawan Liong sama sekaii tidak bersalah dan tidak adil kalau
menyalahkan dia, ayah!”
Kembali
Bi Sian membantah biarpun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak bicara. “Bi Sian, pikiranmu sungguh
pendek! Coba bayangkan. Kalau engkau pergi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong,
atau dia pergi tanpa engkau, apakah akan terjadi perkelahian itu? Sudahlah, mulai
saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau
berjanji?”
Sie
Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal bahwa
karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayah sendiri. “Baik, cihu. Saya berjanji
bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian.”
Lega
rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimanapun juga, dia tidak pernah
membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok
karena perbuatannya. Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci,
melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Kalau ada jaminan
bahwa Sie Liong kelak tidak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan
suka mewariskan seluruh kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
“Coba
kuperiksa tubuhmu,” katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong.
Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan
jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap agar Sie Liong benar-benar
kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya
sendiri.