episode 5
Pada
suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di atas Tembok
Besar! Tembok Besar itu merupakan bangunan raksasa yang amat hebat, naik
turun bukit dan jurang, memanjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut
Ban-li Tiang-sia (Tembok Panjang Selaksa Li). Di beberapa bagian dari Tembok
Besar ini memang dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan,
namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang
berjalan perlahan di atas Tembok Besar itupun berjalan seorang diri dalam
kesunyian. Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara
bukit-bukit dan jurang-jurang yang penuh hutan lebat itu. “Tembok Besar memanjang ribuan li bekas tangan manusia masih hidup atau sudah mati Tembok Besar lambang
kekerasan untuk
mempertahankan kekuasaan berapa
puluh laksa manusia mati untuk
menciptakan bangunan ini?”
Nyanyian
yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin bertiup kencang dan
menimbulkan suara ketika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut,
kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-kibar seperti bendera.
Orang itu sudah tua sekali, jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang dibiarkan
riap-riapan, sudah putih semua. Namun wajahnya masih nampak merah dan halus
seperti wajah orang muda, tubuhnya yang tinggi kurus itu tegak lurus dan
jalannya santai dengan langkah berlenggang seperti langkah seekor harimau.
Usianya tentu sedikitnya tujuh puluh tahun. Pakaiannya hanya dari kain kuning
panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki sampai ke pundak, bagian
pinggang diikat dengan tali kulit kayu, kakinya mengenakan sandal kulit kayu
pula.
Sambil
berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, dia memandang ke kanan kiri. Seluruh
yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang matanya yang
penuh kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat
kayu sepanjang satu meter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk
membantu die berjalan, melainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng
saja. Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang
dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia beramah
tamah dengan alam disekelilingnya.
Matanya
bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu di
sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya dan
biarpun hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena
pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat.
Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan
liar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam
sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah,
tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langitpun akan sukar saking
lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi ini, dia
seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekeliling dengan
jelas. Beberapa ekor burung beterbangan dan seekor burung rajawali baru saja
meninggalkan cabang sebatang pohon.
Gerakannya
ketika meloncat dan terbang membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa
helai daun kering melayang-layang turun karena putus dari tangkainya. Sepasang
mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil
menari-nari di udara itu, dan diapun tersenyum penuh bahagia.
Betapa
bahagianya orang yang masih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan
oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati
sekeliling kita tanpa penilaian, maka kitapun akan dapat melihat segala
keindahan itu! Dalam gerak- gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting
pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya,
kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya.
Betapa indah mentakjubkan kesemuanya itu! Sayang, batin kita sudah terlampau
sarat oleh segala macam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan,
kesusahan, ketakutan, kekhawatiran, kebencian, permusuhan, iri hati, cemburu
yang mendatangkan kesengsaraan dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana
mungkin dapat melihat keindahan itu? Segala hanya akan nampak buruk dan
membosankan!
Tiba-tiba
kakek itu mengangkat muka ke atas, agaknya dia baru teringat akan urusannya.
“Aih, masih amat jauh perjalanan, dan aku tidak boleh berlambat-lambatan
begini.”
Setelah
berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang
nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan
itu meluncur ke barat dan lenyap! Kakek
itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan
guha pertapaannya di He-lan-san, yaitu di daerah Mongolia Dalam sebelah
selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia
datang dari Pegunungan Himalaya di barat. Para penduduk perkampungan di sekitar
Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai seorang kakek pertapa yang baik
hati, yang suka menolong orang dengan pengobatan, dan karena kakek itu
dikabarkan amat sakti, maka semua orang menghormatinya dan dia disebut sebagai
Pek-sim Sian-su. Sebutan pek-sim ini mungkin dimaksudkan untuk memujinya
sebagai seorang yang berhati putih, seorang yang amat budiman. Dan kakek itu
agaknya menerima pula begitu saja sebutan Pek-sim Sian-su (Guru Suci Berhati
Putih).
Terjadi
keanehan pada diri kakek itu. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, dia
tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan sampai setengah
malam dia bersamadhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapapun, dia pergi
begitu saja meninggalkan guha pertapaannya dan melakukan perjalanan ke barat!
Yang dituju adalah perbatasan Sin-kiang dan Tibet! Malam itu, dalam tidurnya
dia seperti mendapat ilham yang mendorong dia harus melakukan perjalanan
secepatnya menuju ke tempat itu. Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin
Sian-su, peristiwa mendapat ilham atau isarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi.
Seorang manusia yang hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori
makanan-makanan enak yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang
bergelimang nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan,
gagasan, tidak dikotori oleh segala macam nafsu maka dia memiliki badan dan
batin yang amat peka!
Kekuatan
alam ini adalah kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan
alam telah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan dan batin manusia.
Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu
menerima isarat-isarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan
panglihatan, dalam sadar maupun dalam tidur. Dan Pek-sim Sian-su sudah mencapai
tingkat seperti itu, maka tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia
kelihataan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke barat.
Mari
kita tengok apa yang sedang terjadi di perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah
selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tak jauh dari dusun Sung-jan, agak ke
selatan, nampak Pegunungan Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang
berbaris-baris, melintang dari barat ke timur menjadi perbatasan antara
Sin-kiang dan Tibet. Biarpun tidak sebesar dan seluas atau setinggi Pegunungan
Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san inipun sudah tetkenal sekali dengan
puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam,
dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang berani
memasukinya. Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta
dan orang-orang menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu
tinggi. Bahkan satu di antata orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau
Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.
Kurang
lebih tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di
Tibet dengan beberapa orang pertapa di Himalaya. Yang menjadi sebab hanyalah
perselisihan paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan
hebat! Betapa banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama diadakan sebagai
tuntunan terhadap manusia agar dapat hidup tenteram dan damai menjauhi segala
bentuk permusuhan, kebencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari,
diantara mereka malah bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham
dan gagasan!
Bentrokan
antara para pendeta Lama di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin
meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan di antara mereka banyak
pula yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini
menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam
permusuhan ataukah tidak! Banyak di antara para pertapa yang benar-benar sudah
menjauhkan diri dari pada permusuhan, maka mereka itu mengalah dan diam-diam
menyingkir dari Himalaya dan sebagian dari mereka “mengungsi” ke Kun-lun-san,
mencari tempat pertapaan di tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan
pengejaran para pendeta Lama di Tibet. Demikianlah, pada waktu ini, banyak
terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pelarian dari Himalaya. Dan
Pek-sim Sian-su juga merupakan seorang pertapa di Himalaya yang kemudian
melanjutkan pengungsiannya ke timur, jauh di timur sampai dia menetap di
Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.
Dan
kini terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima orang pendeta
Lama jubah merah yang mengamuk den menyerangi para pertapa di Kun-lun-san!
Agaknya mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih menaruh dendam
terhadap para pertapa asal Himalaya, dan mendengar betapa para pertapa itu
banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah
merah itu lalu mengamuk ke sana! Dan menurut kabar, lima orang pendeta Lama
itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, mereka itu sakti sekali dan sudah
banyak pertapa yang tidak berdosa menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!
Keributan
yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-san.
Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar
oleh keributan itu dan biarpun Kun-lun-pai tidak tersangkut, namun tentu saja
para tokohnya merasa tidak enak. Kun-lun-pai sudah diakui sebagai sebuah
partai persilatan yang besar, yang mengakui Pegunungan Kun-lun-san sebagai
markas atau sumber mereka. Kalau kini ada orang-orang asing mengacau di
Kun-lun-san, membunuhi para pertapa yang tidak berdosa, berarti mereka itu
memandang rendah kepada Kun-lun-pai dan tidak menghargai Kun-lun-pai, berani
melanggar wilayahnya bahkan mendatangkan kekacauan.
Sementara
itu, serbuan lima orang pendeta Lama jubah merah dari Tibet itu mendatangkan
perpecahan di antara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau
pendeta yang menganut Agama Buddha banyak yang berpihak kepada para pendeta
Lama, sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang.
Perpecahan ini menimbulkan pertentangan dan perkelahian di antara mereka
sendiri dan karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang amat
lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan
pertempuran yang amat hebat dan yang mengguncangkan Pegunungan Kun-lun-san dan
menggetarkan tembok perkumpulan Kun-lun-pai.
Ketua
Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hoat Tosu, seorang penganut Agama To
yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sutenya yang berjuluk
Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi dan di
asrama Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai
yang terbagi dalam empat tingkat. Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada
belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk
memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya.
Thian
Hoat Tosu dan Thian Khi Tosu merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di
Kun-lun-san, dan pada pagi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan
dalam tanpa dihadiri seorangpun murid karena mereka ingin bicara empat mata
saja.
“Suheng,
keadaan ini tidak mungkin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama
Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai
tuan rumah yang tidak berani berkutik walaupun dihina oleh tamu-tamu kurang
ajar!” kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah.
“Siancai-siancai-siancai....!”
Thian Hoat Tosu berseru lembut sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
“Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau maksudkan
gerakan yang dilakukan oleh para Lama jubah merah itu, bukan?”
“Benar
sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari
Tibet, dan lima orang pendeta Lama jubah merah itu sungguh sombong sekali.
Mereka menyerang dan membunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka
yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat memembiarkan saja mereka
merajalela di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?”
“Aih,
sute, apa yang dapat kita lakukan? Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu
hanya merupakan kelanjutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu
di Himalaya. Para pendeta Lama itu agaknya mewakili para Dalai Lama di Tibet
untuk menghukum mereka yang datang dari Himalaya. Selama mereka itu tidak
mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan? Mereka itu bermusuhan, dan
kita tidak terlibat apapun, bagaimana kita dapat mencampuri? Bisa menimbulkan
salah paham lebih besar, sute.”
“Tidak,
suheng, pinto tidak setuju dengan pendapat itu! Kita selalu mencoba untuk
menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar mereka itu
menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau
sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang
tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu memberi contoh buruk
sekali kepada para murid?”
“Ingat,
sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang
lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama
dan para pertapa itupun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi antara
mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri?
Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan. Jangan engkau membawa Kun-lun-pai ke
dalam permusuhan antara mereka. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.”
“Dan
membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas itu? Ah, pinto
akan bersamadhi dan mohon kekuatan batin bagi kita semua, suheng,” berkata
demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu
meninggalkan suhengnya untuk bersamadhi di dalam kamarnya sendiri.
Sementara
itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pemuda sedang
berjalan sambil memanggul belanjaan di punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun
den Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda
berusia kurang lebih dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid
Kun-lun-pai. Mereka itu bertubuh tegap dan bersikap gagah, dan biarpun sudah
lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru memiliki tingkat tiga. Hal ini
membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk
mencapai tingkat pertama. Sebagai murid tingkat tiga, mereka sudah
diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka, walaupun pedang itu
hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk dipergunakan membela
diri saja, bukan untuk menyerang orang lain.
Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat kalau mereka melanggar
peraturan perguruan. Ciang
Sun dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap.
Mereka baru saja pulang dari sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk
membeli rempa-rempa dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah
habis.
Tiba-tiba
keduanya berhenti melangkah dan memandang ke arah kiri dari mana mereka
mendengar suara orang membentak-bentak. “Engkau harus menjadi tawanan kami,
menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami,
atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan kubunuh di sini!” demikian
suara yang membentak itu.
“Siancai....!
Puluhan tahun yang lalu, ketika pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya,
kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak
berdosa. Pinto tidak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari
ini, dalam usia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan
dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa,” terdengar suara yang halus
menjawab.
Ciang
Sun dan Kok Han sudah menurunkan bawaan mereka dan dengan hati-hati menyelinap
di antara pohon-pohon mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya
dua orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila
di atas tanah, pakaiannya robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan
sikap mengancam di depannya. Dua orang Lama itu berusia sekitar limapuluh
tahun, bertubuh tinggi besar, kepala mereka gundul dan pakaian mereka serba
kuning dengan jubah luar berwarna merah darah. Adapun tosu itu berpakaian
putih, kotor dan robek di beberapa bagian, rambutnya sudah putih semua,
panjang dan digelung ke atas. Usia tosu itu tentu sudah tujuh puluh tahun.
“Tidak
berdosa? Omitohud.... mana ada orang mengakui kesalahannya? Kalian ini para
pertapa, sejak puluhan tahun yang lalu, di Himalaya telah mempunyai rencana
jahat, berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai Lama dan
merampas kekuasaan. Kalau orang-orang macam kalian ini tidak dibasmi, kelak
hanya akan mendatangkan keributan saja!” bentak Lama yang ada codet bekas luka
di dahinya.
“Sudahlah,
untuk apa bicara panjang lebar dengan dia? Heh, tosu keparat, bukankah engkau
seorang di antara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga
Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?” teriak Lama ke dua
yang mukanya bopeng.
“Siancai....,
memang pinto disebut Pek In Tosu, dan kami tiga orang kakek dari Himalaya sudah
bersumpah tidak akan membiarkan kebencian menguasai hati, apalagi
memberontak.”
“Aahh,
tidak perlu banyak cakap lagi!” kata pula si codet. “Kalau hendak membela
diri, nanti saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!”
“Siancai....!
Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat
jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian ke sana.” “Apa? Kalau begitu, kami
akan membunuhmu di sini juga!” teriak si muka bopeng.
Dua
orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi
marah sekali dan kesabaran merekapun hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai
yang sejak pertama kali masuk ke asrama itu diajarkan sikap pendekar yang
menentang penindasan, tentu saja mereka marah melihat sikap dua pendeta Lama
itu. Apalagi merekapun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah mendengar
akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Lama
sebanyak lima orang. Kabarnya, mereka itu menangkapi dan membunuhi para
pertapa, terutama para tosu dan hal ini sudah menimbulkan perasaan tidak senang
dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan
mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka kehabisan
kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat ke depan dua
orang pendeta Lama dengan sikap gagah.
“Kalian
ini adalah orang-orang tua yang sudah mencukur gundul rambut dan memakai jubah
pendeta!” teriak Ciang Sun, pemuda yang bertubuh tinggi besar.
“Akan
tetapi tindakan kalian seperti penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan
kehendak kepada orang lain dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!”
“Totiang,
silakan mundur, biarlah kami berdua yang menghadapi pendeta tersesat ini!” kata
Kok Han.
Sementara
itu, dua orang pendeta Lama itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi dua
orang pemuda itu dengan alis berkerut. Si codet menyapu dua orang pemuda itu
dengan pandang matanya yang liar dan tajam seperti mata harimau, dan suaranya
terdengar parau dan penuh teguran. “Hemm, kalian ini bocah-bocah ingusan dari
mana berani mencampuri urusan orang-orang tua? Mengingat kalian masih
kanak-kanak, biarlah pinceng berdua memaafkan perbuatan kalian yang lancang
ini. Pergilah sebelum kami kehilangan kesabaran.”
“Kami
bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, akan tetapi kami juga bukan
orang yang dapat membiarkan saja terjadinya kesewenang-wenangan dan penindasan.
Sejak pertama kali menjadi murid Kun-lun-pai, kami sudah digembleng untuk
menentang kejahatan seperti yang kalian lakukan sekarang ini!” kata pula Ciang
Sun yang tinggi besar, bertenaga raksasa dan mukanya yang persegi membuat dia
nanpak gagah sekali. Kok Han bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan,
apalagi dihias brewok yang terpelihara rapi, membuat diapun nampak gagah.
Dua
orang Lama itu saling pandang dan tertawa, lalu Lama yang mukanya bopeng
berkata, “Ha-ha-ha, sejak kapankah Thian Hwa Tosu ikut-ikutan mencampuri
urusan kami dan berani menentang para Lama dari Tibet?”
Lama
yang mukanya terhias codet memandang kepada dua orang pemuda itu dengan mata
mencorong, lalu berkata, “Kalian dua orang anak kecil cepat kembali ke
Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian bahwa kami, Lima Harimau dari
Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai mencampuri urusan pribadi kami. Katakan
bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!”
“Kami
tidak diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai tidak tahu menahu akan tindakan kami
ini! Kami bertindak atas nama sendiri yang tidak rela melihat kalian
mempergunakan kekerasan bertindak sewenang-wenang. Kalau kalian membebaskan totiang
ini, baru kami mau sudah!” kata Ciang Sun.
“Siancai....!
Ji-wi kong-cu (kedua tuan muda) harap berhati-hati dan jangan membela pinto
karena hal itu membahayakan keselamatan ji-wi sendiri,” kata tosu itu dengan
wajah khawatir.
“Biarlah
totiang, kami yang bertanggung jawab,” kata Ciang Sun, sedangkan Kok Han
sudah melangkah maju menghadapi dua orang pendeta Lama itu.
“Sekali
lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua yang sepatutnya mencari kebaikan
dan melaksanakan kebaikan di dunia ini, suka membebaskan totiang ini agar kami
dua orang muda tidak perlu turun tangan mempergunakan kekerasan!” berkata
demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya dikepal. Juga
Ciang Sun sudah berdiri di sebelahnya, juga memasang kuda-kuda, siap untuk
bertanding!
Kembali
dua orang Lama itu saling pandang, kemudian mereka tertawa dan Thay Si Lama
yang bermuka bopeng berkata dengan nada mengejek, “Kami tidak akan membebaskan
dia, dan hendak kami lihat kalian ini tikun-tikus cilik dari Kun-lun-pai dapat
melakukan apakah?”
Ini
merupakan tantangan dan tentu saja dua orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi
marah, apalagi mereka disebut tikus-tikus cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina
pula perkumpulan mereka. “Engkau
memang Pendeta sesat yang jahat!” bentak Ciang Sun sambil menyerang Thay Si
Lama si muka bopeng.
“Kalian
memang patut dihajar agar tidak membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!”
bentak Kok Han yang juga sudah menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang
bermuka codet. “Plak!
Plak!”
Pukulan
dua orang pemuda itu sama sekali tidak ditangkis oleh dua oraag Lama itu,
bahkan diterima dengan dada terbuka. Kepalan kanan dua orang pemuda itu dengan
tepat mengenai dada mereka, akan tetapi apa yang terjadi? Dua orang pemuda itu
terpental ke belakang dan terbanting roboh bergulingan! Ketika bangkit kembali,
mereka menyeringai kesakitan karena kepalan tangan kanan mereka telah menjadi
bengkak dan membiru! Dasar orang muda yang kurang pengalaman. Hal itu tidak
membuat mereka menjadi jera, bahkan mereka merasa penasaran sekali. Dengan
tangan kiri, mereka mencabut pedang dari pinggang masing-masing dan mereka
berduapun menyerbu ke depan, menusukkan pedang mereka ke arah dada dua prang
pendeta Lama itu,
Kini
dua orang pendeta Lama itu menggerakkan tangan, menyambut pedang itu dengan
tangan telanjang. Pedang dari dua orang pemuda itu bertemu dengan telapak
tangan mereka yang mencengkeram. “Krekkk!
Krekkk!” Dua batang pedang itu patah dan hancur dalam cengkeraman dua orang
kakek Lama itu dan sebelum dua orang pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay
Ku Lama si muka codet sudah melangkah maju, dua kali tangannya bergerak ke arah
pundak dua orang murid Kun-lun-pai itu dan merekapun roboh terjungkal dan tidak
mampu bergerak lagi karena jalan darah mereka telah tertotok! Mereka telentang
dan hanya dapat memandang dengan mata melotot.
Thay
Si Lama yang mukanya bopeng mencela temannya. “Suheng, kenapa tidak habiskan
saja mereka ini? Dari pada kelak menjadi penyakit, biar kuhabiskan saja nyawa
mereka!” Berkata demikian, Thay Si Lama melangkah maju dan tangannya sudah
bergerak hendak memberi pukulan maut kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang
sudah tidak berdaya itu.
“Siancai....,
kalian terlalu kejam, tidak mungkin pinto tinggal diam saja!” Tiba-tiba kakek
yang berpakaian putih dan rambutnya yang putih digelung ke atas itu sudah
berkelebat dan nampak bayangan putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si
Lama ke arah dua orang pemuda itu telah tertangkis.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu dan akibatnya, Thay Si Lama terdorong ke belakang dan
terhuyung. Kini mereka berdua berdiri menghadapi tosu itu dan muka Thay Si
Lama yang bopeng itu menjadi merah padam.
“Omitohud,
bagus sekali! Sekarang Pek In Tosu unjuk gigi dan melawan kami!” kata Thay Ku
Lama si muka codet sambil menyeringai mengejek.
“Mengapa
tadi pura-pura alim dan sama sekali tidak melakukan perlawanan?”
“Siancai....!
Sudah puluhan tahun kami para pertapa mencoba untuk melenyapkan semua bentuk
nafsu, dan kami pantang mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, melihat betapa
kalian hendak membunuh dua orang muda yang sama sekali tidak berdosa, bagaimana
mungkin pinto mendiamkannya saja? Kalian telah menghajar dua orang bocah ini
untuk kelancangan mereka, akan tetapi kenapa hendak kalian bunuh? Apakah kalian
juga sudah siap untuk menentang Kun-lun-pai?”
“Pek
In Tosu, semua orang tahu bahwa engkau adalah seorang di antara Himalaya Sam
Lojin yang kabarnya memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Akan tetapi jangan
mengira kami Lima Harimau Tibet akan gentar menghadapimu. Nah, keluarkanlah
kesaktianmu karena kami hendak membunuh engkau dan juga dua orang bocah ini!”
kata Thay Ku Lama dan pendeta Lama yang mukanya codet dan perutnya gendut itu
tiba-tiba memasang kuda-kuda yang aneh, yaitu seperti orang berjongkok, kedua
lengan ditekuk dengan tangan membentuk cakar, telentang di kanan kiri dada,
dan perutnya yang gendut itu makin lama semakin menggembung ketika dia
menyedot napas sebanyaknya sampai keluar suara angin berdesis.
Lalu
dari dalam perutnya terdengar suara “kok-kok!” dan kedua tangan yang tadinya
telentang itu kini menelungkup perlahan-lahan, seluruh tubuhnya tergetar dan
seluruh syarafnya menegang karena dia siap melancarkan pukulan maut yang amat
dahsyat. Agaknya, menghadapi seorang di antara Himalaya Sam Lojin, Lama yang
mukanya codet dan perutnya gendut ini hendak mengeluarkan ilmu simpanannya
agar dengan sekali pukul atau sekali serang dia sudah akan mampu merobohkan
lawannya yang dia duga tentu lihai sekali.
Diam-diam
Pek In Tosu terkejut. Dia sudah pernah mendengar akan ilmu yang kini
diperlihatkan lawannya itu. Itu adalah sejenis pukulan jarak jauh yang
mengandalkan sin-kang dan khi-kang, yang dinamakan Hek-in Tai-hong-ciang
(Tangan Sakti Awan Hitam dan Badai). Dari perut gendut yang menggembung
itulah datangnya dorongan tenaga sakti yang amat ampuh. Maklum bahwa lawan
telah mengeluarkan ilmu simpanannya, siap menyerangnya, Pek In Tosu berkata
lembut. “Siancai....,
pinto melanggar pantangan, semoga mendapat pengampunan....!”
Dan
kakek inipun menggerakkan kedua lengannya, diputar seperti membentuk
bulatan-bulatan yang saling dorong, tubuhnya makin direndahkan dan kedua
kakinya dipentang lebar, lalu kedua tangannya berhenti bergerak, saling
bertemu di depan dada seperti menyembah dan diapun sudah siap menanti serangan
dahsyat dari lawannya.
Bunyi
kok-kok-kok dari perut Thay Ku Lama semakin keras dan semakin cepat dan dari
kedua telapak tangannya mengepul uap hitam! Telapak tangan itupun berubah
kehitaman. Sungguh dahsyat bukan main ilmu ini, dahsyat dan amat berbahaya bagi
lawan. Pek In Tosu melihat ini semua, namun dia masih tetap tenang saja, bukan
tanang memandang rendah, melainkan tenang menghedapi apapun yang terjadi dan
yang akan menimpa dirinya.
Tiba-tiba
Thay Ku Lama yang membuat kuda-kuda seperti seekor katak itu, menerjang dan
tubuhnya meloncat ke atas depan, bunyi kok-kok semakin keras dan tiba-tiba ada
angin besar sekali menyambar ke arah Pek In Tosu dan angin keras itu membawa
tenaga pukulan dahsyat dan uap hitam! Bakan main dahsyatnya serangan ini. Angin
itu saja mengandang tenaga sakti yang amat kuat dan mampu merobohkan lawan,
asap hitam itupun mengandung racun yang berbahaya, apa lagi kalau tubuh lawan
sampai tersentuh oleh kedua telapak tangan hitam itu.
Akan
tetapi, tiba-tiba dari kedua telapak tangan Pek In Tosu keluar asap putih!
Itulah ilmu kesaktian Pek In Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang menyambar
ke depan, menyambut angin dan asap hitam dari pukulau lawan. Kaki kakek tua
itu bergeser ke kiri dan kedua tangannya membuat gerakan memutar dari kiri,
menangkis kedua tangan lawan yang digerakkan lurus ke depan seperti orang mendorong
daun pintu. “Plak!
Plakk!” Dua pasang tangan bertemu, dan akibatnya, tubuh gendut dari Thay Ku
Lama terpelanting ke kiri.
Akan
tetapi, kuda-kuda Pek In Tosu juga terguncang sehingga kakek itu terpaksa
melangkah mundur tiga langkah untuk mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Pada
saat itu, dari arah kanan Thay Si Lama telah menyerangnya. Lama bermuka bopeng
ini juga lihai bukan main dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan ilmu
simpanannya yaitu yang disebut Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti). Bukan
saja kedua tangan itu membagi-bagi tamparan dan totokan maut, akan tetapi juga
dari kedua telapak tangan itu keluar angin pukulan dahsyat yang mengeluarkan
suara bercuitan, dan juga mengandung tenaga mujijat dari ilmu sihir yang
membuat kedua tangan itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan
menyerang dari semua sudut!
Melihat
ini, Pek In Tosu memuji dan berseru, “Siancay....!” Dilanjutkan dengan
pembacaan mantram dan diapun tetap mempergunakan ilmu pukulan sakti Pek In
Sin-ciang. Terjadilah pertandingan silat yang aneh dan seru. Semua sambaran
tangan Thay Si Lama yang disertai hawa mujijat itu seperti tertolak mundur
semua oleh awan putih yang keluar dari kedua telapak tangan Pek In Tosu. Bahkan
kini asap atau awan putih semakin besar dan semakin tebal, mendesak Thay Si
Lama yang mulai main mundur! Melihat ini, Thay Ku Lama mengeluarkan suara
kok-kok-kok lagi dan diapun membantu sutenya, mengeroyok Pek In Tosu!
Dikeroyok
dua oleh dua orang Lama yang sakti itu, Pek In Tosu yang sudah tua sekali itu
kelihatan terdesak! Sebetulnya dengan tenaga sin-kangnya yang setingkat lebih
kuat, dan keringanan tubuhnya yang memudahkan dia untuk berkelebat
menghindarkan diri dari pukulan-pukulan daheyat kedua orang lawannya, Pek In
Tosu tidak perlu terdesak. Namun, usianya sudah tujuh puluh tahun dan tubuhnya
sudah mulai lemah dimakan uiia, juga selama puluhan tahun ini dia tidak pernah
bertanding, maka tentu saja dia kewalahan dan akhirnya terdesak. Kedua orang
lawannya, dua orang pendeta Lama yang usianya baru lima puluhan tahun itu,
agaknya memang terlatih dan mereka seringkali berkelahi maka gerakan mereka lebih
lincah dan juga daya tahan mereka lebih kuat.
Tiba-tiba
Pek-sin Tosu berseru, “Siancai....!” dan dia lalu duduk bersila di atas tanah!
Thay Ku Lama dan Thay Si Lama tertegun menahan gerakan mereka, terheran-heran
melihat lawan mereka kini tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata seperti
orang bersamadhi, kedua telapak kaki telentang di atas paha, itulah duduk
bersila dalam kedudukan Teratai yang kokoh kuat. Mereka mengira bahwa kakek
itu sudah kelelahan dan pasrah mati maka keduanya lalu saling pandang dan Thay
Ku Lama menghantamkan tangan kanannya ke arah ubun-ubun kepala Pek In Tosu.
Ilmu Hek-in Tai-hong-ciang hanya dapat dilakukan dalam keadaan berjongkok menyerang
ke atas, ke arah lawan yang berdiri. Kini lawannya duduk bersila, maka tentu saja
dia tidak dapat menggunakan tenaga katak sakti itu! Dia menghantam dengan
telapak tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala dan kalau mengenai sasaran, tak
dapat diragukan lagi lawannya tentu akan tewas seketika!
Pek
In Tosu mengangkat tangan kirinya menangkis. “Dukkk!” Tubuh Thay Ku Lama
terpental! Kiranya kakek tua renta itu duduk bersila bukan karena putus harapan
dan menerima binasa, melainkan dia mengambil sikap bertahan dan melindungi tubuhnya
secara yang paling istimewa dan paling kuat! Kedudukan seperti Teratai itu
memang merupakan cara bersila yang paling kokoh kuat seperti piramida, dan
seolah-olah kakek itu dapat menyedot hawa bumi yang membuat tubuhnya kuat
sekali dan tangkisannya membuat lawan terpental! Thay Si Lama menjadi
penasaran dan diapun menyerang dari arah belakang. Akan tetapi, kembali Pek In
Tosu menangkis, tangannya diangkat ke arah belakang dan begitu kedua tangan
bertemu, tubuh Thay Si Lama terpental dan terhuyung!
Dua
orang pendeta Lama itu menjadi semakin penasaran. Mereka adalah dua orang
tokoh yang kenamaan, dua di antara Lima Harimau Tibet yang sudah amat terkenal.
Sejak belasan tahun ini mereka adalah tulang punggung dari pemerintahan Dalai
Lama. Merekalah yang menjaga kedaulatan dan kekuasaan Dalai Lama sehingga ditaati
oleh jutaan orang manusia! Selama ini, belum pernah Harimau Tibet bertemu
tanding. Mustahil kalau kini, menghadpi seorang pertapa tua renta saja, mereka
sampai tidak mampu merobohkan, padahal pertapa itu kini sama tidak dapat
membalas lagi, hanya duduk bersila sambil membela diri!
Namun,
berkali-kali menyerang, baik bergantian maupun berbareng dan hasilnya sama
saja. Setiap kali ditangkis, mereka terpental dan terhuyung, bahkan pernah
hampir terjengkang. Agaknya, makin keras mereka mempergunakan tenaga, semakin
kuat pula tolakan Pek In Tosu yang menangkis mereka. Keduanya saling pandang,
memberi isarat dengan kedipan mata dan tiba-tiba merekapun menghentikan
serangan mereka dan berdiri di depan dan belakang Pek In Tosu dalam jarak
kurang lebih tiga meter. Kemudian, mulailah mereka berjalan mengitari kakek
yang duduk bersila itu dan keduanya mulai mengeluarkan lagu-lagu pujaan atau
nyanyian yang biasanya mereka nyanyikan di dalam kuil mereka untuk memuja
para dewa. Akan tetapi, lagu yang mereka nyanyikan ini lain lagi, ada
hubungannya dengan ilmu sihir dan nyanyian ini bukan untuk memuja para dewa
saja, melainkan juga untuk mengundang setan dan meminjam kekuasaan setan untuk
mengalahkan musuh!
Suara
nyanyian itu aneh dan menyeramkan. Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan
kadang-kadang di dalam suaranya ada selingan suara kok-kok-kok seperti kalau
dia mengerahkan ilmu Hek-in Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama yang
bermuka bopeng itu tinggi mencicit seperti suara seekor tikus yang terjepit.
Suara nyanyian itu bukan suara sembarangan, melainkan dikeluarkan dengan
tenaga khi-kang dan sihir, suara itu makin lama semakin menggetar dan
berirama, dan dua orang pendeta Lama itu bernyanyi sambil melangkah
mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan kini kepala mereka menggeleng-geleng
menurutkan irama lagu mereka! Aneh memang! Makin lama, nyanyian mereka itu
seolah-olah terseret oleh gelombang suara nyanyian mereka.
Mula-mula,
tubuh Pek In Tosu gemetar, kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang
membubung ke atas. Itulah tandanya bahwa dia sedang berjuang mati-matian untuk
melawan pengaruh hebat dari nyanyian itu! Pek In Tosu bukanlah seorang yang
lemah batinnya. Sebaliknya, karena hasil samadhi yang berpuluh tahun, dia
memiliki batin yang amat kuat dan tidak mudah dia dipengaruhi kekuatan apapun
dari luar.
Namun,
diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya
untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar biarpun dia berusaha
mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu mempunyai kekuatan gaib untuk
menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran! Dan getaran yang disebabkan
suara itu membuat tubuhnya gemetar. Diapun lalu melawan, mengerahkan khi-kang
dan dari kepalanya keluar uap putih yang makin lama semakin menebal. Akan
tetapi, pertahanannya agaknya goyah karena perlahan-lahan akan tetapi pasti,
kepala Pek In Tosu mulai bergoyang-goyang perlahan-lahan! Makin lama,
goyangan kepala Pek In Tosu semakin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala seperti
yang dilakukan oleh dua orang penyerangnya!
Keadaan
kakek tua renta itu kini gawat sekali. Ilmu yang dilakukan oleh dua orang itu
adalah semacam ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism) melalui pengaruh suara yang
mengandung sihir. Kalau Pek In Tosu sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian
itu berarti dia sudah kena dicengkeram dan tentu dia akan mudah dirobohkan dan
dibunuh karena semangatnya seolah-olah sudah di dalam cengkeraman kekuasaan dua
orang pendeta Lama itu!
Pada
saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba di
dalam kesunyian tempat yang amat sepi itu terdengar suara yang memecahkan
kesunyian. Tadinya hanya suara nyanyian aneh kedua orang pendeta Lama itu yang
terdengar, dengan irama yang semakin mantap. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar
suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara bambu dipukul-pukulkan pada batu!
Suara inipun nyaring sekali, tidak kalah oleh nyaringnya suara nyanyian, dan
berirama pula, akan tetapi iramanya sama sekali tidak serasi dengan irama
nyanyian dua orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya, irama tak-tok-tak-tok itu
menjadi lawan dan menjadi kebalikannya dan tentu saja kini terdengar suara yang
kacau balau karena irama nyanyian itu bertabrakan dengan irama bambu yang
dipukul-pukul batu. Siapakah yang memukuli batu dengan bambu itu?
Tak
jauh dari situ nampak seorang anak laki-laki yang menggunakan sepotong bambu
memukuli batu besar di depannya. Irama pukulan bambu itu bertolak belakang
dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, maka tentu saja hal ini
mengganggu konsentrasi, bahkan mengacaukan “paduan suara” antara mereka. Dua
orang pendeta Lama itu terkejut dan marah, dan mereka cepat-cepat menyesuaikan
irama nyanyian mereka dengan ketukan irama bambu, karena kalau irama mereka
bersatu, maka kekuatan daya serangan dari suara mereka akan menjadi semakin
mantap dan besar. Seperti orang bernyanyi yang diiringi musik, akan menjadi
semakin enak didengar dan menghanyutkan. Sejenak mereka berhasil dan nyanyian
mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In Tosu makin mengikuti bunyi
nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng kepala! Akan tetapi
hanya sebentar saja karena ketukan bambu itu kini berubah lagi iramanya,
kembali menjadi berlawanan dengan irama nyanyian dua orang pendata Lama, bahkan
kini ketukannya menjadi keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau,
kadang-kadang cepat, kadang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat,
kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, berubah menjadi satu-dua satu-tiga,
dua-tiga dan sebagainya. Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama
untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka dan kini bunyi-bunyian yang
terdengar demikian kacau balau sehingga daya hanyutnya menjadi kacau dan lemah
sekali, dan Pek In Tosu, seperti orang yang baru sadar bahwa tadi dia telah
hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lurus dan sama sekali tidak
bergerak! Dari kepalanya juga tidak lagi keluar uap putih, dan kepalanya tidak
lagi digeleng-gelengkan. Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari
Pek In Tosu sambil bernyanyi dan menggeleng-geleng kepala memantapkan irama
nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka kacau, dan gelengan kepala
mereka ngawur dan kacau, kaku dan kadang-kadang keliru menjadi angguk-anggukan!
Anak
laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah
kumal den robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang
den tidak terawat, awut-awutan, sebagian menutupi dahi dan mukanya. Wajah itu
tidak buruk, bahkan bentuknya tampan, matanya lebar dan memiliki sinar terang,
sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, namun wajah itu
mendatangkan rasa iba bagi yang melihatnya. Punggungnya bongkok dan agaknya
ada daging menonjol di punggung itu. Anak itu bukan lain adalah Sie Liong! Seperti
kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah sejak terjadi
peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong
dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bahkan menerima
pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri
lagi. Dan dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan
keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh
Bi Sian!
Semenjak
itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apalagi ketika mereka melakukan
sembahyangan dan dia mendengar bahwa ayah ibunya meninggal dunia karena
penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya merasa semakin
berduka dan gelisah. Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu
gelisah, dia meninggalkan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu
berjalan ke kebun samping rumah.
Tiba-tiba
dia mendengar suara encinya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara
cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan suaranya keras! Memang
kamar enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara itu keluar melalui
celah-celah jendela mereka yang tertutup. Kamar Bi Sian berada di sebelah
lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah
tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar encinya nampak cahaya lampu belum
dipadamkan.
“Jelas
bahwa dia salah besar!” terdengar suara cihu-nya membentak nyaring.
“Pertama,
dia mencuri belajar ilmu silat padahal sudah kularang dia belajar silat! Ke
dua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan
memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian.
Anak itu memang keterlaluan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek
itu!”
“Apa?
Bongkok jelek katamu? Jangan kaukira aku tidak tahu bahwa engkaulah yang membuat
dia menjadi bongkok!”
“Eh?
Apa yang kaukatakan itu?” cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan dia
sendiri mendengar ucapan encinya itu.
“Ya,
engkau yang membuat dia menjadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu
pula sebabnya engkau melarang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!”
“Ssttt....!
Lan Hong, apa yang kaukatakan ini?”
Terdengar
encinya menangis. “Setelah.... setelah apa yang kulakukan untukmu semua....
setelah kuserahkan badanku, Cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan
agar adikku diselamatkan...., masih kurang besarkah pengorbananku? Dia sudah
menjadi bongkok, cacat, dan engkau.... masih juga membencinya?”
“Kau
keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa akupun suka padanya, hanya aku....,
benarlah, aku khawatir dan kaupun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah
merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini
untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi adikmu itu.... dia seakan-akan menjadi
penghalang kebahagiaan kita.... aku selalu khawatir dan kadang-kadang aku
bermimpi buruk, tak dapat tidur....”
Hening
sejenak, lalu terdengar encinya berkata lirih. “Aku dapat memaklumi perasaan
hatimu, akan tetapi.... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak
diganggu!”
“Lan
Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan.”
“Apa?”
Encinya setengah menjerit.
“Maksud....
maksudmu....?”
“Biar
kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar di sana dia dapat menjadi seorang
kacung, dan mudah-mudahan kelak dia menjadi seorang hwesio. Bukankah hal itu
amat baik baginya? Menjadi seorang hwesio adalah kedudukan yang terhormat,
mulia dan disegani orang.”
“Ahhh....
tapi.... tapi....”
“Tidak
ada tapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau menghendaki agar
kebahagiaan kita tidak terganggu dan keselamatan adikmu terjamin pula?”
Setelah
hening sampai lama, encinya berkata, “Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di
kuil mana dia dititipkan, dan aku dapat mengunjunginya dan menjenguknya
sewaktu-waktu....”
Sie
Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di
atas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis,
menjerit-jerit saking nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan
menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal. Dia hendak disingkirkan?
Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia
tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia
dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya. Bukankah
encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini
mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihunya
takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah
perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang
lemah? Dan mengapa pula mesti takut? Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka
lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan
perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan
pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cukup besar.
Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci
Lan Hong dan cihu, Maafkan
saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara,
selamat tinggal.Sie Liong.
Biarpun
dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki
otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menulis bahwa dim
hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya
membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke
utara, melainkan ke selatan! Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang
kota itu sebelah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak
oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara.
Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu
menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi
tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada
seorangpun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga
Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan
anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat
Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suaminya cepat melakukan
pengejaran ke utara tentu saja! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar
keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu,
membawa buntalan menuju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di
pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam
lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw
Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus ke utara. Akan
tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul
Sie Liong! Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke
utara, akan tetapi setelah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan
jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu
anak itu telah mengambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke
kanan atau kiri? Akhirnya, diapun pulang dengan wajah lesu.
Dia
tidak begitu susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal
yang membuatnya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan
ini yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie
Liong akan membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa
yang perlu ditakutinya? Anak itu bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya,
isterinya menjadi berduka dan dia harus berusaha keras untuk menghibur hati
isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya
sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri,
jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi.
Demikianlah,
Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju ke selatan. Dia selalu
menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar
tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian
melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan
pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia. Kurang lebih sebulan sesudah
dia meninggalkan rumah encinya, dia berjalan melalui sebuah hutan besar pada
suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan
darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya
makan, dan ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk
ditukar dengan makanan.
Bahkan
pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk
sekedar menahan lapar. Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati
menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar den
diapun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perutnya.
Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan
memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu Sie Liong
berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam dia
mendapatkan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan
yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia merasa
bahagia di pagi hari itu.
Tiba-tiba
dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik
batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja
mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka
binatang-binatang sebangsa kera besar. Tubuh dan pakaian mereka kotor dan
pandang mata mereka bengis den buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka
Sie Liong kehilangan kekagetannya den tersenyum kepada mereka.
“Aih,
paman sekalian membikin kaget saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak
buntalan di punggungnya.
“Huh,
kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.
“Anjing
cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua.
Wajah
Sie Liong menjadi merah dan dia memandang kepada dua orang itu dengan mata
melotot penuh kemarahan. “Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka
menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan
kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain termasuk kalian!”