episode 6
“Wah,
anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang di antara mereka, yang
mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan. Dia adalah pemimpin
gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan
kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan
mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam
sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan
putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot
dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawanpun berarti
hanya membunuh diri.
“Anjing
galak, apakah engkau ingin mampus dengan leher buntung?” bentak si brewok.
“Hayo
jawab!” Betapapun
marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau
dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan
disembelih.
Maka
dia menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan
karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya.
“Tidak.”
“Ha-ha-ha!
Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di tubuhmu, akan tetapi
buntalanmu harus kautinggalkan!” berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala
gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya,
lalu mondorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya terbanting ke atas
tanah dengan kerasnya.
Sie
Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan
suara yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya. “Milikku hanya itu,
pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”
Seorang
di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, terbelalak
menghampiri Sie Liong dengan marah. “Apa? Engkau ini masih belum cukup dihajar
rupanya!” Tangannya meralh dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut
pakaian yang menempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas
sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
Dia
hendak disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia tidak akan menyusahkan
cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya.
Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya,
bahkan membencinya. Bukankah encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia
menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan
tidak mengerti. Dan cihunya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihunya,
yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya,
seorang anak bongkok yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut? Tidak, dia tidak
akan menyusahkan mereka lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan
tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari
luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan
yang cukup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.Enci Lan
Hong dan cihu, Maafkan
saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara,
selamat tinggal. Sie
Liong.
Biarpun
dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki
otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menulis bahwa dim
hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya
membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke
utara, melainkan ke selatan! Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang
kota itu sebelah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak
oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara.
Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu
menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi
tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada
seorangpun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie
Liong dengan hati-hati sekali mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan
anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat
Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suaminya cepat melakukan
pengejaran ke utara tentu saja! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar
keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu,
membawa buntalan menuju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di
pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam
lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw
Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus ke utara. Akan
tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul
Sie Liong! Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke
utara, akan tetapi setelah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan
jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu
anak itu telah mengambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke
kanan atau kiri? Akhirnya, diapun pulang dengan wajah lesu. Dia tidak begitu
susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang
membuatnya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini
yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong
akan membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang
perlu ditakutinya? Anak itu bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya,
isterinya menjadi berduka dan dia harus berusaha keras untuk menghibur hati
isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya
sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri,
jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi.
Demikianlah,
Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju ke selatan. Dia selalu
menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar
tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian
melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan
pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia. Kurang lebih sebulan sesudah
dia meninggalkan rumah encinya, dia berjalan melalui sebuah hutan besar pada
suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan
darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya
makan, dan ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk
ditukar dengan makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang
didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar.
Malam
tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong
membantu petani itu membelah kayu bakar den diapun mendapatkan tempat tidur
dan makan malam yang cukup mengenyangkan perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia
pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering
dan sayur asin kering! Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki
ringan, hatinya gembira karena semalam dia mendapatkan bahwa masih banyak orang
yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga
petani itu menerimanya membuat dia merasa bahagia di pagi hari itu.
Tiba-tiba
dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik
batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja
mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka
binatang-binatang sebangsa kera besar. Tubuh dan pakaian mereka kotor dan
pandang mata mereka bengis den buas.
Akan
tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya den
tersenyum kepada mereka. “Aih,
paman sekalian membikin kaget saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak
buntalan di punggungnya.
“Huh,
kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.
“Anjing
cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua. Wajah Sie Liong menjadi
merah dan dia memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh
kemarahan.
“Paman-paman
adalah orang-orang dewasa, kenapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang
bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan
orang lain termasuk kalian!”
“Wah,
anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang di antara mereka, yang
mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan. Dia adalah pemimpin
gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan
kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan
mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam
sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan
putus! Akan tetapi, sedikitpun dia
tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia
tidak berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
“Anjing
galak, apakah engkau ingin mampus dengan leher buntung?” bentak si brewok.
“Hayo
jawab!”
Betapapun
marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau
dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan
disembelih. Maka dia menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena
takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan
kemarahan hatinya.
“Tidak.”
“Ha-ha-ha!
Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di tubuhmu, akan tetapi
buntalanmu harus kautinggalkan!” berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala
gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya,
lalu mondorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya terbanting ke atas
tanah dengan kerasnya.
Sie
Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan
suara yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya. “Milikku hanya itu,
pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”
Seorang
di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, terbelalak
menghampiri Sie Liong dengan marah. “Apa? Engkau ini masih belum cukup dihajar
rupanya!” Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut
pakaian yang menempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas
sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, anjing cilik ini
biar bongkok, tubuhnya mulus juga.”
Sie
Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan diapun sudah menerjang ke depan
dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras. “Bukkk!” Tendangan itu
mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya
kembali terbanting menghantam batu dan diapun roboh pingsan. Ketika dia siuman kembali,
Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan
lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, tubuhnya
yang terbanting juga sakit-sakit, dan buntalan pakaiannya tidak ada lagi.
Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tidak ada. Agaknya
setelah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.
Dia
bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri. Ah,
betapa jahatnya lima orang tadi. Jahat dan kejam sekali, tega merampas
buntalan pakaiannya, bahkan menelanjanginya dan menghajarnya! Baru saja dia
merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati
seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan makan, tiba-tiba
saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya! Berubah seketika nampaknya
hidup di dunia ini, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan
mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak
kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat. Sie Liong teringat akan
keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memiliki sepotongpun pakaian yang
dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan
makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat!
Sie
Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan
terus menembus hutan itu ke selatan, dia akan monemui sebuah dusun yang cukup
besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun
itu. Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai
dia melangkahkan kakinya. Dia merasa aneh dan lucu, berjalan dalam keadaan
telanjang bulat seperti itu. Suara berkeresekan di kanan membuat dia terkejut
dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya,
takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat ketelanjangannya. Akan tetapi
yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong tertawa sendiri. Monyet-monyet
itupun telanjang bulat mengapa dia harus malu? Diapun melepaskan kedua
tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum. Monyet-monyet
itu semenjak lahir telanjang dan tidak pernah merasa malu. Kenapa kalau
manuasia merasa malu? Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena
ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu
tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa
telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu. Sie Liong berjalan lebih
cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu
kalau dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun
itu? Apakah ada yang mau menolongnya den bagaimana dia dapat menemui mereka
dalam keadaan telanjang bulat? Mungkin dia akan dianggap gila!
Benar
seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar
sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas
dinding putih. Sie
Liong merasa bingung. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan
telanjang bulat seperti itu. Bagaimanapun dia bukan anak kecil lagi, usianya
sudah tiga belas tahun, sudah menjelang dewasa. Maka diapun bersembunyi saja
di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan. Nampak olehnya
beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang
dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau menggiring kerbau
mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menanti sampai keadaan cuaca menjadi
gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga petani yang baik
untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang
monampungnya semalam, tentu mereka akan mau menolongnya, pikirnya.
Senja
tiba dan cuaca mulai gelap. Sie Liong lalu dengan hati-hati meayelinap
memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pohon-pohon dan
melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu manghampirinya. Sampai lama dia ragu-ragu
dan berdiri di belakang sebatang pohon. Ketika dalam keremangan senja itu dia
malihat seseorang datang dari arah belakang rumah menuju ke dapur rumah itu
yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan
menegur. Akan tetapi, ketika itu orang tadi sudah dekat dan ternyata orang itu
adalah seorang gadis remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar
yang dipondongnya di atas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya
disangka laki-laki itu setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis
remaja, dengan gugup Sie Liong menyelinap kembali ke balik batang pohon.
Namun
terlambat, kakinya menginjak ranting kering dan gadis remaja itu sudah
membalikkan tubuh menengok. “Siapa
itu?” Gadis itu menegur.
Sie
Liong tidak berani berkutik. Batang pohon itu terlampau kecil untuk menutupi
seluruh tubuhnya, dia tidak berani menjawab saking malunya. “Hayo katakan siapa itu!
Malingkah? Aku akan menjerit memanggil orang kalau engkau tidak mau keluar
dari balik pohon itu!”
Celaka,
pikir Sie Liong. Kalau dia disangka maling dan gadis itu menjerit, mungkin dia
akan dikeroyok orang sedusun! Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon,
sedapat mungkin menutupi selangkangnya dengan kedua tangan. “Aku.... aku bukan
maling....” katanya lirih.
Gadis
itu torbelalak memandang kepada pemuda cilik yang telanjang bulat itu, dengan
tubuh yang berkulit putih bersih, sama sekali tanpa pakaian! “Eiiiiihhh....!”
Ia
menjerit dan tempat air dari tanah bakar itu terlepas dari rangkulannya, jatuh
dan pecah sehingga air jernih itu mengalir keluar. Gadis remaja itupun
berlari-lari seperti dikejar setan memasuki rumah. “Setaaan....! setaaaaann....!”
Ia menjerit-jerit.
Sie
Liong kembali memyelinap ke balik batang pohon, tersenyum pahit dan merasa
bahwa dia memang sudah menjadi setan! Setan telanjang yang menakutkan seorang
gadis remaja. Setan bongkpk telanjang! Sungguh sial, gerutunya, tidak tahu
harus berbuat apa. Tak lama kemudian, gadis remaja itu datang lagi dengan sikap
takut-takut, bersama seorang laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki
berusia dua puluh tahun lebih, keduanya membawa parang dan siap untuk berkelahi
melawan setan. Di belakang gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang
saling berpegang tangan dengan gadis itu, nampak ketakutan.
“Mana.
dia? Mana setan itu?” tanya pemuda itu dengan lagak pemberani akan tetapi
suaranya agak gemetar.
“Tadi
di sana, di belakang pohon itu! Nah, lihat! Dia masih di sana....” gadis itu
merangkul ibunya.
Dua
orang laki-laki itu juga sudah melihat tubuh putih yang sebagian tertutup
batang pohon dan mereka maju baberapa langkah, akan tetapi tetap dalam jarak
yang aman.
“Setan!
Keluarlah dan perlihatkan mukamu!” bentak laki-laki muda.
“Kalau
engkau benar setan, harap jangan ganggu keluarga kami, kami adalah orang
baik-baik dan suka sembahyang,” kata pria yang setengah tua.
Sie
Liong merasa bahwa bersembunyi lebih lama lagi tidak ada gunanya juga kalau dia
melarikan diri, mungkin akan dikejar orang sedusun. Maka, diapun terpaksa
keluar dari balik pohon sambil menggunakan kedua tangan menutupi bawah
perutnya.
“Maaf,
paman.... maafkan aku. Aku.... aku bukan setan, aku manusia biasa yang mengharapkan
pertolongan kalian.”
Dua
orang pria itu jelas kelihatan lega mendengar ini, akan tetapi mereka masih
ragu-ragu. Kalau benar manusia, mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia,
tentu orang gila dan ini sama menyeramkannya dengan setan!
“Engkau
seorang manusia? Kenapa malam-malam begini datang ke sini dan telanjang bulat?
Apakah engkau gila?” tanya pria setengah tua.
“Maafkan,
paman. Aku tidak gila, aku.... aku siang tadi lewat di hutan itu dan aku
dirampok. Buntalan pakaianku, juga pakaian yang kupakai, dirampas perampok,
bahkan aku dipukul mereka. Lihat, kepalaku masih berdarah di sini.”
Untuk
membuktikan kebenaran kata-katanya, Sie Liong membalikkan tubuh
memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga memperlihatkan daging menonjol
di punggung yang membuatnya bungkuk, memperlihatkan pula tanpa disadari
pinggulnya karena yang ditutupnya hanyalah bawah perut.
“Iiihhh....!”
Gadis remaja itu menjerit lagi dan menutupi muka dengan kedua tangan, hanya
mengintai dari celah-celah jari tangannya!
Kini
pria setengah tua itu percaya karena dia melihat betapa belakang kepala itu
memang terluka. “Kauambilkan satu stel pakaianmu, juga obor.” perintahnya
kepada puteranya, kakak gadis remaja tadi. “Baik, ayah.”
Diapun
lari ke dalam. Ayah, ibu den anak perempuan itu manih mengamati Sie Liong yang
menjadi rikuh sekali. Karena di situ ada dua orang wanita terutamm gadis remaja
yang menutupi muka dengan kedua tangan dia kembali menyelinap ke balik batang
pohon, menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.
“Maafkan
aku, puman. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, maka aku sengaja menanti
sampai gelap baru berani memasuki dusun ini dengan maksud minta pertolongan
kepada siapa saja. Melihat rumah paman ini agak terpencil, make aku lalu datang
ke sini untuk minta pertolongan, takut kalau sampai terlihat banyak orang. Dan
ternyata pilihanku tidak keliru. Aku berteau dengan keluarga yang budiman.
Harap enci di sana itu memaafkan aku, aku tidak sengaja untuk bersikap kurang
ajar dan melanggar suaila.”
Mendengar
kata-kata yang halus dan teratur rapi, ayah ibu dan anak itu dapat menduga
bahwa tentu anak telanjang itu bukan seorang dusun, melainkan seorang kota
yang terpelajar. “Siapakah
namamu, orang muda?” tanya si ayah.
“Namaku
Liong, she Sie.”
Pada
saat itu, pemuda tadi datang lagi membawa obor di tangan kanan dan satu stel
pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja itu
tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya. Dengan peraaaan berterima
kasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu memakainya di balik
batang pohon. Baju itu kebesaran, lengannya terlalu panjang dan celana itupun
kakinya terlalu panjang. Terpaksa dia menggulung lengan dan kaki pakaian itu,
dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodoran, maka bongkoknya
tidak terlalu kelihatan. Sie
Liong mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka.
“Paman,
bibi, toako dan enci, aku Sie Liong menghaturkan banyak terima kasih dan
percayalah, selama hidupku aku tidak akan melupakan budi pertolongan yang amat
berharga ini.”
Laki-laki
setengah tua itu melangkah maju. Kini dia yakin bahwa anak ini bukan setan,
bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, ditariknya untuk
diajak masuk ke rumah. “Anak
yang malang, mari kita masuk ke dalam. Engkau boleh bermalam di rumah kami dan
makan malam bersama kami, akan tetapi engkau harus menceritakan semua
pengalaman dan riwayatmu kmpada kami.”
Sie
Liong mengikuti mereka dan kini gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya
dengan jari tangan. Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun dan
mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti
lajimnya gadis-gadis dusun.
Mereka
bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan
sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu
dua kali sebulan karena daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi
mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang yang demikian ramah dan baiknya,
hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan
lapar sekali. Sesudah makan, mereka duduk di tengah pondok, memutari meja dan
Sie Liong lalu bercerita.
“Aku
adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku telah tidak ada, meninggal karena
penyakit menular yang berjangkit di dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu,
aku lalu hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang,
bekerja sebagai pelayan. Kemudian, karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu
berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan
itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam
buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang kupakai sehingga aku bertelanjang
bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi sehingga aku
tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan.”
Empat
orang itu senang sekali melihat sikap Sie Liong yang demikian sopan,
kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak di dusun yang
kasar.
“Kalau
engkau sebatangkara, biarlah engkau tinggal di sini saja bersama kami, Sie
Liong. Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang,
makan seadanya dan pakaianpun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu.”
kata sang ayah.
“Benar
kata ayahku, Sie Liong. Tinggallah di sini, den engkau menjadi adikku!” kata
gadis manis itu. Ibu gadis itu, dan kakaknya juga, menyambut dengan senyum
ikhlas.
Sie
Liong memandang mereka dengan mata basah karena hatinya terharu sekali. Sungguh
aneh manusia di dunia ini, pikirnya. Dia pernah bertemu dengan keluarga petani
yang amat baik hati, memberinya tempat bermalam dan memberinya makan dan dia
sudah manganggap mereka itu teramat baik hati. Akan tetapi, kegembiraan hatinya
bertemu dengan keluarga petani yang baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit
ketika dia bertemu dengan lima orang perampok. Dan pandangannya bahwa manusia
di dunia ini banyak yang baik seketika berubah dengan kepahitan, melihat
betapa lima orang perampok itu amat jahatnya.
Namun,
baru setengah hari lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga petani ini yang
ternyata luar biasa baiknya, bukan saja memberinya pakaian sehingga dia tidak
lagi telanjang, memberinya makan, merimanya bermalam di situ, bahkan kini
menawarkan agar dia hidup bersama mereka di rumah mereka! Adakah kebaikan yang
lebih hebat dari pada ini? Keikhlasan tanpa pamrih yang amat mengharukan. Dia
bangkit dari duduknya dan mengangkat kedua tangan di depan dada, memberi hormat
kepada mereka.
“Sungguh
paman sekalian teramat baik kepadaku, budi yang berlimpahan dari paman sekalian
ini takkan kulupakan selama hidupku. Semoga Thian memberkahi paman sekalian karena
kebaikan dan ketulusan hati paman, bibi, toako, dan enci. Aku Sie Liong takkan
pernah melupakannya. Akan tetapi maaf, aku masih ingin malanjutkan perantauan
dan belum ingin tinggal di suatu tempat tertentu. Kelak, kalau sudah timbul
keinginan itu, aku akan ingat kepada penawaran paman, karena sungguh, aku akan
lebih bangga dan senang hidup serumah dengan keluarga paman yang budiman ini dari
pada dengan keluarga lain.”
Malam
itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie Liong tidur di dalan sebuah kamar
bersama putera tuan rumah yang mengalah tidur di atas lantai bertilamkan tikar
dan memberikannya dipannya yang kecil kepada Sie Liong. Mula-mula Sie Liong
monolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga akhirnya Sie Liong menerima
juga. Malam itu, sebelum tidur, dia sempat rebah telentang, agak miring karena
pungungnya tidak memungkinkan dia tidur telentang penuh, dan melamun.
Bermacam-macam sudah dia mengalami dalam kehidupan ini semenjak terjadi
perkelahian di kota Sung-jan itu. Dan semua pangalaman itu mulai
menggemblengnya dan mematangkan jiwanya.
Maklumlah
dia bahwa di dunia ini terdapat banyak orang jahat, di samping banyak pula
orang baik, dan bahwa dalam kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia harus
pandai-pandai menjaga diri sendiri. Baru mencari makan saja sudah tidak mudah,
apa lagi menghadapi gangguan orang-orang jahat yang amat kejam. Agaknya, perlu
memiliki kepandaian silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk
mengatesi semua gangguan orang jahat itu, di samping dapat pula dia pergunakan
untuk melindungi orang yang dihimpit kejahatan orang lain, seperti halnya Bi
Sian ketika diganggu pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Mulailah timbul
tekatnya untuk mempelajari ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru yang
pandai.
Pada
keesokan harinya, Sie Liong pamit pada keluarga yang baik itu, dan diapun
melanjutkan perjalanannya terus ke selatan. Sampai akhirnya pada pagi hari itu
menjelang siang, dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar
suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan suara dan iramanya yang aneh. Sie
Liong tertarik sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu. Melihat betapa
ada seorang tosu tua renta duduk bersila dan dikelilingi oleh dua orang pendeta
berkepala gundul berjubah merah, dia merasa heran sekali dan cepat dia duduk
tak jauh dari situ. Dia memegang sebatang bambu yang dipergunakannya sebagai
tongkat, juga sebagai semacam senjata kalau-kalau dia diserang binatang buas
atau juga orang jahat. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang
dilakukan oleh tiga orang kakek itu, akan tetapi mendengarkan nyanyian dan
irama dua orang pendeta Lama itu, telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan
nyeri seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Maka,
tanpa disadari, dia lalu mengetuk-ngetukken tongkat bambu di tangannya itu
pada sebuah batu besar. Karena bambu itu barlubang, maka menimbulkan suara
nyaring dan diapun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan tetapi dia sengaja
menentang irama nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar telinganya tidak
sakit seperti ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Dan begitu dia mendengar suara
tak-tok-tak-tok dari bambunya sendiri, benar saja, telinganya tidak begitu
nyeri lagi karena tidak lagi “diserang” oleh irama nyanyian dua orang pendeta
Lama.
Akan
tetapi, kembali telinganya nyeri ketika dua orang pendeta itu menyesuaikan
irama lagu mereka dengan irama ketukan bambunya. Sie Liong menjadi penasaran
dan diapun mengubah irama ketukan bambunya, bahkan kini dia bikin irama yang
kacau balau, berganti-ganti dan berubah-ubah! Melihat betapa ilmu yang
mereka lakukan melalui pengaruh irama dan nyanyian telah dibikin hancur dan
kacau oleh suara ketukan bambu, marahlah dua orang pendeta Lama itu. Mereka
menghentikan nyanyian mereka, dan keduanya membalikkan tubuh menghadap ke arah
suara ketukan bambu.
“Tak-tok-tak-tok,
tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok!” suara
ketukan bambu itu seperti ketukan bambu peronda malam! Melihat bahwa yang
mengacaukan ilmu mereka hanya seorang bocah bongkok berusia tiga belas tahun,
dua orang pendeta Lama itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan terhina
sekali, hanya seorang bocah bongkok! Dan ilmu mereka telah ketahuan rahasianya
dan telah menjadi kacau! Memang rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya
yang mampu menyeret dan mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu
irama itu kacau oleh irama lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci
rahasianya dibuka dan ilmu itupun tidak ada gunanya lagi.
“Bocah
setan! Berani engkau mengacaukan ilmu kami?” bentak Thay Ku Lama yang bermuka
codet dan tubuhnya sudah meloncat dengan cepat bagaikan seekor burung garuda
melayang, dan cepat sekali dia menyerang anak itu dengan Pukulan Hek-in
Tai-hong-ciang begitu kedua kakinya menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok!
Bukan main kejinya serangan dari Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in
Tai-hong-ciang adalah pukulan sakti yang ampuh. Seorang dewasa yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi sekalipun jarang ada yang kuat menahan pukulan ini, apa
lagi kini yang dipukulnya seorang anak-anak yang lemah!
“Siancai....!
Engkau terlalu keji, Lama!” terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah
meluncur seperti bayangan putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan
dahsyat itu sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang tidak kalah hebatnya, yaitu
Pek In Sin-ciang yang mengeluarkan uap putih.
“Desss....!”
Tubuh Thay Ku Lama terpelanting dan terguling-guling. Ternyata Pek In Tosu
dalam usahanya menyelamatkan anak bongkok, telah mengerahkan seluruh tenaganya
sehingga pandeta Lama itu tidak kuat bertahan. Akan tetapi, pukulannya yang
dahsyat tadipun sudah menyerempet dada Sie Liong dan anak inipun terpelanting
dan terbanting keras!
They
Ku Lama terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu
telah mengerahkan tenaganya dan ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat
tangguh. Dia tidak terluka, hanya tordorong sampai terpelanting, namun dia
marasa jerih. Setelah meloncat bingun, dia lalu berkata dengan suara marah dan
muka merah.
“Tunggu
saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi Himalaya Sam Lojin!” Setelah berkata
demikian, Thay Ku Lama mengajak sutenya untuk pergi dari situ. Dua orang
pendeta Lama itu berkelebat dan lenyap
dari situ.
“Siancai....!
Sungguh mereka itu orang-orang sesat yang berbahaya sekali....” kata Pek In
Tosu yang segera menghampiri dua orang pemuda murid Kun-lun-pai. Dua kali
tangannya bergerak dan dua orang pemuda itu telah terbebas dari totokan. Mereka
tadi hanya diam tak mampu bergerak akan tetapi dapat mengikuti apa yang telah
terjadi di depan mata mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali. Mereka
tahu pula bahwa nyawa mereka diselamatkan oleh kakek sakti itu, maka keduanya
lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera
mengibaskan ujung lengan bajunya dan berkata dengan halus.
“Sudahlah,
harap ji-wi (kalian berdua) segera pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan mencampuri
urusan para Lama itu.”
Dua
orang itupun cepat-cepat memberi hormat lalu pergi dari situ untuk membuat
laporan tentang peristiwa itu kepada pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah
dua orang murid Kun-lun-pai itu pergi, Pek In Tosu lalu menghampiri Sie Liong
yang menggeletak pingsan. Dia mengamati anak itu lalu berlutut.
“Thian
Yang Maha Agung.... Sungguh kasihan sekali anak ini....” katanya ketika melihat
betapa napas anak itu empas empis, mukanya agak membiru.
Tahulah
dia bahwa pertolongannya tadi agak terlambat den anak itu masih terlanggar hawa
pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang amat dahsyat itu. Pek In Tosu cepat
meletakkan kedua telapak tangannya ke atas dada Sie Liong, lalu perlahan-lahan
dan dengan hati-hati sekali dia menyalurkan tenaga sakti dari tubuhnya melalui
telapak tangan ke dalam dada anak itu. Perlahan-lahan dia mendorong dan
mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai akibat pukulan Hek-in Tai-hong-ciang
sehingga untuk sementara ini nyawa anak itu tidak lagi terancam bahaya,
walaupun luka di dadanya masih belum dapat disembuhkan. Untuk menyembuhkan luka
akibat getaran pukulan sakti itu, dia tidak mampu dan harus dicarikan seorang
ahli pengobatan yang pandai.
Anak
itu menggerakkan kaki tangannya dan membuka mata, meringis kesakitan akan
tetapi tidak mengeluh. Melihat betapa punggung anak itu menonjol dan bongkok,
kakek itu menarik napas panjang dan perasaan iba memenuhi batinnya. Anak
bongkok yang aneh ini, mungkin karena tidak disengaja, tadi telah
menyelamatkan nyawanya yang sudah terancam maut di bawah pengaruh sihir dua
orang pendeta Lama! Dan sebagai akibatnya, anak yang bongkok dan miskin ini
terkena pukulan beracun. Bagaimanapun juga, dia harus mengusahakan agar anak
ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan dia memandang kagum. Anak itu
tidak mangeluh sama sekali, padahal dia tahu bahwa luka itu tentu mendatangkan
perasaan nyeri yang hebat. Hanya napas anak itu masih sesak, dan ketika anak
itu bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua matanya karena pening.
Akan
tetapi, dia tetap tidak mengeluh! “Sakitkah
dadamu?” tanya Pek In Tosu lirih.
Sie
Liong membuka matanya, memandang kepada kakek itu dan mengangguk. “Nyeri dan
napasku sesak. Totiang, kenapakah hwesio tadi memukul aku?” Pek In Tosu menarik napas
panjang dan semakin suka dan kagum kepada anak bongkok itu.
“Untuk
menjawab pertanyaanmu itu, perlu lebih dulu pinto ketahui, kenapa tadi engkau
memukuli batu dengan bambu ini?” Sie
Liong yang masih agak pening itu memejamkan mata, mengingat-ingat dan
terbayanglah semua yang tadi terjadi.
“Totiang,
ketika tadi aku lewat di hutan ini, aku mendengar suara nyanyian dan aku
tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang duduk bersila dan
dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Akan
tetapi suara nyanyian itu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin
menyiksa telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk
menolak suara yang tidak enak itu.”
“Siancai....
Tanpa kausadari engkau telah menentang dan memecahkan ilmu sihir mareka. Karena
suara ketukan bambumu itu merusak kekuatan sihir dari nyanyian mereka, maka
mereka menjadi marah dan hendak membunuhmu.”
Sie
Liong terkejut sekali dan saking herannya, dia bangkit berdiri. Akan tetapi
tubuhnya terhuyung dan dia tentu roboh kalau tidak cepat pundaknya ditangkap
oleh Pek In Tosu. “Jangan banyak bergerak, engkau masih dalam keadaan luka
berat. Marilah engkau ikut denganku, akan pinto usahakan agar engkau mendapat
pengobatan yang baik.”
Karena
terlalu lemah, Sie Liong hanya mengangguk pasrah dan di lain saat dia merasa
tubuhnya seperti terbang. Kiranya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu
sudah berlari dengan amat cepatnya, seperti terbang saja!
Bukit
itu puncaknya merupakan padang rumput yang luas. Di sana-sini tumbuh pohon
yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rumput di puncak
bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang,
melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang
tertutup awan, jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau. Mereka duduk bersila di atas
padang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang
juga duduk bersila di tengah-tengah. Seorang di antara tiga kakek yang duduk
bersila itu adalah Pek In Tosu. Orang ke dua juga seorang tosu, bertubuh tinggi
kurus seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Namun muka kakek ini licin
tanpa rambut sedikitpun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias
senyum ramah. Usianya sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh
tahun dan dia berjuluk Swat Hwa Cin-jin, dengan pakaian serba putih sederhana
seperti juga yang dipakai Pek In Tosu. Orang ke tiga bernama Hek Bin Tosu, dan
sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar,
wajahnya nampak serius dan bengis, pakaiannya juga putih dan usianya juga
sebaya dengan dua orang tosu lainnya. Mereka bertiga inilah yang dahulu dikenal
sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya).
Mereka
dahulu adalah para pertapa di Himalaya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san
untuk menghindarkan bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet. Tak
mereka sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan
dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama yang sakti melakukan pengejaran
ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan
baru saja dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman
membunuhnya kalau tidak mau menyerah.
“Siancai....!
Sungguh mengherankan sekali sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi
kita?” Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru. Mereka
bertiga ini bukan saudara seperguruan, akan tetapi biarpun mereka datang dari
sumber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu dan bersatu sebagai tiga
orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang
kini telah tiada. Karena itu, mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan
mereka terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.
“Tidak
tahukah engkau, sute?” kata Swat Hwa Cinjin. “Ketika kita masih di Himalaya
dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa di sana dan
menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan ingin menjatuhkan
kedudukan Dalai Lama. Rupanya, biarpun sebagian besar para pertapa
menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus
Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang
dari Himalaya.”
“Benar
seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagaimana
orang-orang yang sudah memiliki tingkat sedemikian tingginya, masih juga
menjadi budak dari nafsu dendam!” kata Pek In Tosu yang dianggap paling tua di
antara mereka.
“Pinto
hanya ingat sedikit saja akan hal itu, akan tetapi sampai sekarang pinto
masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu menuduh para
pertapa Himalaya memberontak? Dan mengapa pula yang mereka musuhi khususnya
adalah kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.
Pek
In Tosu menarik napas panjang. “Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar
urusan itu tidak perlu pinto ceritakan kepada siapapun, sehingga engkau
sendiri juga tidak mengetahuinya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari
para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang
lalu.”
Swat
Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak
bongkok yang duduk bersila pula di tengah-tengah, ikut mendengarkan walaupun
dia harus menahan perasaan nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan
dadanya nyeri. Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu telah mengobatinya
dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas memasuki
tubuhnya dan memang perasaan nyeri di dadanya banyak berkurang walaupun belum
lenyap sama sekali.
“Pada
waktu itu, kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan
berada di sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama
memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki
yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke
Tibet. Ayah ibu anak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak memberikan
putera mereka yang tunggal, apalagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama
Buddha Tibet. Terjadi ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa.
Orang-orang dusun membela orang tua anak itu dan terjadilah pertempuran.
Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat
keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pendeta Lama
tewas ketika mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama menjadi gentar dan sambil
melarikan anak itu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu
melarikan diri. Nah, semenjak itu, terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet
dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya.
Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah
meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang
menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di
Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa menentang Dalai Lama di Tibet
dan hendak memberontak.”
“Akan
tetapi, itu sungguh tindakan gila!” Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran.
“Kenapa
hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka bertindak
kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?”
“Siancai,
sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi
hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan
akan agama mereka, secara membuta dan apapun yang dikatakan oleh pimpinan
mereka merupakan perintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai
perintah dari Thian sendiri. Dan betapapun juga, anak yang mereka culik itu adalah
Dalai Lama yang sekarang!”
“Ahh.”
Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru.
“Kalau
anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu mengapa dia menyuruh Lima Harimau Tibet
menggangil kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan
keluarganya ketika para Lama hendak menculiknya?”
“Inipun
suatu kejanggalan dan rahasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai
bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai
Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi
dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka
bermusuhan, tidak membiarkan kebencian menyentuh batin, namun kita berhak dan
berkewajiban untuk melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar
maupun dalam.”
Tiga
orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Tak
mereka sangka bahwa dalam usia yang amat lanjut itu mereka masih harus
menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
“Suheng,
lalu bagaimana dengan anak ini? Kita menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau
Tibet, dan dia berada di tengah-tengah antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya
kepada Pek In Tosu.
“Siancai....!
Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia
telah menghindarkan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pdndeta Lama
itu dan dia menderita luka parah yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya.
Kita bertiga sudah berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tidak berdaya
menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai.
Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi
kewajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya.”
Kembali
tiga orang tosu itu berdiam diri. Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan
mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena
keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah
mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha
membunuhnya. Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Tibet itu
memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang,
mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama
itu hendak membunuh para tosu ini. Ketika mendengar betapa tiga orang kakek
yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini harus melindungi pula
dirinya, diapun segera berkata.
“Harap
sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri menghadapi ancaman para pendeta
Lama, make tidak semestinya kalau sam-wi harus pula bersusah payah melindungi
saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari
sendiri ahli pengobatan itu agar selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan
semakin terancam.” Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan
tempat itu. Akan tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga
dia jatuh terduduk kembali.
“Duduk
sajalah dengan tenang, Sie Liong. Engkau harus terus menenangkan tubuhmu,
bernapas panjang dan perlahan seperti yang kami ajarkan tadi dan jangan
memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak merepotkan kami,” kata Pek In
Tosu.
Bagaimanapun
juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi
kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya, apalagi mereka bertiga tadi sudah
memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang
mentakjubkan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata
terkandung tulang yang amat baik, darah yang bersih dan bakat yang besar!
Bukit
itu puncaknya merupakan padang rumput yang luas. Di sana-sini tumbuh pohon
yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rumput di puncak
bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang,
melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang
tertutup awan, jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau. Mereka duduk bersila di atas
padang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang
juga duduk bersila di tengah-tengah.
Seorang
di antara tiga kakek yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu. Orang ke dua
juga seorang tosu, bertubuh tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang
terbungkus kulit. Namun muka kakek ini licin tanpa rambut sedikitpun, seperti
muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya sebaya dengan
usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun dan dia berjuluk Swat Hwa Cin-jin,
dengan pakaian serba putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu.
Orang ke tiga bernama Hek Bin Tosu, dan sesuai dengan namanya, muka tosu ini
kehitaman dan tubuhnya pendek besar, wajahnya nampak serius dan bengis,
pakaiannya juga putih dan usianya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya.
Mereka bertiga inilah yang dahulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga
Orang Kakek Himalaya). Mereka dahulu adalah para pertapa di Himalaya yang
ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindarkan bentrokan dan keributan
dengan para Lama di Tibet.
Tak
mereka sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan
dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama yang sakti melakukan
pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari
Himalaya! Bahkan baru saja dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In
Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau menyerah.
“Siancai....!
Sungguh mengherankan sekali sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi
kita?” Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru. Mereka
bertiga ini bukan saudara seperguruan, akan tetapi biarpun mereka datang dari
sumber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu dan bersatu sebagai tiga
orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang
kini telah tiada. Karena itu, mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan
mereka terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.
“Tidak
tahukah engkau, sute?” kata Swat Hwa Cinjin.
“Ketika
kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa
di sana dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan ingin
menjatuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, biarpun sebagian besar para pertapa
menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus
Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang
dari Himalaya.”
“Benar
seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagaimana
orang-orang yang sudah memiliki tingkat sedemikian tingginya, masih juga menjadi
budak dari nafsu dendam!” kata Pek In Tosu yang dianggap paling tua di antara
mereka.
“Pinto
hanya ingat sedikit saja akan hal itu, akan tetapi sampai sekarang pinto
masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu menuduh para pertapa
Himalaya memberontak? Dan mengapa pula yang mereka musuhi khususnya adalah
kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.
Pek
In Tosu menarik napas panjang. “Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar
urusan itu tidak perlu pinto ceritakan kepada siapapun, sehingga engkau
sendiri juga tidak mengetahuinya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari
para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang
lalu.”
Swat
Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak
bongkok yang duduk bersila pula di tengah-tengah, ikut mendengarkan walaupun
dia harus menahan perasaan nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan
dadanya nyeri. Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu telah mengobatinya
dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas memasuki
tubuhnya dan memang perasaan nyeri di dadanya banyak berkurang walaupun belum
lenyap sama sekali.
“Pada
waktu itu, kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan
berada di sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama
memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki
yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke
Tibet. Ayah ibu anak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak memberikan
putera mereka yang tunggal, apalagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama
Buddha Tibet. Terjadi ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa.
Orang-orang dusun membela orang tua anak itu dan terjadilah pertempuran.
Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat
keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pendeta Lama
tewas ketika mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama aenjadi gentar
dan sambil melarikan anak itu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama
itu melarikan diri. Nah, semenjak itu, terjadi dendam di pihak pendeta Lama di
Tibet dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di
Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu
telah meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu
yang menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa
di Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa menentang Dalai Lama di Tibet
dan hendak memberontak.”
“Akan
tetapi, itu sungguh tindakan gila!” Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran.
“Kenapa
hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka bertindak
kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?”
“Siancai,
sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi
hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan
akan agama mereka, secara membuta dan apapun yang dikatakan oleh pimpinan
mereka merupakan perintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai
perintah dari Thian sendiri. Dan betapapun juga, anak yang mereka culik itu
adalah Dalai Lama yang sekarang!”
“Ahh.”
Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru.
“Kalau
anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu mengapa dia menyuruh Lima Harimau Tibet
menggangil kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan
keluarganya ketika para Lama hendak menculiknya?”
“Inipun
suatu kejanggalan dan rahasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai
bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai
Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi
dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka
bermusuhan, tidak membiarkan kebencian menyentuh batin, namun kita berhak dan
berkewajiban untuk melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar
maupun dalam.”
Tiga
orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Tak
mereka sangka bahwa dalam usia yang amat lanjut itu mereka masih harus
menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
“Suheng,
lalu bagaimana dengan anak ini? Kita menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau
Tibet, dan dia berada di tengah-tengah antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya
kepada Pek In Tosu.
“Siancai....!
Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia
telah menghindarkan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pdndeta Lama
itu dan dia menderita luka parah yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya.
Kita bertiga sudah berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tidak berdaya
menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena
Thian sendiri yang menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi kewajiban
kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya.”
Kembali
tiga orang tosu itu berdiam diri. Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan
mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena
keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah
mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha
membunuhnya. Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Tibet itu
memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang,
mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama
itu hendak membunuh para tosu ini. Ketika mendengar betapa tiga orang kakek
yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini harus melindungi pula dirinya,
diapun segera berkata.
“Harap
sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri menghadapi ancaman para pendeta
Lama, make tidak semestinya kalau sam-wi harus pula bersusah payah melindungi
saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari
sendiri ahli pengobatan itu agar selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan
semakin terancam.” Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan
tempat itu.
Akan
tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh
terduduk kembali. “Duduk
sajalah dengan tenang, Sie Liong. Engkau harus terus menenangkan tubuhmu,
bernapas panjang dan perlahan seperti yang kami ajarkan tadi dan jangan
memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak merepotkan kami,” kata Pek In
Tosu.
Bagaimanapun
juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi
kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya, apalagi mereka bertiga tadi sudah
memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang
mentakjubkan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata
terkandung tulang yang amat baik, darah yang bersih dan bakat yang besar!
Sie
Liong terpaksa mentaati petunjuk Pek In Tosu ini karena dia memang merasa
pening begitu bangkit berdiri tadi. Dia sudah mendapat petunjuk untuk duduk
diam, bersila dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan mereka. Tiba-tiba ada angin keras
menyambar dan seperti setan saja, muncullah lima orang pendeta Lama di tempat
itu. Oleh Sie Liong hanya kelihatan bayangan merah berkelebatan dan tahu-tahu
di situ telah berdiri lima orang pendeta Lama yang sikapnya menyeramkan. Dua di
antara mereka adalah Thay Ku Lama si muka codet dan Thay Si Lama si muka bopeng
yang pernah dilihatnya. Tiga orang pendeta Lama yang lain juga mempunyai ciri
yang mudah dibedakan satu antara yang lain. Orang ke tiga adalah seorang yang
mukanya pucat soperti berpenyakitan dan dia ini berjuluk Thay Pek Lama. Orang
ke empat berjuluk Thay Hok Lama, matanya yang kiri buta, terpejam dan kosong
tidak berbiji mata lagi. Orang ke lima berjuluk Thay Bo Lama, kurus kering
seperti tengkorak hidup. Inilah Lima Harimau Tibet yang terkenal mengamuk di
Kun-lun-san itu.
Melihat
munculnya lima orang ini, Himalaya Sam Lojin lalu menggeser duduk mereka. Kini
mereka bersila sejajar, membelakangi Sie Liong dan menghadapi lima orang
pendeta Lama itu, dengan sikap yang tenang sekali. Sie Liong membuka matanya
lebar-lebar, hatinya tegang akan tetapi diapun tidak merasa takut, hanya marah
kepada lima orang pendeta Lama yang dianggapnya amat jahat dan sombong itu.
Melihat
betapa tiga orang calon lawan itu duduk bersila dan berjajar menghadapi mereka,
Lima Harimau Tibet juga segera duduk bersila berjajar menghadapi Himalaya Sam
Lojin. Thay Ku Lama, si muka codet yang menjadi pimpinan mereka itu agaknya
memberi isarat melalui gerakan tangan dan tubuh. Mereka berlima tidak berani
memandang rendah kepada tiga orang lawan mereka. Bukan hanya karena nama
Himalaya Sam Lojin sudah terkenal sebagai orang-orang sakti, bahkan beberapa
hari yang lalu Thay Ku Lama dan Thay Si Lama sudah merasakan kelihaian Pek In
Tosu dan karenanya, kini mereka berlima bersikap hati-hati.
Jarak
antara dua pihak itu ada lima meter, dan jelas nampak perbedaan antara sikap
mereka. Kalau Himalaya Sam Lojin bersikap tenang saja, sebaliknya sikap Lima
Hartmau Tibet itu penuh geram, sinar mata mereka mencorong penuh tuntutan dan
tubuh mereka jelas membayangkan kesiapsiagaan untuk berkelahi. Kedua pihak sampai lama
tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling pandang seolah-olah hendak mengukur
kekuatan pihak lawan dengan pengamatan saja.
“Sam
Lojin, sekali lagi kami tegaskan bahwa pimpinan kami, yang mulia Dalai Lama
memerintahkan kalian bertiga untuk menghadap beliau!” tiba-tiba terdengar Thay
Ku Lama berkata, suaranya lirih namun jelas dan tajam, bahkan mengandung
perintah dan ancaman. “Siancai!
Kami bukunlah rakyat Tibet, juga bukan hamba sahaya pemerintah Tibet, oleh
karena itu menyesal sekali kami tidak dapat memenuhi perintah itu.”
“Kalian
tinggi hati! Baiklah, kami menggunakan kata-kata yang halus. Pemimpin kami,
yang mulia Dalai Lama mengundang sam-wi untuk datang karena beliau ingin
berwawancara dengan sam-wi,” kata pula Thay Ku Lama, biarpun kata-katanya
halus dan sopan, namun mengandung ejekan.
“Maafkan
kami, kami sudah tua dan lelah, tidak mungkin dapat memenuhi undangan itu.
Kalau Sang Dalai Lama memang berkeinginan untuk bicara dengan kami, silakan
saja datang ke Kun-lun-san dan kami akan menyambutnya.”
Marahlah
Lima Hariman Tibet itu! “Kalian memang tua bangka yang sombong sekali! Apakah
kalian berani menandingi kesaktian kami?” bentak pula Thay Ku Lama.
“Siancai....!
Terserah kepada kalian. Kami tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga, akan
tetapi juga tidak ingin kemerdekaan kami dilanggar,” jawab Pek In Tosu dengan
sikap tenang.
Lima
orang pendeta Lama itu kini merangkap kedua tangan di depan dada seperti orang
menyembah, kedua mata mereka dipejamkan dan mereka seperti telah pulas dalam
samadhi. Sie Liong yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersila di
belakang tiga orang kakek tua renta, diam-diam merasa mendongkol sekali kepada
lima orang pendeta Lama itu. Biarpun dia tidak mengerti betul akan urusan di
antara kedua golongan itu, namun dia melihat sikap mereka dan dapat menilai
bahwa lima orang pendeta Lama itulah yang sombong dan hendak menggunakan
kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada orang lain.
Sebaliknya,
sikap tiga orang tosu itu dianggapnya amat mengalah, hal yang juga membuatnya
tidak puas sama sekali. Dia tahu bahwa tiga orang tosu itu memiliki kesaktian,
mengapa harus begitu mengalah terhadap lima orang pendeta Lama yang demikian
tinggi hati dan keras? Mengalah sebaiknya dipergunakan menghadapi orang yang
baik, sedangkan untuk menghadapi orang-orang yang jahat, sepatutnya kalau
diambil sikap yang tegas pula! Demikian pikiran Sie Liong yang sudah banyak
mengalami penderitaan akibat perbuatan yang jahat dan mengandalkan kekerasan.
Tiba-tiba
Sie Liong memandang dengan mata terbelalak. Ia mengejap-ngejapkan kedua
matanya, lalu menggosok-gosoknya dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja
nampak olehnya hal yang dianggapnya tidak mungkin itu. Dia melihat betapa tubuh
lima orang pendeta Lama itu perlahan-lahan naik dari atas tanah yang menjadi
tempat mereka bersila, dan dalam keadaan masih bersila, lima sosok tubuh
pendeta Lama itu naik ke atas sampai setinggi dua kaki dari atas tanah! Mereka
seperti terbang atau mengapung di udara, seolah-olah tubuh mereka kehilangan
bobot dan menjadi seperti balon kosong berisi udara yang amat ringan!
“Sam-wi
Lojin, lihat! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” Thay Ku Lama
yang sudah membuka matanya, berseru. Tiga orang tosu itu memandang dengan mata
terbelalak. Mereka tahu bahwa memang tingkat lima orang pendeta Lama itu sudah
amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan bobot seperti itu dan mengapung,
membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari samadhi! Akan tetapi, tiba-tiba Sie
Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan lima orang itu dan tidak ingin
melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri dan dikalahkan, berseru dengan
suara nyaring.
“Uhhhh!
Kalian ini lima orang pendeta Lama yang amat congkak! Apa sih artinya mengapung
di udara seperti itu saja? Kacoa-kacoa yang kotor, lalat-lalat yang kotor
itupun sanggup mengapung lebih tinggi dan lebih lama dari pada kalian!
Kepandaian kalian itu dibandingkan dengan lalat dan nyamuk belum ada
seperseratusnya! Andaikata kalian pandai terbang sekalipun, masih belum
menandingi kemampuan terbang burung gereja yang kecil dan lemah! Dan kalian
sudah berani menyombongkan kepandaian yang tidak ada artinya itu? Sungguh,
batok kepala kalian yang gundul itu agaknya sudah terlampau keras sehingga
tidak melihat kenyataan betapa kalian bersikap seperti lima orang badut yang
tidak lucu!”
Tiga
orang tosu itu terkejut bukan main! Juga Sie Liong terkejut karena biarpan dia
mendongkol dan tidak suka kepada lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi semua
kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa dia sadari, seolah-olah keluar begitu
saja dan dikendalikan oleh kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang bicara
seperti itu, melainkan orang lain yang hanya “meminjam” mulut dan suaranya!
Tadinya dia memang berniat untuk mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan
hatinya dan mengejek lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu
kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos terus tanpa dapat dia kendalikan!
Lima
orang pendeta Lama itu demikian kaget, marah den malu mendengar teguran yang
keluar dari mulut kanak-kanak itu dan sungguh luar biasa sekali. Pengaruh
ucapan itu membuat mereka goyah dan tak dapat dihindarkan lagi, tubuh merekapun
meluncur turun. Terdengar
suara berdebuk ketika pantat lima orang pendeta Lama itu terbanting ke atas
tanah! Tidak sakit memang, namun hati mereka yang sakit dan mereka sudah
melotot, memandang kepada Sie Liong dan dari mata mereka seolah keluar api yang
akan membakar tubuh anak bongkok itu.
Akan
tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara yang lembut namun
cukup nyaring. “Ha-ha-ha, sungguh tepat sekali ucapan itu! Lima Harimau Tibet
bukan lain hanyalah badut-badut belaka, macan-macan kertas yang hanya dapat menakut-nakuti
anak-anak saja!”
Dari
belakang tiga orang tosu itu bermunculan banyak orang. Mereka adalah lima
belas orang murid kepala Kun-lun-pai yang dipimpin oleh dua orang ketua
Kun-lun-pai sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu dan
yang tertawa dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu yang berwatak keras
berdisiplin dan jujur.
Lima
orang pendeta Lama itu cepat memandang dan ketika mereka melihat orang-orang
Kun-lun-pai, kemarahan mereka memuncak dan untuk sementara mereka tidak
memperdulikan tiga orang Himalaya Sam Lojin dan mereka memandang kepada
orang-orang Kun-lun-pai itu. “Hemm,
kiranya orang-orang Kun-lun-pai telah berani lancang untuk menentang kami Lima
Harimau Tibet?”
“Siancai....”
Kini Thian Hwat Tosu melangkah maju, menghadapi lima orang pendeta Lama yang
sudah bangkit berdiri itu, diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang
murid utama Kun-lun-pai. Thian Hwat Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang
masih duduk bersila dengan tenang, memberi hormat dengan kedua tangan di dada dan
berkata dengan penuh hormat.
“Mohon
sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami kalau kami mengganggu, karena kami
mempunyai suatu urusan dengan Lima Harimau Tibet ini.”
Pek
In Tosu tersenyum dan mewakili dua orang saudaranya menjawab, “Silakan, To-yu
dari Kun-lun-pai.”
Kini
Thian Hwat Tosu menghadapi lagi lima orang pendeta Lama dan dengan suara
lembut dan sikap hormat dia pun berkata, “Ngo-wi lo-suhu adalah lima orang
terhormat dari Tibet. Agaknya ngo-wi lupa bahwa di sini bukanlah daerah Tibet,
melainkan daerah Kun-lun-san. Kedatangan ngo-wi sudah lama kami dengar, akan
tetapi kami tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Betapapun juga, setelah
mendengar laporan dua orang murid kami yang telah ngo-wi robohkan, kami
mengambil keputusan bahwa kami tidak mungkin mendiamkannya saja urusan ini.
Kalau dilanjutkan sepak terjang ngo-wi di daerah ini, kami khawatir kalau
terjadi bentrokan yang lebih hebat. Karena itu, Ngo-wi lo-suhu, demi
kedamaian, kami mohon dengan hormat sudilah kiranya ngo-wi kembali ke Tibet
dan tidak melanjutkan tindakan ngo-wi di sini, dan kamipun akan melupakan apa
yang telah terjadi di sini selama beberapa pekan ini.”
Ucapan
ketua Kun-lun-pai itu bernada halus dan juga sopan, sama sekali tidak ada
sikap menyalahkan atau menegur, melainkan mengkhawatirkan kalau terjadi
kesalahpahaman. Karena sikapnya yang lembut ini, kemarahan lima orang pendeta
Lama itu agak mereda, dan Thay Ku Lama lalu membalas penghormatan ketua
Kun-lun-pai dan diapun berkata dengan suara yang tegas, namun tidak kasar. “Pai-cu (ketua), kami
mengerti apa yang kaumaknudkan. Kamipun menerima tugas untuk mencari
orang-orang tertentu dan kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apa lagi
memusuhi Kun-lun-pai selama Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami. Kalau
beberapa hari yang lalu kami terpaksa memberi hajaran kepada dua orang murid
Kun-lun-pai, hal itu terjadi karena dua orang murid itu mencarapuri urusan kami
yang tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih memandang muka
Pai-cu dan nama besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah kiranya dua
orang murid itu sekarang akan masih tinggal hidup?”
Dalam
kalimat terakhir ini jelas sekali Thay Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka
dan meremehkan kepandaian murid Kun-lun-pai, juga mengandung pandangannya yang
congkak.
“Lama
yang sombong!” Thian Khi Tosu berseru geram.
“Tentu
saja dua orang murid kami itu bukan lawan kalian karena mereka hanyalah murid
kami tingkat tiga yang masih hijau! Coba yang kauhadapi itu murid-murid utama
Kun-lun-pai atau kami sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan
semudah itu!”
“Omitohud....!
Siapakah yang sombong, kami ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kamipun ingin melihat
apakah benar Kun-lun-pai sedemikian tangguh dan lihainya sehingga berani
mencampuri urusan kami para utusan Tibet!” Thian Khi Toou yang memang
berwatak keras itu segera menjawab, dengan suara keras.
“Bagus!
Lima Harimau Tibet menantang kami dari Kun-lun-pai? Kami bukan mencari
permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang, siapapun juga akan kami hadapi!”
“Omitohud....!”
Thay Si Lama, orang ke dua dari Lima Harimau Tibet itu berseru.
“Kalau
begitu majulah dan mari kita buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!”
“Manusia
sombong! Aku yang akan maju mewakili Kun-lun-pai!” Thian Khi Tosu hendak
melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba lima belas orang murid utama dari
Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara tiga puluh sampai lima puluh
tahun, sudah berlompatan ke depan dan seorang di antara mereka berkata kepada
Thian Khi Tosu, “Harap suhu jangan merendahkan diri maju sendiri. Ji-wi suhu
(guru berdua) adalah tuan-tuan rumah, pimpinan Kun-lun-pai. Masih ada teecu
sekalian yang menjadi murid, perlukah ji-wi suhu maju sendiri? Biar kami yang
menghadapi lima orang Lama sombong ini!”
Thian
Khi Tosu hendak membantah, akan tetapi suhengnya, Thian Hwat Tosu ketua
Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah sehingga wakil ketua itu
membiarkan lima belas orang murid utama itu maju. Kalau lima belas orang murid
utama itu maju, maka mereka bahkan lebih kuat dari pada dia atau suhengnya
sekalipun. Lima belas orang murid itu merupakan murid utama yang ilmu
kepandaiannya sudah matang dan tinggi, apalagi kalau mereka maju bersama.
Mereka
itu sudah menciptakan suatu ilmu, dibantu oleh petunjuk guru-guru mereka ,
yaitu ilmu dalam bentuk barisan yans dinamakan Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang
Kun-lun). Dengan barisan pedang ini, mereka dapat menjadi suatu pasukan yang
amat kuat sehingga ketika diuji, bahkan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu
sendiri terdesak dan tidak mampu mengatasi ketangguhan Kun-lun Kim-tin! Inilah
sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah sutenya turun tangan sendiri. Para
murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan batu ujian untuk mengukur sampai
di mana kepandaian musuh!
Lima
belas orang murid utama Kun-lun-pai itu lalu berlarian menuju ke tempat
terbuka, di atas padang rumput yang lapang dan di situ mereka membentuk
barisan berjajar dengan pedang di tangan masing-masing, kelihatan gagah perkasa
dan rapi.
“Lima
Harimau Tibet, kami telah siap sedia! Majulah kalau kalian memang hendak
memusuhi Kun-lun-pai!” bentak murid tertua yang usianya sudah hampir lima puluh
tahun dan menjadi kepala barisan pedang itu, berdiri di ujung kanan.
Melihat
ini, lima orang pendeta Lama tersenyum mengejek dan merekapun melangkah maju
menghadapi mereka, dengan borjajar. Setelah mereka berhadapan, lima belas
orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu bergerak mengikuti aba-aba yang
dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka sudah mengepung lima orang
pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika melangkah amat tegap dan dengan ringan
pula, menunjukkan bahwa mereka telah berlatih matang. Melihat ini, lima orang
pandeta Lama itupun bergerak membuat suatu bentuk sagi lima dan berdiri saling
membelakangi. Bentuk seperti ini memang paling kokoh kuat untuk pembelaan diri,
karena mereka berlima dapat menghadapi pengeroyokan banyak lawan dengan cara
saling melingungi dan tidak akan dapat diserang dari belakang, bahkan serangan
dari samping dapat mereka hadapi bersama rekan yang berada di sampingnya.
Pendeknya, pengepungan lima belas orang murid Kun-lun-pai itu berkurang banyak
bahayanya dengan kedudukan lima orang Lama seperti itu.
Lima
belas orang murid Kun-lun-pai itu adalah ahli silat yang sudah pandai. Mereka
tidak berani memandang ringan lima orang lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau
bertanding satu lawan satu, di antara mereka tidak akan ada yang mampu
menandingi pendeta-pendeta Lama itu yang memiliki tingkat kepandaian lebih
tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada tingkat ilmu
kepandaian guru-guru mereka, melihat demonstrasi yang mereka perlihatkan tadi.
Namun, mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun Kiam-tin dan begitu
pimpinan mereka memberi aba-aba lima belas orang itu bergerak, mulai dengan penyerangan
mereka yang serentak!
Memang
hebat gerakan para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan seperti
kilat menyambar-nyambar. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal hebat, dan
kini mereka bukan hanya mengandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan
diperkuat oleh kerapian barisan yang teratur sehingga begitu menyerang,
kekuatan mereka terpadu, bagaikan gelombang samudera yang menerjang ke depan
dengan dahsyatnya!
Lima
orang pendeta Lama itu telah siap siaga. Dengan gerakan cepat sehingga sukar
diikuti pandang mata, tangan mereka bergerak dan tahu-tahu mereka telah
memegang senjata masing-masing, Thay Ku Lama si muka codet sudah memegang
sebatang golok tipis yang tadinya disembunyikannya di balik jubah merah yang
longgar dan panjang itu. Thay Si Lama si muka bopeng sudah memegang sebatang
cambuk hitam seperti cambuk penggembala lembu. Thay Pek Lama si muka pucat
sudah memegang sepasang pedang yang tipis dan mengeluarkan cahaya kehijauan.
Thay Hok Lama si mata satu sudah memegang sebatang rantai baja yang tadi
dipakai sebagai sabuk, sedangkan Thay Bo Lama sudah memegang sebatang tombak.
Lama kurus kering ini memiliki sebatang tombak yang dapat dilipat dan ditekuk
menjadi tiga bagian dan diselipkan di pinggang tertutup jubah. Kini, tombak itu
diluruskan dan menjadi sebatang tombak yang panjangnya sama dengan tubuhnya.
Dalam
penyerangan pertama yang serentak dilakukan oleh para murid Kun-lun-pai kepada
lima orang lawan mereka itu membuat setiap orang pendeta Lama diserang oleh
tiga orang lawan. Mereka berlima tidak menjadi gugup dan mereka pun
menggerakkan senjata mereka menangkis. Terdengar suara nyaring berdenting-denting
disusul bunga-bunga api berpijar menyilaukan mata ketika lima belas batang
pedang itu tertangkis oleh senjata lima orang pandeta Lama. Karena memang
tenaga sin-kang dari para pendeta Lama itu lebih kuat, maka banyak di antara
pedang yang menyerang itu terpental keras dan pemegangnya merasa betapa lengan
mereka tergetar hebat!
Namun,
pimpinan mereka memberi aba-aba dan mereka melanjutkan serangan sampai
bergelombang baberapa kali, namun selalu dapat ditangkis oleh lima orang
pendeta Lama, bahkan yang terakhir kalinya, lima orang pendeta Tibet itu
mengerahkan tenaga mereka, membuat lima belas orang penyerang itu terdorong ke
belakang bahkan ada yang hampir jatuh setelah terhuyung-huyung. Kesempatan ini
dipergunakan oleh lima Harimau Tibet itu untuk membalas serangan pihak lawan
yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dari jumlah mereka itu. Thay Ku Lama
yang merupakan orang pertama dari Lima Harimau Tibet, memutar goloknya den
golok itu seperti kilat menyambar-nyambar, menyerang siapa saja di antara
pihak lawan terdekat. Thay Si Lama, si muka bopeng, juga menggerakkan
cambuknya dan terdengar cambuk itu meledak-ledak di atas kepala para murid
Kun-lun-pai. Thay Pek Lama memutar sepasang padangnya yang berubah menjadi dua
gulungan sinar terang. Thay Hok Lama juga memutar rantai baja di tangannya dan
senjata istimewa ini menyambar-nyambar ke sekelilingnya, seperti jari-jari
maut. Orang ke lima, Thay Bo Lama yang kurus kering itu menggerakkan tombaknya
dan terdengarlah suara mendengung-dengung karena si kurus kering ini memiliki
tenaga raksasa.
Biarpun
lima belas orang murid utama Kun-lun-pai dapat pula menghindarkan diri dari
cengkeraman maut yang disebarkan oleh Tibet Ngo-houw dengan cara saling
melindungi dan saling membantu, namun mereka terdesak hebat dan hanya mampu
mempertahankan diri saja terhadap serangan lima orang pendeta Lama yang
bertubi-tubi itu datangnya. Jelas nampak pertempuran yang tidak seimbang sama
sekali. Lewat dua puluh jurus lebih, dari lima belas orang murid utama
Kun-lun-pai itu, hanya sepuluh orang yang masih mampu melawan, karena yang lima
orang sudah terjungkal roboh terkena sambaran senjata lawan. Sepuluh orang ini
mempertahankan diri mati-matian, namun kalau dilanjutkan, jelas bahwa merekapun
akan roboh seperti yang dialami lima orang saudara mereka.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan dua orang dan terdengar bentakan nyaring.
“Tahan
senjata!” Ketika sepuluh orang murid utama Kun-lun-pai melihat bahwa yang maju
adalah kedua orang guru mereka, maka merekapun berloncatan ke belakang dan
sebagian segera menolong lima orang saudara mereka yang tadi terluka. Lima
orang pendeta Lama juga menahan senjata mereka dan kini mereka memandang
dengan senyum mengejek kepada dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu.
“Pinto
Thian Khi Tosu dan suheng Thian Hwat Tosu menantang kalian untuk mengadu
kepandaian seorang lawan seorang!” bentak Thian Khi Tosu yang bertubuh besar
itu dengan garang.
Mendengar
ini, lima orang pendeta Lama itu saling pandang lalu Thay Ku Lama tertawa
sambil melangkah maju.
“Omitohud....!
Dua orang tosu pimpinan Kun-lun-pai sungguh mau menang dan mau enak sendiri
saja! Tadi, mereka membiarkan lima belas orang muridnya untuk mengeroyok kami
berlima, sekarang bicara tentang mengadu kepandaian seorang lawan seorang!” Wajah Thian Khi Tosu menjadi
marah.
“Bagus!
Jangan kalian mengira bahwa pinto takut menghadapi pengeroyokan. Kalau kalian
berlima hendak maju mengeroyok, silakan!”
“Sute,
harap tenangkan hatimu!” Tiba-tiba Thian Hwat Tosu menegur sutenya dan ketua
Kun-lun-pai ini melangkah maju dan memberi hormat kepada lima orang Lama dari
Tibet itu.
“Siancai....
pinto berdua mohon maaf kepada Ngo-wi. Maafkan para murid kami tadi yang lancang
turun tangan, mengeroyok kepada Ngo-wi. Akan tetapi, mereka itu hanyalah
orang-orang muda yang kurang pengalaman dan terima kasih atas pelajaran yang
Ngo-wi berikan kepada mereka. Pinto berdua sute yang kebetulan menjadi pimpinan
Kun-lun-pai, bertanggung jawab terhadap semua urusan Kun-lun-pai. Agar
pertentangan antara Ngo-wi dan kami tidak berlarut-larut, biarlah kami berdua
sebagai pimpinan Kun-lun-pai mewakili perkumpulan kami untuk menentukan apakah
Kun-lun-pai masih mampu mempertahankan kedaulatannya di daerah Kun-lun-san ini.
Kalau kami ternyata tidak mampu menandingi Ngo-wi dalam pertandingan yang adil,
satu lawan satu, biarlah kami akan mundur dan selanjutnya Kun-lun-pai tidak
lagi akan menghalangi semua sepak terjang Ngo-wi.” Ucapan yang panjang itu
terdengar halus, namun mengandung tantangan, juga teguran, disamping janji.
“Omitohud....
Bagus sekali kalau ketua Kun-lun-pai sendiri yang berjanji begitu. Memang
cukup adil! Kita golongan persilatan memang hanya mempunyai satu aturan,
yaitu siapa yang lebih kuat dia berhak menentukan peraturan. Kalau kami kalah
oleh ketua Kun-lun-pai, biarlah kami angkat kaki dari sini, kecuali kalau
diantara kami masih ada yang mampu menandingi ketua Kun-lun-pai. Thay Si sute,
temani aku untuk bermain-main dengan dua orang tosu ini sebentar.” Thay Si Lama, si muka
bopeng, sambil tersenyum melangkah maju mendampingi suhengnya, yaitu They Ku
Lama, sambil melintangkan cambuknya di depan dada. Thay Ku Lama sendiri sudah
sejak tadi mempersiapkan golok yang dipegang terbalik dan bersembunyi di balik
lengannya.
“Ha-ha-ha.”
Orang ke dua dari Tibet Ngo-houw yang mukanya bopeng ini tertawa.
“Ini
baru pertandingan yang menarik, suheng, tidak main keroyok seperti tadi.”
Thian
Khi Tosu menghadapi Thay Si Lama dan Thay Si Lama yang melihat wakil ketua
Kun-lun-pai ini tidak bersenjata, segera meletakkan cambuknya di atas kepala
dan berseru, “Tosu, keluarkan senjatamu!”
Akan
tetapi sebelum kedua pihak bergerak menyerang, Pek In Tosu yang tadi masih
duduk bersila bersama dua orang kawannya, kini sudah bangkit berdiri dan
sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang dan berdiri di antara dua
orang tosu dan dua orang Lama itu. Dangan sikap tenang dan wajah ramah dia
menghadapi dua orang tosu Kun-lun-pai dan suaranya terdengar lembut. “Toyu, pinto harap toyu
dapat menjaga nama baik Kun-lun-pai. Kami pernah mendengar bahwa Kun-lun-pai
adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tidak mencampuri urusan orang lain.
Kalau sekali ini Kun-lun-pai mencampuri urusan para Lama dari Tibet, berarti
Kun-lun-pai membahayakan nama baiknya sendiri. Ketahuilah bahwa para pendeta
Lama dari Tibet ini datang ke Kun-lun-pai sama sekali bukan untuk memusuhi
Kun-lun-pai, melainkan untuk mencari kami yang dulu disebut Himalaya Sam Lojin.
Karena kami dari Himalaya pindah ke Kun-lun-san ini untuk mencari tempat sunyi
dan damai, maka mereka mengejar ke sini dan sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dangan pihak Kun-lun-pai. Kalau sekarang Kun-lun-pai mencampuri,
bukankah itu berarti Kun-lun-pai terlalu iseng dan membahayakan nama baiknya
sendiri? Karena itu, kami bertiga minta agar Kun-lun-pai suka mundur dan
menutup semua pintu, tidak membiarkan anak muridnya mencampuri urusan orang
luar.”
Mendengar
ucapan kakek berpakaian putih dan berambut putih ini, dua orang ketua
Kun-lun-pai saling pandang. Ucapan itu memang tepat dan benar. Dua orang murid
tingkat tiga mereka memang bentrok dangan dua orang dari Lima Harimau Tibet,
akan tetapi hal itu terjadi karena murid-murid itu mencampuri urusan para
pendeta Lama. Kalau kini pertandingan dilanjutkan dan mereka sampai kalah,
suatu hal yang amat boleh jadi mengingat saktinya lima orang pendeta Lama itu,
nama besar Kun-lun-pai akan jatuh! Sebaliknya andaikata mereka menang, berarti
mereka menanam bibit permusuhan dangan para pendeta Lama di Tibet dan hal itu
sungguh amat berbahaya sekali! Para pendeta Lama di bawah Dalai Lama bukan
hanya merupakan sekelompok pemimpin agama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi,
bahkan juga menjadi pucuk pimpinan negara itu sendiri! Bermusuhan dangan para
pendeta Lama sama dengan bermusuhan dangan seluruh rakyat Tibet! Jelaslah
bahwa ucapan Pek In Tosu tadi menyadarkan mereka akan dua kemungkinan yang
sama-sama amat merugikan Kun-lun-pai itu. Menang atau kalah, akibatnya amat
buruk bagi Kun-lun-pai dan sungguh tidak sepadan dangan sebabnya, yang pada
hakekatnya juga salah murid mereka sendiri.
“Siancai....!”
kata Thian Hwa Tosu sambil menjura.
“Sungguh
ucapan yang amat bijaksana, dan kami akan menjadi orang-orang yang tidak
mengenal budi kalau tidak mentaatinya. Terima kasih atas nasihat itu,
locianpwe. Dan kepada para Lama, kami mohon maaf dan sejak saat ini,
Kun-lun-pai tidak lagi mancampuri urusan kalian. Sute, ajak semua murid untuk
kembali ke asrama!” Ucapan terakhir ini merupakan perintah dan biarpun mukanya
merah karena penasaran dan marah, Thian Khi Tosu tidak berani membantah
perintah suhengnya. Diapun mengajak semua murid untuk pergi mengikuti ketua
mereka, membawa mereka yang terluka, pulang ke benteng Kun-lun-pai dan
selanjutnya pintu banteng atau asrama itu ditutup rapat-rapat!
Setelah
semua orang Kun-lun-pai pergi, Thay Ku Lama yang memimpin Tibet Ngo-houw itu
tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa! Himalaya Sam-lojin malah membantu kami
sehingga pekerjaan kami menjadi lebih ringan menyingkirkan penghalang berupa
Kun-lun-pai! Bagus sekali! Kamipun bukan orang-orang yang tidak ingat budi.
Karena kalian telah memperlihatkan sikap baik, Sam-lojin, dengan menyadarkan Kun-lun-pai
sehingga mereka tidak menentang kami, maka kamipun menawarkan jalan damai
untuk kalian. Marilah kalian ikut dangan kami, sebagai tamu undangan agar kami
hadapkan kepada yang mulia Dalai Lama di Tibet. Kami tidak akan menganggap
kalian sebagai tawanan, melainkan tamu undangan. Bagaimana?”
Kini
tiga orang kakek itu sudah bangkit berdiri semua dan Pek In Tosu juga tersenyum
ramah ketika menjawab, “Siancai....! Terima kasih atas niat baik itu. Akan
tetapi sungguh sayang dan maafkan kami, Ngo-wi Lama, bahwa terpakna sekali kami
tidak dapat menerima undangan terhormat itu.”
Wajah
They Ku Lama yang tadinya tersenyum, seketika berubah keruh dan alisnya
berkerut, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak menggelikan. Akan tetapi
siapa yang telah mengenalnya baik-baik, maklum betapa hebatnya perut gendut
itu! Yang membuat perut gendut itu bergerak-gerak seolah-olah di dalamnya ada
bayi dalam kandungan itu, sebetulnya adalah ilmu pukulan Hek-bin Tai-hong-ciang
itu, yang dilakukan sambil berjongkok dan perutnya mengeluarkan bunyi kok-kok
seperti seekor katak besar!
“Hem,
apakah yang memaksa kalian monolak undangan kami yang kami lakukan dengan
merendahkan diri?” tanyanya dongan suara membentak.
Pek
In Tosu masih bersikap halus dan ramah, “Pertama, kami adalah tiga orang yang
sudah tua dan lemah, dan setua ini kami hanya ingin menikmati kehidupan yang
tenang sehingga undangan terhormat itu tidak dapat kami terima karena kami
tidak sanggup melakukan perjalanan sejauh itu ke Tibet. Ke dua, kami merasa tidak
mempunyai urusan apapun dangan Dalai Lama, sehingga andaikata beliau mempunyai
kepentingan dengan kami, sepatutnya Dalai Lama yang datang ke sini menemui
kami, bukan kami yang diundang ke sana karena bagaimanapun juga, kami bukanlah
anggautanya maupun rakyatnya. Nah, itulah sebabnya mengapa kami tidak dapat
menerima undengan itu.”
“Mau
atau tidak, menerima atau menolak, kalian bertiga tetap harus ikut bersama kami
ke Tibet!” bentak Thay Bo Lama, seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus
kering dan wataknya memang keras.
“Kalau
perlu, kami menggunakan kekerasan!” Pek In Tosu mengangguk-angguk sambil tersenyum
dan mengelus jenggotnya.
“Siancai....
sudah kuduga demikian. Katakan saja bahwa kalian datang ini untuk membunuh
kami, tidak perlu memakai banyak macam alasan.”
“Benar!
Kami memang hendak membunuh kalian!” bentak Thay Ku Lama yang sudah menerjang
dengan goloknya, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya yang mempergunakan
senjata masing-masing. Himalaya
Sam Lojin tentu saja cepat mengelak dan terjadilah perkelahian mati-matian.
Akan tetapi, tiga orang kakek itu sama sekali tidak bersenjata. Biarpun
mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan memiliki ilmu
kepandaian tinggi, pandai mempergunakan segala macam senjata namun sudah sejak
belasan tahun mereka tidak pernah menyentuh senjata, apalagi membawa-bawa
senjata. Memikirkan tentang perkelahian sajapun tidak pernah. Selain itu, juga
bagi seorang yang sudah ahli benar dalam ilmu silat, menggunakan senjata
ataukah tidak sama saja karena kaki tangan mereka sudah merupakan senjata yang
paling ampuh. Tiga orang kakek Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian
yang amat tinggi, baik ilmu silatnya, maupun tenaga sakti mereka yang sudah
matang.
Selain
itu, juga mereka memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi sagala macam
kekuatan sihir atau ilmu hitam. Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tidak
pernah berkelahi, tidak pernah mempergunakan ilmu-ilmunya untuk bertentangan
apa lagi saling serang dengan orang lain. Bahkan selama ini mereka hanya tekun
memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan
mereka untuk kembali kepada “sumbernya”, bagaikan titik-titik air yang ingin
kembali ke lautan. Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti,
mereka itu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau
melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk merobohkan
lawan walaupun andaikata ada nafsu itupun tidak akan mudah bagi mereka untuk
merobohkan Tibet Ngo-houw.
Di
lain pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itupun merupakan orang-orang
yang sudah matang ilmu kepandaian mereka. Bukan hanya keahlian ilmu silat
tingkat tinggi mereka miliki, akan tetapi juga tenaga sin-kang mereka amat
kuat dan disamping itu, merekapun pandai ilmu sihir. Thay Ku Lama memiliki
pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat dasar
perutnya yang gendut dan pukulannya ini amat berbahaya, selain kuat mampu
merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa beracun yang ganas. Adapun
orang ke dua, Thay Si Lama, disamping permainan cambuknya yang dahsyat, juga
memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir.
Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki
gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, membuat dia dapat bergerak
seperti terbang saja. Thay Hok Lama, orang ke empat yang bermata tunggal itu,
selain berbahaya sekali permainan senjata rantai bajanya, juga merupakan
seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang ke lima, Thay Bo Lama,
biarpun kurus kering, namun tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan
senjata tombaknya. Dan yang lebih daripada semua itu, ke lima orang Lama ini
berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat
mereka berbahaya sekali.
Sebetulnya
kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian masing-massing hampir seimbang,
namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. Andaikata mereka itu
bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorangpun dari para Lama itu
mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu. Akan tetapi, mereka bertanding
berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam Lojin dikeroyok, dan
seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu kalah jauh dalam hal
gairah dan semangat untuk merobohkan lawan. Oleh karena itu, setelah melalui
pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek Himalaya itu mulai nampak
terdesak. Di antara mereka bertiga, nampaknya hanyalah Pek Bin Tosu yang
bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat, membalas setiap serangan lawan
dengan serangan pula. Memang, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin ini
terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan terbuka, tidak seperti dua orang
kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan halus.
Hanya
Sie Liong seorang yang menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Anak
berusia tiga belas tahun ini sejak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan
bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternganga. Matanya yang
tidak terlatih itu sukar untuk dapat mengikuti gerakan delapan orang kakek yang
sakti itu. Seolah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh
delapan bayangan, tiga bayangan putih dan lima bayangan merah. Bahkan
kadang-kadang gerakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya
hanyalah warna putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang
sedang mereka lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, diapun tidak tahu siapa
yang unggul dan siapa pula yang terdesak. Akan tetapi satu hal dia merasa pasti
bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik.
Sedangkan lawan mereka, lima orang berpakaian merah adalah orang-orang yang
jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian
putih walaupun dia tidak tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka.
Saking
tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau tiga orang
kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan
dtrinya sendiri. Biarpun tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha
untuk mengobatinya, namun dadanya yang sebelah kiri masih terasa nyeri dan
napasnya kadang-kadang sesak. Pukulan yang mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya
angin pukulannya saja, amatlah hebat dan menurut percakapan antara tiga orang
kakek berpakaian putih itu dia mengerti bahwa dia telah terkena hawa pukulan
beracun yang amat ampuh dari seorang di antara lima orang pendeta Lama itu.
Pertempuran
itu kini sudah mencapai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela
diri, yang lima orang berkeras hendak merobohkan mereka. Kalau tadi Sie Liong
dibuat pusing oleh bayangan putih dan merah yang barkelebatan, kini dia
terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia
terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri karena ada
angin pukulan menyambar-nyambar dangan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada
juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong
terkena sambaran angin dahsyat ini dan diapun terjungkal dan terguling-guling!
Tubuhnya
berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk
memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia malihat bahwa dia
berhenti terguling-guling karena tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang
tongkat butut! Dia membelalakkan matanya agar dapat memandang lebih jelas lagi.
Memang sepasang kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang,
jari-jari kakinya jelek, kotor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam.
Makin ke atas, semakin jelek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang
membungkus tulang dan sampai ke betis mulai tertutup celana yang terbuat dari
kain kasar dan penuh tambalan pula. Ketika Sie Liong menengadah, dia melihat
bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang kakek berpakaian jembel yang
wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang tidak bergigi lagi,
rambutnya riap-riapan berwarna putih, sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh
sekali. Sie Liong terkejut dan berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi
dia terguling lagi dan roboh. Maka diapun lalu duduk saja bersila, tidak
memperduilkan lagi apakah dia akan terancam ataukah tidak.
“Heh-heh-heh....!”
Kakek itu terkekeh geli dan tongkat bututnya bargerak ke sekeliling tubuh Sie
Liong, membuat guratan di atas tanah mengelilingi Sie Liong dan nampaklah garis
yang cukup dalam, lingkaran dangan garis tengah dua meter lebih.
“Engkau
tinggallah saja di dalam ruangan ini dan siapapun tidak akan mampu
mengganggumu, anak bongkok!” Sie
Liong mendongkol.
Agaknya
dia bertemu dengan seorang jembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu
pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan diapun tidak menjawab,
hanya membuka mata mononton pertempuran yang masih berjalan terus. Agaknya
kakek jembel itupun kini tidak memperdulikan dia, melainkan ikut pula menonton
sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri pula di
dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu
terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba Sie Liong merasa kepalanya,
leher dan mukanya kejatuhan air.
Wah,
hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah, akan tetapi sungguh sial, pada
saat itu, entah mengapa, si kakek jembel tertawa semakin keras. Sie Liong basah
semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak
bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludahpun memercik keluar
dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu! Sie Liong makin mendongkol.
Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan biarpun
kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek
gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat.
“Tokk!”
Dan diapun jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak
mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu
yang amat berat dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba
bangun, namun setiap kali kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar dia marah
dan mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apalagi karena
pertempuran itu kini mulai mendekati tempat dia duduk di atas tanah dalam
lingkaran garis itu.
Memang
terjadi perubahan dalam pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam
Lojin kewalahan juga menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang
mempergunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan
mereka. Mereka bertiga terdesak dan sambil mengelak ke sana-sini kadang-kadang
menangkis dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang
kebal, mereka terus mundur. Tiba-tiba terdangar bentakan-bentakan nyaring
keluar dari mulut para pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang
kakek berpakaian putih terhuyung dan ada tanda merah di pakaian mereka yang
putih. Darah! Tiga orang kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih
terua melawan. Kini pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan tiba-tiba,
seorang di antara kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah
dalam lingkaran.
Tiba-tiba
tongkat butut kakek jembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang
“melanggar” lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itupun tordorong
keluar! Ketika
para anggauta Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus,
tiga orang kakek berpakaian putih itu berlompatan dan agaknya mereka tidak
berani menginjak lingkaran! Tidak demikian dengan para pendata Lama. Ada dua orang
yang tanpa sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok
Lama. Begitu melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksana itu
memasuki lingkaran, kakek jembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti
tadi mendorong dan tubuh pendeta Lama itupun terdorong keluar. Pada saat itu,
Thay Hok Lama juga masuk ke dalam lingkaran, kembali dia tordorong keluar oleh
tongkat butut.
Keduanya
menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia
mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah
Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, tombak itu menusuk ke
arah leher Sie Liong. Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.
“Trakkk!”
Tombak itu terpental ketika bertemu dengan tongkat butut. Thay Bo Lama
terbelalak, tidak mengira sama sekali bahwa ada seorang kakek jembel yang mampu
membuat tombaknya terpental dengan tangkisan tongkat butut. Padahal, dia
memiliki tenaga gajah yang sukar dilawan. Pada saat itu, Thay Hok Lama yang
juga marah, mengayun rantai bajanya ke arah kakek jembel. Kakek jembel itu
terkekeh keras dan kembali kepala Sie Liong kehujanan dan begitu kakek jembel
itu menggerakkan tangan kiri, ujung rantai baja itu sudah ditangkap dan
ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa ada tenaga dahsyat membetotnya
sehingga tertarik mendekat dan tongkat butut itu menyambar ke arah kepalanya.
“Tokkk!”
Kepala Thay Hok Lama yang gundul kena dikemplang dan seketika muncul telur ayam
di kepala yang gundul itu! Thay Hok Lama meraba kepalanya yang dikemplang itu
dengan tangan kiri dan diapun terbelalak keheranan. Kepalanya sudah kebal,
bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka. Kenapa kini dikemplang sebatang
tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan menjendol sebesar telur ayam?
Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya yang amat nyeri karena dia
merasa dihina. Thay Bo Lama yang melihat rekannya dikemplang, menjadi marah dan
biarpun tadi dia terkejut oleh tangkisan tongkat butut, kini dia menyerang lagi
dengan tusukan tombaknya ke arah perut kakek jembel.
“Waduh,
jebol perut ini....” teriak kakek jembel dan tombak itu benar-benar mengenai
perutnya dan tembus! Akan tetapi, tidak ada darah keluar, tidak ada usus
keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama kena dikemplang tongkat butut.
“Takkk!”
Dan seperti juga kepala Thay Hok Lama, kini kepala Thay Bo Lama yang gundul
muncul pula sebuah telur ayam! Ketika Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan
batinnya memandang, ternyata tombaknya sama sekali tidak menembus perut kakek
jembel itu, melainkan menembus baju jembel yang kedodoran dan tadi hanya
merupakan suatu permainan sihir saja. Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir
sampai dapat dipermainkan seperti itu?
Sementara
itu, tiga orang pendeta Lama yang kini menghadapi tiga orgng kakek Himalaya,
tentu saja merasa berat kalau melawan seorang dengan seorang. Dua orang
rekannya meninggalkan mereka dan sibuk mengurusi kakek jembel!
“Si-sute
dan Ngo-sute (adik seperguruan ke empat dan ke lime), hayo bantu kami!” teriak
Thay Ku Lama. Dua orang itu, Thay Hok Lama dan Thay Bo La mengelus-elus kepala
mereka yang benjol, akan tetapi mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan
seorang jembel yang amat sakti, maka merekapun kini hendak membantu rekan-rekan
mereka yang agaknya kewalahan juga menghadapi Himalaya Sam Lojin.
Akan
tetapi pada saat itu, terdengar
seruan yang halus.
“Siancai....!
Tidak malukah kalian ini lima orang pendeta yang mestinya menjahui kekerasan,
kini malah mempergunakan kekeranan untuk menyerang orang lain?”
Lima
orang pendeta Lama itu terkejut karena suara yang halus itu mengandung wibawa
yang amat besar, bahkan mengandung getaran tenaga khi-kang yang terasa
menggetarkan jantung, maka merekapun berloncatan mundur untuk mamandang siapa
yang muncul itu. Kiranya seorang kakek tua renta, usianya tentu sudah tujuh
piluh lima tahun, rambutnya putih semua riap-riapan, kumis dan jenggotnya juga
putih, tubuhnya tinggi kurus dan tegak, wajahnya segar, pakaiannya berwarna
kuning yang hanya dilibatkan dan dililitkan pada tubuhuya, tangan kanannya memegang
sebatang tongkat butut.
“Supek....!”
Himalaya Sam Lojin cepat memberi hormat kepada kakek itu.
“Heh-heh-heh,
kalau suheng yang muncul, semua akan menjadi beres penuh damai, heh-heh-heh!”
Kakek jembel barseru sambil terkekeh dan kembali Sie Liong kehujanan! Himalaya
San Lojin memberi hormat kepada kakek jembel itu.
“Terima
kasih atas bantuan susiok!”
“Heh-heh,
siapa yang bantu siapa? Aku hanya membuat ruangan untuk anak bongkok ini,
ternyata ada Lama jubah merah berani melanggar, tentu saja kukemplang
kepalanya, heh-heh!” Lima
Harimau Tibet terkejut bukan main. Mereka belum mengenal Pek-sim Sian-su, kakek
berpakaian kuning itu, dan juga tidak mengenal Koay Tojin, kakek jembel yang
aneh itu, akan tetapi mendengar bahwa dua orang itu adalah supek (uwa
perguruan) dan susiok (paman perguruan) dari Himalaya Sam Lojin, tentu saja
mereka merasa gentar. Baru Himalaya Sam Lojin saja sudah merupakan lawan yang
sukar dirobohkan, apalagi muncul paman guru dan uwa gurunya! Apa lagi Thay Hok
Lama dan Thay Bo Lama yang masih merasa bekas ketukan tongkat pada kepala
mereka yang menjadi benjol. Masih terasa berdanyutan kepala itu!
“Kalian
ini para tosu sombong selalu menentang kami!” bentak Thay Ku Lama dengan
marah, akan tetapi juga gentar untuk turun tangan.
“Siancai....!”
Pek-in Tosu yang terluka pundaknya, berdarah sedikit, berkata sambil menarik
napas panjang.
“Thay
Ku Lama, bukankah omonganmu itu sengaja kauputar-balikkan? Sejak kapan kami
memusuhi kalian? Siapakah yang menyerang, membunuhi para pertapa yang tidak
bersalah apapun di Himalaya? Kami sudah mengalah, mengungsi ke Kun-lun-san.
Siapa pula yang mengundang kalian datang untuk menangkapi bahkan mengancam
untuk membunuh kami dan para pertapa di sini pula?”
“Kami
hanya menerima perintah dari Yang Mulia Dalai Lama!” bentak Thay Ku Lama.
“Kami harus menangkap Himalaya Sam Lojin untuk mempertanggung-jawabkan
pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan mendiang guru kalian!”
“Siancai....!”
Pek-sim Sian-su berkata, suaranya halus namun kembali lima orang Lama itu
bergidik kareng isi dada mereka tergetar hebat. Mereka terpaksa mencurahkan
perhatian dan mengerahkan tenaga untuk melindungi diri sambil memandang kepada
kakek tinggi kurus itu.
“Sungguh
aneh sekali! Mendiang sute menentang para Lama yang hendak memaksa seorang
anak dusun dan hendak diculik. Dalam pertempuran itu, tiga orang Lama tewas.
Apa anehnya dalam hal itu? Kalau sute kalah, tentu dia yang tewas! Dan anak
yang dilindungi mendiang sute itu adalah Dalai Lama yang sekarang! Bagaimana
mungkin dia yang menyuruh kalian untuk menangkapi atau membunuh murid-murid
sute? Sungguh janggal!”
Mendengar
ini, lima orang Lama itu saliag pandang. Kemudian Thay Ku Lama berseru, “Kami
adalah utusan Dalai Lama akan tetapi telah gagal. Biarlah kami akan melapor
kepada beliau dan kalian tunggu saja pembalasan dari kami!”
Setelah
berkata demikian, Thay Ku Lama berkelebat pergi dikuti oleh empat orang adik
seperguruannya. “Heh-heh-heh,
suheng, kenapa sampai sekarang engkau masih menjadi seorang yang lemah?
Anjing-anjing itu gila dan membahayakan, bagaimana kalau aku mewakili suheng
mengejar dan membasmi mereka?” kata Koay Tojin.
Kakek
ini adalah sute (adik seperguruan) dari Pek-sim Sian-su, akan tetapi kalau Pek
Sim Sian-su hidup sebagai seorang yang memperdalam kemajuan jiwanya, hidup
sebagai seorang yang membersihkan diri lahir batin bahkan mengasingkan diri
dari keramaian duniawi, sebaliknya Koay Tojin suka berkeliaran dan memang ada
kelainan pada dirinya. Dia dikenal sebagai seorang yang sinting! Pada hal dalam
ilmu kepandaian silat maupun kekuatan sihir, dia tidak kalah dibandingkan
suhengnya itu.
Mungkin
justeru karena dia terlampau banyak mempelajari ilmu sihir dan gaib, terlalu
dalam menjenguk ke dalam rahasia kegaiban, dan batinnya tidak kuat, maka dia
menjadi sinting seperti itu. Hidupnya berkeliaran seperti jembel dan kadang-kadang
melakukan hal aneh-aneh yang tidak lumrah. Dia tidak mempunyai tempat tinggal
yang tetap, berkeliaran sampai jauh ke empat penjuru dan muncul secara
tiba-tiba saja tanpa berita lebih dulu. Akan tetapi diapun tidak pernah
menonjolkan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya sebagai seorang sakti,
lebih dikenal sebagai seorang sinting.
“Sute,
engkaupun sampai sekarang masih belum menanggalkan sikapmu yang ugal-ugalan.
Siapakah dirimu ini maka engkau mempunyai niat untuk membunuh orang? Apakah
engkau tidak melihat bahwa tidak ada perbedaan antara engkau dan mereka?”
“Heh-heh-heh,
heei, anak bongkok. Engkau dengar itu? Bukankah pendirian suheng itu aneh
sekali? Tadi dia sendiri datang, dan kalau lima ekor monyet gundul itu tidak
pergi, aku yakin dia akan turun tangan melindungi tiga orang murid keponakan
yang baik ini dan akan mengalahkan mereka berlima. Akan tetapi sekarang, coba
dangar, dia berceramah menguliahi aku agar aku tidak membunuh lima orang Lama
itu! Heh-heh-heh, lelucon yang tidak lucu bukan?”
Biarpun
jembel tua itu nampak ugal-ugalan, namun diam-diam Sie Liong membenarkan
pendapatnya. Maka diapun lupa diri dan sambil memandang kepada kakek berpakaian
kuning itu, dia berkata, “Memang benar, kek. Lima orang pendeta itu tadi jahat
bukan main, lebih jahat karena mereka itu berjuluk pendeta. Membasmi mereka
merupakan kewajiban, karena akan menolong manusia dari ancaman kejahatan
mereka. Andaikata aku kuat, tentu aku akan membasmi mereka!”
“Siancai....
Siapakah bocah ini?” tanya Pek-sim Sian-su kepada Himalaya Sam Lojin. Pek In
Tosu lalu menceritakan tentang Sie Liong, seorang bocah gelandangan yang
pernah menyelamatkan dirinya secara tanpa disengaja ketika dia diserang oleh
dua orang Lama, kemudian betapa bocah itu terkena pukulan beracun dari Thay Ku
Lama dan mereka bertiga sudah berusaha mengobatinya namun gagal ketika tiba-tiba
muncul Tibet Ngo-houw tadi.
“Kebetulan
supek telah datang, maka mohon supek menyembuhkan penderitaannya,” kata Pek In
Tosu kepada supeknya. Memang aneh hubungan antara mereka itu. Himalaya Sam
Lojin berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, sedangkan Pek-sim Sian-su lima
tahun lebih tua, akan tetapi dia telah menjadi uwa perguruan mereka! Hal ini
adalah karena ketika mempelajari ilmu di Himalaya, Himalaya Sam Lojin sudah
berusia tiga puluh tahun lebih dan guru mereka, yaitu seorang sute dari
Pek-sim Sian-su, berusia tiga tahun lebih tua dari mereka.
Pek-sim
Sian-su memang memiliki banyak macam kepandaian, di antaranya ilmu pengobatan.
Mendengar bahwa anak bongkok itu telah menyelamatkan nyawa Pek Im Tosu, dan
menderita luka pukulan beracun, diapun lalu mendekati Sie Liong dan memeriksa
punggung dan dadanya.