Kisah Pendekar Bongkok
( karya KHO PING HOO )
SIE
Kauwsu (Guru Silat Sie) membaca surat itu dengan kedua tangan agak gemetar dan
mukanya berubah pucat. Karena senja hari telah tiba dan cuaca tidak begitu
terang lagi, dia lalu menyalakan sebuah lampu meja, kemudian dibacanya sekali
lagi surat itu. Sehelai kertas yang bertuliskan beberapa buruf dengan tinta
merah.
"Sie
Kian, akhirnya aku dapat menemukan engkau! Sebelum malam ini habis, seluruh
keluargamu dan segala mahluk yang hidup di dekat rumahmu, akan kubunuh
semua!"
Demikianlah
bunyi surat itu. Tanpa nama penulisnya. Akan tetapi, Sie kauwsu atau Sie Kian
tahu benar siapa penulisnya. Tadi dia menemukan surat itu pada daun pintu
belakang rumahnya, tertancap pada daun pintu dengan sebatang piauw (senjata
rahasia) beronce merah. Dia mengenal benar piauw itu. Lima tahun yang lalu, dia
pernah terluka pada pundaknya oleh piauw seperti itu. Dia tahu benar siapa
pemilik piawsu, siapa penulis surat.
Peristiwa
itu terjadi lima tahun yang lalu. Ketika itu, dia melakukan perjalanan ke
daerah Hok-kian untuk mengunjungi seorang sahabat lamanya. Juga dia ingin
melancong, karena semenjak menjadi guru silat, dia tidak pernah sempat
melancong. Kini dia mempunyai seorang murid terpandai yang dapat mewakilinya
mengajar para murid sehingga dia mempunyai kesempatan untuk pergi. Kepergiannya
direncanakan selama satu bulan. Dia tidak dapat membawa anak isterinya, karena
anaknya yang ke dua, baru lahir beberapa bulan yang lalu. Masih terlalu kecil
untuk diajak pergi. Anaknya yang pertama, seorang anak perempuan yang sudah
berusia lima belas tahun, juga tidak dapat diajak pergi karena harus membantu
ibunya di rumah. Maka diapun pergi seorang diri ke timur.
Di
dalam perjalanan inilah terjadinya peristiwa itu. Dia melihat perampokan di
dalam hutan terhadap sebuah keluarga bangsawan yang melakukan perjalanan dengan
kereta. Perampok itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Kurang lebih
duapuluh lima tahun usia mereka. Sie Kian turun tangan melindungi bangsawan itu
dan terjadilah perkelahian antara dia dan suami isteri itu. Ternyata suami
isteri itu lihai juga, akan tetapi mereka masih belum mampu mengalahkan Sie
Kian yang pandai bersilat pedang. Perkelahian itu berakhir dengan kematian
isteri perampok itu, dan luka parah pada perampok yang dengan penuh duka
memanggul jenazah isterinya dan menanyakan Sie Kian. Sie Kian sendiri juga
terluka di pundaknya, terkena sebatang senjata rahasia piauw yang dilempar oleh
perampok itu.
"Sie
Kian, kalau engkau membunuhku, aku tidak akan begini merasa sakit hati,"
demikian perampok itu sebelum pergi.
"Juga
kalau engkau hanya menghalangi perbuatan kami merampok, akupun tidak perduli.
Akan tetapi engkau telah membunuh isteriku tercinta dan aku bersumpah bahwa
kelak aku akan mencarimu dan aku akan membunuh seluruh keluargamu dan semua
penghuni rumahmu!" Setelah mengeluarkan ucapan itu, perampok muda itu
pergi dengan muka berduka. Sie Kian membiarkannya pergi dan mengira bahwa
ucapan itu tentu hanya ancaman seorang perampok yang kecewa.
Akan
tetapi, ternyata hari ini ada surat dan piauw beronce merah! Perampok itu
ternyata bukan hanya meninggalkan ancaman kosong belaka dan hari ini, kurang
lebih lima tahun semenjak peristiwa itu, perampok itu benar-benar datang untuk
melaksanakan ancamannya dan sumpahnya! Diam-diam Sie Kian bergidik. Ancaman
dalam surat itu sungguh menyeramkan. Akan tetapi, dia tidak takut! Selama
hidupnya, Sie Kian adalah seorang laki-laki yang jantan. Demi membela
kebenaran, dia tidak takut kehilangan nyawa! Ancaman surat itu hanya ancaman
seorang penjahat, seorang perampok, dan dia akan menyambutnya, menandinginya
dengan sikap seorang pendekar sejati! Tidak, dia tidak akan minta bantuan orang
lain!
Setelah
termenung sejenak, Sie Kian menyimpan surat dan piauw itu ke dalam kantung
bajunya, dan diapun memasuki kamar di mana isterinya sedang berbaring menyusui
anak mereka, anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun dan mereka beri
nama Sie Liong. Dengan wajah tenang saja Sie Kian duduk di kursi dalam kamar
itu dan bertanya kepada isterinya, di mana adanya puteri mereka yang bernama
Sie Lan Hong. Dia dan isterinya memang hanya mempunyai dua orang anak, yaitu
pertama Sie Lan Hong yang sudah berusia lima belas tahun dan setelah lewat
empat belas tahun lebih barulah isterinya melahirkan Sie Liong.
"Ia
baru saja keluar dari sini, mungkin ia berada di dalam kamarnya," jawab
istrinya sambil bangkit duduk karena Sie Liong sudah tidur pulas.
"Ada
apakah? Kelihatannya engkau begitu pendiam." Isteri yang sudah amat
mengenal watak suaminya itu bertanya dengan pandang mata curiga melihat sikap
suaminya begitu pendiam, tidak seperti biasanya.
"Panggil
dulu Lan Hong ke sini, juga pangil Cu An yang berada di kamarnya. Ada urusan
penting sekali yang hendak kubicarakan dengan kalian bertiga."
Isteri
Sie Kian memandang suaminya dengan heran, akan tetapi tidak membantah dan ia
lalu keluar dari kamarnya. Tak lama kemudian ia muncul kembali bersama seorang
gadis yang manis, yaitu Lan Hong, dan seorang laki-laki muda berusia kurang
lebih duapuluh lima tahun. Pria ini adalah Kim Cu An, murid kepala yang kini
membantu Si Kian memimpin para murid yang belajar di perguruan silat itu.
Karena Kim Cu An seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga, maka
dia diterima tinggal di rumah gurunya itu, sebagai murid, juga sebagai pembantu
guru. Tentu saja Cu An merasa terkejut dan heran ketika oleh ibu gurunya dia
dipanggil menghadap gurunya di dalam kamar gurunya itu!
Setelah
isterinya, puterinya dan muridnya duduk di atas bangku dalam kamar itu, dengan
sikap masih tenang Sie Kian lalu bicara. "Kalian tentu masih ingat akan
ceritaku tentang peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu ketika aku
mengadakan perjalanan ke Hok-kian itu, bukan?"
"Peristiwa
yang mana?" tanya isterinya.
"Apakah
suhu maksudkan pertemuan suhu dengan suami isteri perampok itu?" tanya Cu
An. Gurunya
mengangguk.
"Benar.
Seperti telah kuceritakan, aku berhasil menyelamatkan keluarga bangsawan dari
kota raja yang dirampok oleh perampok yang terdiri dari suami isteri itu. Dalam
perkelahian itu, aku terluka senjata rahasia piauw, akan tetapi aku berhasil
membunuh isteri perampok itu dan melukainya. Akan tetapi, ketika itu aku tidak
menceritakan kepada kalian akan sumpah dan dendam perampok yang kematian
isterinya itu. Ketika itu kuanggap tidak penting dan semua perampok yang
dikalahkan tentu akan mengeluarkan ancaman. Akan tetapi...., hari ini ancaman
perampok itu agaknya akan dilaksanan!" Sie Kian menarik napas panjang.
"Ancaman
bagimana?" tanya isterinya, nampak khawatir.
"Ketika
itu, sambil memanggul jenazah isterinya dan dalam keadaan luka dia bersumpah
bahwa pada suatu hari dia akan mencariku dan akan membasmi seluruh keluargaku.
Ancaman yang keluar dari mulut seorang perampok seperti itu, mana ada harganya
untuk diperhatikan dan dianggap serius!"
"Akan
tetapi.... dia bersumpah karena kematian isterinya, dan hal itu berbahaya
sekali!" kata isterinya. Sie
Kian kembali menarik napas dan dia mengangguk.
"Benar
sekali pendapatmu itu dan sekarang inilah buktinya." Dia mengeluarkan
senjata piauw dan kertas bersurat itu.
"Tadi
kutemukan surat ini tertancap piauw di daun pintu belakang. Surat itu berbunyi
begini." Sie Kian membacakan surat itu, didengarkan dengan muka pucat oleh
isterinya. Lan Hong dan Cua An mendengarkan dengan sikap tenang. Mereka adalah
orang-orang muda yang sejak kecil sudah belajar ilmu silat maka memiliki
ketabahan besar.
"Ayah,
kalau dia muncul, kita lawan dia! Penjahat itu sudah sepatutnya dibasmi!"
kata Lan Hong dengan penuh semangat.
"Sumoi
benar, suhu. Kita tidak perlu takut menghadapi ancaman dan gertak kosong seorang
penjahat seperti dia...."
"Ha-ha-ha-ha-ha...!"
Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa yang datangnya dari atas genteng. Sie Kian meloncat dari
kursinya.
"Lan
Hong, Cu An, kalian menjaga ibu dan adik kalian di sini!" berkata
demikian, tubuh Sie Kian sudah berkelebat keluar dari dalam kamar itu dan dia
segera keluar dan meloncat ke atas genteng. Pada saat dia meloncat ke atas
genteng, terdengar suara anjing menggonggong di belakang, akan tetapi suara
gonggongannya berubah pekik kesakitan lalu sunyi. Sie Kian melayang turun dan
lari ke belakang. Dia tidak melihat berkelebatnya orang, hanya menemukan anjing
peliharaannya itu telah mati den sebuah ronce merah nampak di lehernya. Anjing
itu mati dengan sebatang senjata piauw terbenam di dalam lehernya! Sie Kian
mencari-cari, memandang ke kanan kiri dengan waspada. Akan tetapi pada saat
itu, terdengar bunyi ayam-ayam berteriak, disusul ringkik kuda.
"Celaka....!"
serunya dan dia cepat lari ke kandang kuda dan ayam yang berada agak jauh di
samping rumah. Dan seperti juga anjingnya, dia melihat belasan ekor ayam
peliharaannya, dan seekor kuda, telah menggeletak mati! Sie Kian tidak memperdulikan
lagi keadaan binatang-binatang peliharaannya dan cepat dia lari masuk ke dalam
rumah melalui pintu belakang. Dan pada saat itu, terdengar jerit wanita yang
datangnya dari kamar para pelayan di belakang. Sie Kian terkejut dan kembali
dia melompat keluar, menuju ke kamar pelayan. Dia merasa menyesal sekali
mengapa memandang rendah lawan dan dia lupa untuk memanggil dua orang
pelayannya agar berkumpul di dalam rumah besar. Dan seperti yang dikhawatirkan,
dua orang pelayan wanita itu telah tewas di dalam sebuah kamar pelayan, leher
mereka, hampir putus dan kamar itu banjir darah. Jelas bahwa leher mereka
terbabat oleh pedang!
Sie
Kian menjadi marah sekali. Dia meloncat masuk ke dalam rumah dan hatinya lega
melihat betapa Lan Hong dan Cu An masih berjaga di depan kamar, sedangkan
isterinya, dengan muka pucat, duduk di atas pembaringan memangku Sie Liong yang
masih tidur nyenyak.
"Apa...
apa yang terjadi...?" tanya isterinya ketika dia tiba di kamar itu.
"Jahanam
itu...., dia telah mulai melaksanakan ancamannya! Semua binatang peliharaan
kita dibunuhnya, juga dua orang pelayan kita dibunuhnya."
"Aihhh....!"
Isterinya menangis.
"Sudah,
tenanglah dan jangan menangis. Kita harus siap siaga menghadapinya. Dia tidak
main-main dan ancamannya bukan gertak kosong. Cu An dan Lan Hong, kalian tetap
berjaga di sini, menjaga keselamatan ibumu dan adikmu. Aku yang akan menghadapi
jahanam busuk itu!"
"Baik,
ayah," kata Lan Hong dengan luka pucat walaupun ia masih bersikap tenang.
Kini tangannya memegang sebatang pedang.
"Teecu
akan menjaga subo dengan taruhan nyawa, suhu!" kata Cu An dangan sikap
gagah. Juga dia memegang sebatang pedang. Dengan hati penuh kemarahan,
Sie Kian lalu keluar dari dalam kamar, berdiri sejenak di ruangan tengah,
memasang telinga. Akan tetapi tidak mendengar suara apa-apa dan malam tiba
dengan sunyinya. Dia lalu keluar berindap-indap dari dalam ruangan itu,
kemudian mengelilingi rumah dan memeriksa setiap sudut. Namun, tidak nampak
bayangan orang.
Dengan
gemas dia lalu meloncat naik ke atas genteng, berdiri di wuwungan rumahnya,
lalu berteriak, "Perampok laknat, penjahat keji, jahanam keparat!
keluarlah dari tempat persembunyianmu dan marilah kita bertanding secara jantan
untuk menentukan siapa yang lebih kuat!" Namun, tidak ada jawaban dan
suasana, sunyi saja. Tempat tinggal keluarga Sie memang berada di sudut kota
Tiong-cin, di pinggir dan mempunyai pekarangan luas, agak jauh dari tetangga,
agak terpencil. Memang Sie Kian memilih tempat ini di mana dia dapat membuat
lapangan yang luas untuk berlatih silat para muridnya. Sebagai seorang guru
silat bayaran, Sie Kian menerima siapa saja yang mampu membayar, dan karena itu
dia memiliki banyak sekali murid, baik dari kota Tiong-cin sendiri maupun dari
dusun-dusun sekitarnya dan dari kota lain. Akan tetapi, semua muridnya tidak
ada yang tinggal di situ kecuali Cu An yang merupakan murid utama dan kini bahkan
menjadi guru pembantunya.
Karena
usahanya mencari musuh itu sia-sia, dan tantangnnya juga tidak mendapatkan
jawaban, akhirnya dangan hati mendongkol Sie Kian masuk lagi ke dalam rumah.
Ketika isterinya, Lan Hong, dan Cu An memandang kepadanya dengan mata bertanya,
dia hanya menggeleng kepala.
"Tidak ada bayangan si keparat itu! Dia
tentu telah pergi, atau bersembunyi, untuk menanti kelengahanku, atau
mendatangkan ketegangan dalam hati kita."
Memang
suasana menjadi tegang sekali. Bahkan Cu An yang biasanya tenang itu kini
nampak agak pucat. Siapa orangnya yang tidak akan tegang menanti musuh yang
main kucing-kucingan dan amat kejam itu? Semua binatang peliharaan telah
dibunuhnya, juga dua orang pelayan wanita yang sama sekali tidak berdosa dan
kini dia menghilang, membiarkan semua orang dicekam ketegangan dan kegelisahan.
Mereka
berempat duduk di dalam kamar itu. Isteri Sie Kian merupakan orang yang paling
ketakutan. Sie Kian duduk dangan tenang, akan tetapi pendengarannya dicurahkan
keluar untuk menangkap gerakan yang tidak wajar di luar rumah. Yang benar-benar
tenang hanyalah Sie Liong, anak berusia sepuluh bulan itu! Dia masih suci,
batinnya masih bersih dari pengetahuan sehingga rasa takut dan duka tidak akan
pernah dapat menyentuhnya.
"Suhu....!"
Suara Cu An terdangar aneh ketika memecah kesunytan itu. Bahkan suara yang
hanya merupakan satu kata panggilan itu sempat mengejutkan Lan Hong yang
menoleh kepadanya dangan kaget, juga nyonya Sie terperanjat. Hanya Sie Kian
yang dengan tenang memandang muridnya itu.
"Ada
apakah, Cu An? Takutkah engkau?"
Pemuda
itu menjilat bibirnya yang kering. Akan tetapi lidahnya juga kering bahkan
mulutnya terasa kering sekali, dan dia menggeleng kepalanya. "Suhu, teecu tidak
takut, hanya tegang. Kalau musuh sudah berada di depan teecu, biar teceu
terancam mautpun teecu tidak takut. Akan tetapi suasana tidak menentu ini
sungguh menegangkan. Bagaimana kalau kita semua pindah saja ke lian-bu-thia
(ruangan belajar silat)? Di sana lebih luas. Kalau terjadi penyerangan
sewaktu-waktu, kita akan lebih leluasa untuk menghadapi musuh."
Setelah
berpikir sejenak, Sie Kian mengangguk, "Engkau benar, Cu An. Kita belum
tahu berapa orang jumlah musuh yang akan datang menyerbu, dan kamar ini memang
terlalu sempit sehingga membahayakan keselamatan subo-mu dan adikmu yang kecil.
Mari kita semua pindah saja ke ruangan latihan silat."
Sie
Kian menyuruh puterinya membawa kasur agar di ruangan yang luas itu isterinya
dapat menidurkan puteranya yang masih kecil. Mereka semua dengan penuh
kewaspadaan lalu pindah ke dalam ruangan berlatih silat, sebuah ruangan jauh
sepuluh kali lebih luas dari pada kamar itu, dan di situ hanya ada satu pintu
besar dari mana orang luar dapat masuk. Kasur yang dibawa Lan Hong diletakkan
di sudut ruangan itu dan ibunya lalu duduk di situ sambil memangku Sie Liong.
Setelah
pindah ke ruangan yang lebih luas ini, benar saja hati mereka bertiga yang siap
menghadapi musuh menjadi lebih tenang. Ruangan itu cukup luas dan mereka
bertiga dapat melindungi Nyonya Sie dari depan saja karena tempat itu
dikelilingi dinding sehingga lebih mudah bagi mereka untuk mempersatukan tenaga
menghadapi serbuan musuh. Betapapun
juga, suasana tegang tetap saja mencekam hati mereka. Sie Kian sendiri berulang
kali mengepal tinju, merasa dipermainkan oleh musuhnya. Dia tahu bahwa sekali
ini, dia harus berjuang mati-matian, mempertahankan nyawa keluarganya. Dia
berjanji bahwa sekali ini, dia akan membasmi semua musuh yang datang, tidak
memberi kesempatan seorangpun berhasil lolos agar tidak terulang pembalasan
dandam seperti ini. Kalau saja dulu dia membunuh perampok pria itu, tentu tidak
akan timbul masalah seperti sekarang.
Tiba-tiba
Sie Kian terkejut dan dia meloncat keluar dari pintu lian-bu-thia. Juga Cu An
dan Lan Hong meloncat berdiri, pedang siap di tangan kanan dan mereka berdua
sudah mengambil sikap berjaga-jaga, sedangkan nyonya Sie mendekap puteranya
dangan muka pucat, mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan. Tak
lama kemudian terdangar suara kucing mengeong disusul suara Sie Kian
menyumpah-nyumpah! Kiranya suara yang mencurigakan tadi hanyalah suara seekor
kucing yang kebetulan lewat! Sungguh menggelikan sekali betapa ketegangan
membuat semua orang menjadi demikian mudah kaget. Sie Kian muncul kembali dari
pintu dan diapun menahan ketawanya, walaupun perutnya terasa geli. Demikian
Pula Cu An dan Lan Hong.
Dari
jauh terdangar suara ayam jantan berkokok. Biasanya, kalau ada ayam jantan
berkokok, ayam jantan di kandang keluarga itu akan menyambutnya. Sekali ini,
kokok ayam itu tidak ada yang menyambut, akan tetapi Sie Kian maklum bahwa
tengah malam telah lewat. Ayam jantan di sana itu sudah biasa berkokok di waktu
tengah malam, kemudian di waktu pagi sekali. Kini tengah malam telah lewat.
Betapa cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru saja dia menerima surat itu, di
senja hari tadi, dan tahu-tahu kini telah lewat tengah malam.
Tiba-tiba
mereka semua dikejutkan oleh suara ketawa terbahak-bahak yang datangnya dari
luar rumah! Kini Sie Kian melompat berdiri dan dia membentak marah.
"Pengecut hina yang
berada di luar! Masuklah, aku berada di lian-bu-thia sudah sejak tadi menanti
kedatanganmu. Mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak tak
bernyawa lagi!" tantangnya.
Suara
ketawa itu berhenti, dan kini disusul suara yang mengandung ejekan, "Sie
Kian! Aku memang memberi waktu agar kallan dicekam ketegangan hebat. Sekarang
aku datang untuk membunuhmu. Keluarlah, aku menunggumu di pekarangan depan
rumahmu!"
"Jahanam
busuk! Engkau masuklah, aku sudah menanti dangan pedang di tangan untuk
membunuhmu!" bentak Sie Kian yang tidak ingin meninggalkan keluarganya.
"Ha-ha-ha-ha,
Sie Kian kini menjadi seorang pengecut dan penakut! Aku menantangmu di luar,
dan engkau bersembunyi di balik gaun isterimu? Ha-ha! Keluarlah dan sambut aku,
kalau tidak aku akan membakar rumahmu ini."
"Suhu....,
jangan keluar, mungkin ini suatu siasat memancing harimau keluar sarang,"
bisik Cu An gelisah.
"Tidak,
di sini ada engkau dan Lan Hong, hatiku tenang adanya kalian bardua menjaga
ibumu. Aku akan keluar menyambut tantangan anjing keparat itu!"
"Hayo,
Sie Kian! Apakah engkau benar-benar takut?" teriakan itu datang lagi dari
luar. "Jahanam
busuk, siapa takut? Tunggu, aku akan menyambut tantanganmu!" Sie Kian
segera meloncat keluar, terus menuju ke pekarangan depan rumahnya. Orang itu sudah menanti di
luar. Lampu dua buah yang tergantung di serambi depan cukup terang, menerangi pekarangan
itu. Memang tadi dia menggantung dua buah lampu agar tempat itu menjadi terang,
tidak seperti biasanya yang hanya diterangi sebuah lampu gantung.
Dari
penerangan dua buah lampu itu, Sie Kian yang sudah berdiri berhadapan dalam
jarak empat meter dangan orang itu, dapat mengenal wajah musuh besarnya. Wajah
seorang laki-laki yang masih muda, kurang lebih tigapuluh tahun usianya. Wajah
seorang laki-laki yang cukup tampan, halus dan tidak ditumbuhi kumis dan
jenggot lebat. Bahkan wajah itu posolek, pakaiannyapun rapi dun bagus,
sepatunya mengkilap baru. Itulah wajah perampok yang lima tahun yang lalu
berkelahi dangannya, perampok yang kematian isterinya. Akan tetapi kini ada
sesuatu dalam sikap orang itu yang menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang dahulu,
bahwa kini dia telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Agaknya
selama lima tahun ini dia telah menggembleng diri mati-matian, hanya untuk
melakukan balas dandam ini.
Akan
tetapi Sie Kian tidak merasa gentar. Kalau berhadapan dangan seorang lawan,
betapapun kuat lawan itu, dia tidak pernah gentar. Tidak ada lagi ketegangan
seperti tadi. Hanya ada sedikit kekhawatiran bahwa orang ini menggunakan tipu
muslihat, memancing dia keluar dan ada temannya yang akan menyerang ke dalam.
Akan tetapi kekhawatiran inipun diusirnya dangan keyakinan bahwa murid kepala
dan puterinya cukup kuat untuk melindungi isteri dan puteranya yang masih
kecil. "Hem,
kiranya engkau perampok busuk yang dulu itu? Sungguh perbuatanmu ini
menunjukkan kecurangan dan membuktikan bahwa engkau seorang pengecut. Kalau
hendak membalas dandam, kenapa tidak langsung saja menantangku? Kenapa memakai
jalan membunuhi binatang-binatang dan pelayan-pelayan yang tidak berdosa?"
"Ha-ha-ha,
Sie Kian, lupakah kau akan sumpahku bahwa suatu hari aku akan membasmi engkau
dan seluruh keluargamu dan seluruh isi rumahmu? Ha-ha-ha, sekaranglah saatnya!
Tidak perlu banyak cakap, nanti kalau sudah mati nyawamu akan bertemu dengan
isteriku dan masih ada waktu bagimu untuk minta ampun kepadanya!"
"Jahanam
busuk!" Sie Kian memaki dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya.
Serangannya dahsyat sekali karena dalam marahnya, ingin Sie Kian segera
merobohkan musuh ini. Pedangnya berkelebat dari samping dan mengirim bacokan ke
arah leher orang itu yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat leher itu
terpenggal putus. Akan
tetapi, orang itu bergerak cepat sekali dan dengan mantap pedangnya berkelebat
dari samping ke atas, menangkis bacokan pedang Sie Kian.
"Tringggg....!"
Nampak bunga api berpijar dan Sie Kian merasa betapa lengan tangannya tergetar
hebat. Dia terkejut dan meloncat ke belakang, melihat pedangnya. Ternyata
pedangnya itu patah sedikit pada mata pedangnya, hal ini menunjukkan bahwa
pedang di tangan lawannya adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh! Orang itu
tertawa mengejek dan langoung menyerang dengan dahsyat. Sie Kian mengelak ke
samping dan membalas serangan musuh dan mareka segera terlibat dalam
perkelahian mati-matian dan seru sekali. Dan sekali ini, Sie Kian harus mengaku
dalam hatinya bahwa lawannya sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan
dahulu, tidak boleh dipandang rendah karena ternyata memiliki ilmu pedang yang
hebat, di samping tenaga sin-kang kuat ditambah lagi sebatang pedang pusaka
yang ampuh!
Mulailah
Sie Kian merasa khawatir. Seorang lawan saja Sudah begini lihai, apa lagi kalau
dia datang berkawan. Ah, isteri dan anaknya berada di dalam! Bagainana kalau
dia kalah? Bagaimana kalau ada kawan-kawan penjahat ini? Lebih baik menyuruh
mereka melarikan diri! Biarlah, dia akan mati di tangan musuh, asal keluarganya
selamat !
"Singgg....!"
Pedang lawan meluncur dekat sekali dengan dadanya. Sie Kian mengelak ke kanan,
akan tetapi pedang itu sudah membacok dari kiri dengan kecepatan kilat. Sie
Kian menggerakkan pedang menangkis. Terpaksa menangkis karena sejak tadi dia
tidak pernah mengadu senjata secara langsung, maklum bahwa pedangnya akan kalah
kuat. Kini, karena tidak mungkin mengelak lagi, terpaksa dia menangkis.
"Cringgg....!"
Pedang di tangan Sie Kian patah dan buntung bagian atasnya! Lawannya tertawa
bergelak dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sie Kian untuk mengerahkan tenaga
berteriak ke arah dalam rumah. "Lan Hong....! Ajak ibu dan adikmu melarikan
diri! Cepaaaattt....!"
Lawannya
tertawa bergelak, tertawa mengejek dan pedangnya menyambar dengan cepatnya,
menusuk ke arah lambung Sie Kian. Guru silat ini melihat datangnya serangan
yang amat berbahaya. Dia melempar tubuhnya ke atas tanah dan bergulingan
sehingga terbebas dari tusukan tadi. Akan tetapi lawannya mengejar dan pada
saat itu muncullah Kim Cu An. Pemuda ini mendengar teriakan gurunya, menjadi
khawatir sekali. Sejak tadi, tidak ada musuh menyerbu lian-bu-thia itu, maka
dia berpendapat bahwa musuh hanya seorang saja dan agaknya gurunya membutuhkan
bantuan. Kalau tidak begitu, tentu gurunya tidak berteriak menyuruh puterinya
membawa ibu dan adiknya melarikan diri! Kim Cu An lalu berlari keluar dan di
pekarangan itu dia melihat suhunya bergulingan di atas tanah, dikejar oleh
seorang laki-laki bertubuh jangkung yang gerakannya gesit bukan main.
"Suhu,
teecu datang membantumu!" teriak Cu An dan dia lalu menggerakkan pedangnya
membacok orang itu dari belakang. Akan tetapi, orang itu memutar pedangnya
menangkis. "Tranggg....!"
Cu An mengeluarkan seruan kaget karena pedangnya terpental dan hampir terlepas
dari pegangan saking kuatnya tenaga lawan dan ketika dia melihat, pedangnya
telah buntung ujungnya!
"Hati-hati,
Cu An, dia memegang sebatang pedang pusaka!" teriak Sie Kian yang telah
terbebas dari desakan tadi berkat bantuan muridnya. Kini guru dan murid
menghadapi lawan tangguh itu dengan pedang mereka yang sudah buntung ujungnya! Orang itu tertawa lagi.
"Ha-ha-ha
kebetulan sekali. Kalian sudah berkumpul di sini sehingga tidak melelahkan aku
harus mencari ke sana-sini! Kalian akan mampus di tanganku!"
"Nanti
dulu! Perkenalkan dulu namamu sebelum kami menbunuhmu!" bentak Sie Kian
yang ingin tahu siapa sebenarnya musuh besarnya ini.
"Ha-ha-ha,
apa artinya kalau kuperkenalkan namaku pada kalian yang sebentar lagi akan
mampus?" Tiba-tiba saja orang itu sudah menerjang dengan dahsyatnya dan
pedangnya bergerak amat cepatnya, berubah menjadi gdlungan sinar yang
menyambar-nyambar, mengeluarkan suara berdesing dan menimbulkan angin
berpusing. Sungguh suatu ilmu pedang yang amat dahsyat! Sie Kian dan Cu An
segera mengerahkan tenaga dan seluruh kepandaian mereka untuk menahan serangan
itu. Namun mereka segera terdesak hebat dan tiba-tiba tangan kiri lawan itu
bergerak. Tiga batang piauw beronce merah menyambar ke arah tiga bagian tubuh
depan Cu An, abdangkan pedangnya membuat gerakan memutar membacok ke arah tubuh
Sie Kien dilanjutkan tusukan-tusukan maut!
Guru
dan murid ini menjadi repot sekali. Hampir saja Cu An menjadi korban senjata
rahasia piauw itu. Untung dia masih dapat melempar tubuh ke atas tanah sehingga
terbebas dari renggutan maut lewat senjata piauw. Dan Sie Kian juga terhuyung
ke belakang dalam usahanya mengelak dan menangkis gulungan sinar pedang. Pada
saat itu, lawannya kembali menggerakkan tangan kiri dan tiga sinar merah
meluncur ke arah tenggorokan, dada dan lambung Sie Kian yang sedang terhuyung,
dan orang itu meninggalkannya, pedangnya kini menyambar-nyambar ke arah Cu An
yang baru saja meloncat bangun dari atas tanah di mana dia berguling tadi. Cu An berusaha menangkis,
namun kembali pedangnya patah dan pedang lawan meluncur terus memasuki dadanya. "Cappp....!"
Pedang dicabut, darah menyembur dan tubuh Cu An terjengkang, tewas seketika
karena jantungnya ditembusi pedang lawan.
Sie
Kian yang juga repot sekali mengelak dari sambaran tiga batang piauw tadi,
terkejut bukan main melihat muridnya roboh. Akan tetapi pada saat itu, lawannya
sudah datang menerjangnya. Dia berusaha menangkis, namun seperti keadaan
muridnya, pedang yang menangkis itu patah dan pedang lawan meluncur terus
dengan kekuntan dahsyat menyambar ke arah leher. Terdangar suara bacokan keras
dan leher Sie Kian terbabat putus. Kepalanya terlepas dari tubuhnya dan
menggelinding ke atas tanah. Tubuhnya terbanting keras dan darah bercucuran
membasahi tanah pekerangan. Orang
itu tertawa bergelak, dengan wajah gembira dia menyambar rambut kepala Sie Kian
dengan tangan kirinya, lalu dia berloncatan memasuki rumah itu.
Sementara
itu, Lan Hong yang tadi mendengar teriakan ayahnya, menjadi khawatir sekali. Bagaimana
ia dapat melarikan diri kalau ayahnya terancam bahaya? Apa lagi, ia harus
membawa lari ibunya dan adiknya, bagaimana mungkin ia dapat berlari cepat, dan
andaikata ia melarikan ibunya dan adiknya, tentu akan dapat dikejar dan disusul
pula oleh musuh yang lihai. Ia merasa bimbang, apa lagi ketika melihat
suhengnya melompat keluar untuk membantu ayahnya. Lan Hong lalu berdiri
melindungi ibunya yang masih mendekap adiknya. Melihat ibunya menggigil
ketakutan, ia
berkata dengan gagah, dan mengangkat pedangnya.
"Ibu,
jangan takut! Aku akan melindungi ibu dan adik Liong." Melihat sikap puterinya,
Nyonya Sie timbul pula keberaniannya. Orang jahat akan mengganggu anak-anaknya?
Tidak, ia tidak boleh tinggal diam saja! Biarpun tidak sangat mendalam, ia
pernah pula belajar ilmu silat dan kini, melihat puterinya akan menghadapi
orang jahat, dan melihat bayinya terancam, bangkit semangat dan keberanianaya.
Apa lagi mengingat betapa suaminya juga terancam bahaya maut. Ia segera
menurunkan Sie Liong yang masih tidur itu ke atas kasur, lalu ia sendiri
berlari ke arah rak senjata yang berada di sudut ruangan belajar silat itu,
memilih aenjata sebatang golok kecil yang ringan dan ia berdiri di samping
puterinya.
"Kita
beroama menghadapi penjahat, Hong-ji!" katanya. Lan Hong khawatir melihat
ibunya, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, lebih banyak orang yang
menghadang penjahat lebih baik. Ia hanya mengharapkan ayahnya dan suhengnya
sudah cukup untuk mengusir penjahat yang menyerbu rumah mereka.
Tak
lama kemudian, terdengar suara ketawa dan sebuah benda melayang dari pintu
ruangan itu masuk ke dalam. Benda itu jatuh ke lantai lalu menggelinding ke
depan dua orang wanita itu. Lan Hong yang sudah siap siaga, memandang benda
itu. Sebuah kepala yang lehernya masih berlepotan darah! "Ayah....!" Ia
menjerit. Ibunya
melengking dan menubruk ke depan, melempar goloknya dan menangis
menggerung-gerung. Pada saat itu ada bayangan orang berkelebat masuk.
"Ibu
mundur....!" Lan Hong berteriak, akan tetapi terlambat. Ibunya sudah meloncat
ke depan dan menubruk kepala suaminya itu, dan pada saat itu, laki-laki
jangkung yang berkelebat masuk itu sudah menggerakkan pedangnya.
"Crakkkk!"
Pedang itu menyambar cepat dan kuat sekali, dan leher ibu yang menangisi kepala
suaminya itupun terbabat putus, kepalanya menggelinding di atas lantai dan
darah menyembur-nyembur.
"Ibuuu....!"
Lan Hong hampir pingsan melihat ini, akan tetapi kemarahan membuat ia dapat
menahan diri dan dengan kemarahan meluap, dendam sakit hati yang amat hebat,
iapun menyerang laki-laki itu dengan pedangnya, ia menusuk dengan sekuat tenaga
ke arah dada orang itu sambil mengeluarkan suara melengking nyaring saking
marahnya.
Laki-laki
itu mengelak dan dia mengamati gadis yang menyerangnya, sinar kagum terpancar
dari pandang matanya. "Ah, engkau sungguh manis sekali! Engkau puteri Sie
Kian? Sungguh tak kusangka guru silat itu mempunyai seorang puteri yang begini
cantik dan manis!"
Kembali
dia mengelak ketika pedang di tangan Lan Hong menyambar ke arah lehernya. Lan Hong tidak memperdulikan
kata-kata orang itu yang memuji-muji kecantikannya. Hatinya penuh dandam
kebencian dan ingin ia menyayat-nyayat dan mencincang hancur tubuh musuh besar
yang telah membunuh ayah ibunya itu. Ia melanjutkan serangannya, dan kemarahan
membuat seranggnnya itu tidak teratur lagi, akan tetapi justru serangan seperti
itu amat berbahaya. Melihat kenekatan gadis yang menyerangnya sambil bercucuran
air mata itu, laki-laki itu segera menggerakkan pedangnya menangkis sambil
mengerahkan tenaga sin-kang. Pedang yang menangkis itu mengeluarkan tenaga
getaran kuat sehingga ketika pedang bertemu, pedang di tangan Lan Hong patah
dan juga terlepas dari pegangannya! Gadis itu berdiri dengan muka pucat akan
tetapi matanya terbelalak memandang penuh kabencian. Laki-laki di depannya itu
berusia kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya rapi,
tubuhnya tinggi semampai. Seorang pria yang akan menarik hati setiap orang
wanita, akan tetapi pada saat itu, Lan Hong melihatnya seperti setan jahat yang
amat dibencinya.
Laki-laki
itu menodongkan pedangnya ke depan dada Lan Hong, tersenyum dan kembali matanya
memancarkan sinar kagum dan juga heran. "Sungguh mati, kalau usiamu tidak
semuda ini, tentu kau kukira isteriku! Engkau mirip benar dangan isteriku, bahkan
engkau lebih cantik manis, lebih segar dan lebih muda! Ahh, ayahmu telah
membunuh istriku, sudah sepatutnya kalau dia menyerahkan puterinya sebagai
pengganti isteriku. Ha-ha, benar sekali! Nona manis, engkau akan menjadi
isteriku. Aku tidak akan membunuhmu, sebaliknya malah, aku akan mengambil
engkau menjadi isteriku, isteri yang tercinta, dan aku akan membahagiakanmu,
akan melindungimu.... engkau akan menjadi pengganti isteriku yang telah
tiada...."
"Tidak
sudi! Lebih baik aku mati dari pada menjadi isterimu, jahanam!" teriak Lan
Hong dan kini gadis ini menyerang dengan kepalan tangannya, menghantam ke arah
muka yang amat dibencinya itu.
"Plakk!"
Tangan itu telah tertangkap pada pergelangannya oleh tangan kiri pria itu.
"Nona,
pikirkan baik-baik dan jangan menurutkan nafsu amarah. Ingat bahwa aku terpaksa
membunuh keluarga ayahmu karena ayahmu pernah membunuh isteriku yang tercinta.
Sekarang, semua hutang telah lunas dan engkau...., engkau sungguh menarik
hatiku, aku jatuh cinta padamu, nona. Engkau menjadi pengganti isteriku. Mudah
saja bagiku untuk memaksamu dan memperkosamu, nona. Akan tetapi aku sungguh
tidak menghendaki itu. Aku ingin engkau dengan suka rela menyerahkan diri
padaku, menjadi isteriku yang kucinta."
"Tidak!
Tidak sudi! Lebih baik aku mati!" Lan Hong meronta-ronta dan pada saat itu
terdengar tangis seorang anak kecil! Sie Liong agaknya terbangun dan dia
menangis menjerit-jerit seperti anak yang ketakutan. Baik Lan Hong maupun orang
itu terkejut. Orang itu melepaskan Lan Hong yang tadi sudah melupakan adiknya
itu, dan dengan pedang di tangan dia menghampiri kasur terhampar di mana anak
itu rebah menangis.
"Aha!
Kiranya keluarga Sie masih mempunyai seorang anak kecil? Laki-laki pula! Ah,
dia harus mampus....!" Tiba-tiba
saja Lan Hong menubruk adiknya.
"Tunggu....!
Jangan.... jangan bunuh adikku....!" jeritnya sambil mendekap adiknya,
melindunginya, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang pria itu.
"Jangan
bunuh adikku.... ah, kumohon padamu, jangan bunuh adikku yang masih kecil
ini....!"
"Dia
putera ayahmu, kelak hanya akan menjadi ancaman bahaya bagiku. Aku harus
membunuhnya. Berikan dia padaku!" Laki-laki itu menghardik, kini suaranya
berubah, tidak seperti tadi, penuh nada manis merayu, kini terdangar galak dan
kejam. Lan
Hong membayangkan betapa orang itu akan membunuh adiknya. Kalau ia melawan,
iapun tentu akan mati. Baginya, mati bukan apa-apa, akan tetapi kalau ia mati
dan adinya mati pula, lalu siapa kelak yang akan membalas dendam setinggi
gunung sedalam lautan ini? Satu-satunya jalan, ia harus mengorbankan diri,
menyerahkan diri, demi adiknya agar dapat hidup, agar kelak akan ada yang
membalaskan kehancuran dan pembasmian keluarga ayahnya ini!
"Tidak!
Tunggu....! Aku.... aku akan menyerahkan diri, dengan suka rela.... aku akan
menjadi isterimu asalkan engkau.... tidak membunuh adikku....! Kalau engkau
tetap membunuhnya, aku akan melawanmu sampai mati dan aku tidak akan
menyerahkan diri, aku akan membunuh diri!"
Sejenak
pria itu tertegun, memandang kepada anak laki-laki dalam pondongan gadis itu,
lalu memandang gadis itu dari kepala sampai ke kaki. Sungguh aneh sekali,
pikirnya. Gadis ini mirip benar dengan isterinya yang telah tiada! Dan begitu
bertemu, timbul rasa suka dan cinta kepada gadis ini. Baru penolakannya saja sudah
menyakitkan hati, kalau dia harus memperkosanya, hatinya akan lebih kecewa
lagi. Kalau gadis itu menyerahkan diri seeara suka rela, mau menjadi isterinya,
alangkah akan bahagianya hatinya! Hidupnya akan menjadi terang lagi setelah
kegelapan bertahun-tahun yang dideritanya karena kematian isterinya. Akan
tetapi anak itu! Ah, bukahkah janjinya hanya tidak akan membunuhnya? Baik, dia
tidak akan membunuhnya, tapi....! "Benar
engkau akan menyerahkan diri kepadaku dengan suka rela?"
"Benar!"
"Dan
engkau akan belajar mencintaku seperti aku mencintamu setelah aku menjadi suamimu
yang mencintamu?" Wajah
gadis itu berubah merah.
"Aku....
aku akan mencoba...."
"Bagus,
kalau begitu, aku tidak akan membunuh adikmu, akan tetapi sekali engkau
memperlihatkan sikap memusuhi aku yang menjadi suamimu, adikmu akan
kubunuh!"
"Tidak,
engkau harus bersumpah dulu! Bersumpahlah bahwa engkau tidak akan membunuh Sie
Lionh, adikku ini. Bagaimanapun juga aku percaya bahwa engkau masih memilikl
harga diri dan memiliki kehormatan untuk memegang teguh sumpahmu. Bersumpahlah,
baru aku akan percaya padamu." Gadis itu mempertahankan diri sambil
mondekap adiknya yang sudah berhenti menangis.
Pria
itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau cantik, engkau manis, engkau
gagah dan engkau cerdik! Sungguh membuat aku samakin jatuh cinta saja. Engkau
patut menjadi isteriku, sungguh! Siapakah namamu? Aku akan bersumpah."
"Namaku
Sie Lan Hong dan adikku ini Sie Liong."
"Nah,
sekarang dengarkan sumpahku!" kata pria itu dan diapun berdiri dengan tegak,
mengangkat pedangnya di depan dahi, mengacung ke atas dan diapun berkata dengan
suara lantang. " Aku,
Yauw Sun Kok, bersumpah demi nama dan kehormatanku, disaksikan oleh padang
pusakaku, Bumi dan Langit, bahwa kalau Sie Lan Song menjadi isteriku dan
membalas cinta kasihku, menyerah dengan suka rela kepadaku, maka aku tidak akan
membunuh Sie Liong! Biar
Bumi dan Langit mengutuk aku kalau aku melanggar sumpahku!"
Setelah
bersumpah, pria yang mengaku bernama Yauw Sun Kok itu menyimpan pedangnya ke
dalam sarung pedang dan tersenyum kepada Lan Hong. "Nah, bagaimana?
Puaskah engkau dangan sumpahku tadi?" Lan Hong mengangguk dan Sun
Kok nampak girang sekali.
"Manisku,
Hong-moi, kekasihku, isteriku.... kemenangan ini harus kita rayakan. Untuk
memperkuat sumpahku, saat ini juga engkau harus menjadi isteriku yang tercinta.
Tidurkan adikmu itu...." Dengan lembut Sun Kok lalu mengambil Sie Liong
dari dekapan Lan Hong, merebahkan anak itu di tepi kasur, kemudian dengan
lembut namun penuh gairah, bagaikan seekor harimau, dia menerkam Lan Hong,
mendorong gadis itu rebah ke atas kasur di dekat adiknya!
Dapat
dibayangkan betapa hancur perasaan hati gadis itu. Dara yang sedang remaja ini
terpaksa harus menyerahkan dirinya bulat-bulat, tanpa perlawanan sedikitpun, menyerahkan
dirinya digauli pria yang baru saja membunuh ayahnya, ibunya, suhengnya, dua
orang pelayan dan semua binatang peliharaan di dalam rumah. Bahkan ia harus
melayani pria itu di kasur yang dihamparkan di atas lantai lian-bu-thia, dan
dari tempat ia rebah terlentang itu ia dapat melihat dua buah kepala yang
berlepotan darah di atas lantai, tak jauh dari situ. Kepala ayahnya dan Ibunya! Sie Liong mulai menangis
lagi, meraung-raung. Lan Hong juga menangis, merintih kesakitan. Namun, Yauw
Sun Kok yang dibakar nafsu birahinya itu tidak memperdulikan semua itu. Dia
sudah merasa bangga, juga bahagia sekali karena gadis itu benar-benar
menyerahkan diri bulat-bulat tanpa perlawanan sedikitpun! Diapun tidak perduli
ketika gadis itu, di antara isak tangis dan rintihannya, berbisik-bisik,
"Ayah.... Ibu.... ampunkanlah anakmu ini.... demi keselamatan Sie
Liong.... ahhhh...."
Setelah
merasa puas dengan penyerahan diri yang sama sekali tidak mengandung perlawanan
seperti dijanjikan gadis itu, Yauw Sun Kok merasa semakin sayang kepada Lan
Song. Rasa sayang itu dibuktikan dengan diturutinya permintaan gadis itu untuk
menguburkan jenazah ayah ibu gadis itu, suhengnya, dan dua orang pelayan. Sun
Kok malam itu juga menggali lubang-lubang di belakang rumah keluarga Sie, menguburkan
jenazah suami isteri Sie Kian dalam satu lubang, jenazab Kin Cu An dan dua
orang pelayan di lain lubang. Kemudian, menjelang pagi, diapun memondong tubuh
Lan Song yang juga memondong Sie Liong melarikan diri secepetnya meninggalkan
tempat itu.
Gegerlah
penduduk Tiong-cin ketika pada keesokan harinya mereka mendapatkan rumah
keluarga Sie sunyi senyap. Ketika para penduduk memeriksa, mereka tidak
menemukan seorangpun penghuni di rumah itu. Di pekarangen dan di ruangan
berlatth silat nampak banyak darah, dan semua binatang di rumah itu mati dalam
kandangnya. Tentu saja para petugas pemerintah melakukan pemeriksaan dan mereka
menemukan dua lubang kuburan baru itu. Kuburan dibongkar dan makin gegerlah
kota Tiong-cin ketika mereka menemukan mayat-mayat Sie Kian, isterinya,
muridnya, dan dua orang pelayan wanita. Jelas mereka itu tewas karena dibunuh,
bahkan Sie Kian dan isterinya tewas dengan kepala terpisah dari badannya. Yang
membuat semua orang bingung adalah lenyapnya Sie Lan Hong dan Sie Liong, dua orang
anak keluarga Sie itu.